Tuesday, March 4, 2008

Perempuan Punya Cerita (2008)

Genre : Drama

Pemain : Shanty, Sarah Sechan, Susan Bachtiar, Rieke Dyah Pitaloka, Rachel Maryam, Kirana Larasati, Fauzi Baadila

Sutradara : Nia Dinata, Upi Avianto, Fatimah Rony, Lasja F. Susatyo

Penulis : Vivian Idris, Melissa Karim

Produser : Nia Dinata

Distributor : Kalyana Shira Film

Durasi : 105 menit



Akhirnya saya mendapat kesempatan untuk menonton film yang tampaknya cepat sekali menghilang dari peredaran ini. Gratis dan uncensored pula. Thanks buat teman saya Ajeng yang sukses membujuk saya untuk datang ke Q! Film Festival. Buat yang belum tahu, Q! Film Festival itu merupakan festival film yang selalu menayangkan film-film bertema hubungan sesama jenis, juga isu HIV/AIDS. Film Perempuan Punya Cerita ini diputar di hari terakhir, Sabtu kemarin di CCF Bandung. Dan seperti dugaan saya, kursi penonton penuh sesak.

Film ini merupakan sebuah anthology atau gabungan dari 4 film pendek yang dibuat oleh 4 sutradara wanita yang bercerita tentang wanita juga. Diproduseri oleh Nia Dinata yang pernah memproduksi film Arisan! dan Berbagi Suami, nampaknya film ini bakalan punya kualitas yang tidak perlu diragukan lagi.

Cerita Pulau
Segmen pertama ini bercerita tentang Sumantri (Rieke Dyah Pitaloka), bidan yang bekerja di sebuah pulau tak jauh dari Jakarta. Ia divonis kanker dan harus dirawat di Jakarta. Penderitaannya semakin bertambah ketika seorang gadis yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri, Wulan (Rachel Maryam) diperkosa oleh sekelompok pemuda setempat. Sumantri berusaha untuk memperjuangkan kasus perkosaan tersebut, walaupun cukup berat karena sang pemerkosa adalah putra dari seseorang yang cukup berpengaruh. Entah mengapa, segmen cerita ini terasa kurang mengena. Endingnya juga kurang memuaskan. Tapi satu hal yang pasti, uang masih lebih berbicara banyak dibanding suara seorang perempuan yang berusaha memperjuangkan hak sesamanya. What a shame!

Cerita Jogja

Segmen cerita yang menurut saya paling berani. Menampilkan realita pergaulan bebas para pelajar di Jogja. Jay (Fauzi Baadilla), seorang jurnalis dari Jakarta, berniat untuk menulis artikel tentang pergaulan remaja di Jogja. Hal ini membawanya kepada sosok Safina (Kirana Larasati) beserta kawan-kawannya yang sudah tidak aneh lagi dengan yang namanya pergaulan bebas. Safina yang sebenarnya naif, akhirnya terjebak rayuan Jay yang membuat masa depannya rusak. Cerita ini benar-benar membuka mata saya akan pergaulan remaja yang terjadi sekarang ini. Sungguh miris (sekaligus membuat saya terbahak) saat adegan dua orang teman Safina melakukan hubungan badan, sementara ibunya mau pergi ke pengajian. So ironic!


Cerita Cibinong

Esi (Shanty), seorang wanita yang bekerja di klab malam sebagai pembersih WC. Ia banting tulang untuk membiayai sekolah putri satu-satunya, Maesaroh. Suatu malam, Esi membawa kabur Maesaroh saat ia memergoki kekasihnya, Narto berbuat tidak senonoh terhadap anaknya tersebut. Esi akhirnya menumpang di rumah Cicih (Sarah Sechan), PSK di klab malam tempatnya bekerja yang bermimpi ingin menjadi penyanyi dangdut. Konflik berlanjut saat Cicih membawa Maesaroh ke Jakarta tanpa sepengetahuan Esi. Parahnya, orang yang dipercaya Cicih sebagai produser yang ingin mengorbitkan dirinya ternyata seorang sindikat perdagangan perempuan yang ingin menjual Maesaroh. Yang paling menghibur di cerita ini, bahkan filmnya secara keseluruhan tentunya adalah the one and only Sarah Sechan. Nyunda banget, keren lah pokoknya.

Cerita Jakarta
Cerita terakhir yang menurut saya paling mengharukan. Laksmi (Susan Bachtiar), seorang janda beranak satu yang baru ditinggal mati suaminya karena penyakit AIDS. Bahkan ia pun tertular penyakit tersebut. Keadaannya diperparah dengan hak asuh putrinya, Belinda, yang ingin direbut oleh ibu mertuanya. Sebagai seorang ibu ia berusaha mati-matian untuk mempertahankan putrinya, walaupun akhirnya dengan kondisi fisiknya yang semakin lemah ia rela membuat sebuah keputusan besar, yang walaupun menyakitkan harus tetap ia ambil demi kebaikan putrinya. Akting Susan Bachtiar patut diacungi jempol—bikin terharu, tapi tidak cengeng.

Kesimpulannya, film ini sangatlah menggugah. Biarpun masih ada beberapa kekurangan, but it's ok. Secara durasinya sendiri hanya kurang dari 2 jam, tapi harus memuat 4 cerita, tentunya cukup sulit kan. Tapi menurut saya cukup berhasil. Yang pasti, film ini menggambarkan bagaimana perjuangan para perempuan Indonesia dalam menghadapi cobaan yang begitu berat, malah cenderung ekstrim. Walaupun ceritanya mengangkat segala problematika tentang perempuan, tapi bukan berarti film ini tidak dapat dinikmati oleh kaum pria. Tanpa memandang gender, menurut saya film ini perlu ditonton agar kita bisa lebih menghormati kaum perempuan yang ternyata masih sering diremehkan walaupun isu emansipasi sudah berkumandang dimana-mana.

7/10

No comments:

Post a Comment