Tuesday, December 21, 2010

Compiled Reviews : From Magical Journey To Cyberpunk Realm

Betapa luasnya imajinasi manusia sehingga ia bisa menciptakan sebuah dunia alternatif berisi berbagai hal yang realitasnya tidak mungkin ditemui di dunia nyata. Dari mulai dunia ajaib di balik lemari pakaian ciptaan seekor singa agung, sampai dunia dalam virtual game futuristik karya seorang programmer inovatif. Narnia dan Tron—kedua dunia tersebut adalah bukti betapa kaya buah pikiran manusia saat ia berani bermain dengan imajinasinya. Meskipun kedua dunia tersebut hanya direpresentasikan dalam pita seluloid, namun itu sudah cukup bagi saya untuk merasakan keindahan dan keunikan masing-masing. Sebagai bentuk apresiasi, berikut ini review untuk instalmen terbaru Narnia serta sekuel Tron yang sudah banyak diantisipasi para penikmat film.


The Chronicles Of Narnia : The Voyage Of The Dawn Treader (2010)

Genre : Adventure/Family/Fantasy | Pemain : Georgie Henley, Skandar Keynes, Ben Barnes, Will Poulter, Gary Sweet, Anna Popplewell, William Moseley, Tilda Swinton, Liam Neeson, Simon Pegg | Sutradara : Michael Apted | Penulis : Christopher Markus, Stephen McFeely, Michael Petroni, C.S. Lewis (novel) | Distributor : Twentieth Century Fox Film Corp. | Durasi : 113 menit | MPAA : Rated PG for some frightening images and sequences of fantasy action

"You have returned
for a reason. Your adventure begins now."

-Aslan-

The Chronicles of Narnia karya C.S. Lewis adalah salah satu seri literatur klasik yang paling dikenal dan cukup memberi pengaruh bagi karya-karya lain. Adaptasinya pun sudah beberapa kali dibuat ke dalam berbagai media, mulai dari drama radio, drama panggung, film televisi, sampai film layar lebar. Invasi seri ini ke layar lebar dimulai pada tahun 2005, saat The Lion, The Witch, And The Wardrobe yang disutradarai Andrew Adamson (dwilogi Shrek) dirilis di bioskop-bioskop seluruh dunia. Adaptasi ini tergolong sukses baik dari sisi kualitas maupun kuantitas dolar yang didulang. Sebuah awal yang menjanjikan bagi kelangsungan franchise ini.

Menurut saya pribadi, film pertamanya memang berhasil menerjemahkan esensi yang terkandung dalam novelnya dengan cukup baik. Lalu tiga tahun kemudian muncul adaptasi novel keduanya yang dengan sub-judul Prince Caspian. Sekuel ini dikemas lebih gelap namun masih terbilang aman untuk dikonsumsi anak-anak. Sialnya, entah kenapa kali ini seri Narnia seolah kehilangan daya magisnya. Spirit petualangan serta sense of wonder-nya tertutupi kadar action yang tampak lebih dikedepankan. Secara keseluruhan memang masih menghibur, namun tidak memberi impresi lebih.

Perombakan besar dilakukan di seri ketiganya yang melibatkan penggantian posisi sutradara (Andrew Adamson to Michael Apted) serta studio yang mendistribusikannya (Walt Disney to Twentieth Century Fox). Perubahan ini tentunya diharapkan mampu membawa franchise ini ke arah yang lebih baik. Berhasilkah?

Tidak seperti dua pendahulunya, kali ini hanya dua bersaudara Pevensie yang berkesempatan mengunjungi kembali tanah Narnia, yaitu Edmund (Skandar Keynes) dan Lucy (Georgie Henley). Oh ya, tambah satu lagi sepupu mereka, si manja sok pintar Eustace Scrubb (Will Poulter) yang ikut terseret ke dalam petualangan mereka untuk membantu King Caspian (Ben Barnes) guna mencari tujuh lord yang dahulu hilang saat rezim pamannya—Miraz merajalela. Bersama awak kapal Dawn Treader lainnya, mereka berlayar menyeberangi samudera luas serta menjamah pulau-pulau misterius nan magis demi menuntaskan misi tersebut.

Di luar perkiraan, ternyata film ini tidak seburuk yang saya bayangkan. Skeptisisme penilaian awal terhadap kualitas film ini muncul karena pendapat beberapa teman saya serta kritikus-kritikus luar yang mencap film ini lemah (jika tidak mau dibilang buruk). Secara keseluruhan, ternyata saya masih bisa menikmatinya. Spirit petualangan yang saya nantikan kembali muncul di seri terbaru ini. Kali ini, saya bisa merasakan kembali daya magis dari sebuah negeri ajaib bernama Narnia.

Daya magis yang dihembuskan sayangnya tidak sanggup mengangkat kualitas film ini secara keseluruhan. Pencarian tujuh raja yang hilang beserta pedang magisnya di berbagai pelosok Narnia memang cukup menarik. Berbagai lokasi yang ada digambarkan dengan cukup menarik, terutama pulau tempat tinggal para Dufflepud yang indah dan memanjakan mata. Namun misi pencarian ini lama-kelamaan terkesan episodik. Polanya klise dan mudah ditebak sehingga terasa sedikit membosankan.

Dari segi teknis, efek CGI yang digunakan cenderung medioker. Menarik, namun tidak spesial. Sinematografinya juga belum mampu membuat saya berdecak kagum layaknya yang dilakukan Eduardo Serra melalui seri terbaru Harry Potter baru-baru ini (ups! bukan bermaksud membanding-bandingkan ya). Set design-nya digarap dengan apik, namun entah mengapa tampilan Dawn Treader agak terkesan kekanakan (menurut pandangan pribadi saya). Komposisi musik dari David Arnold setidaknya cukup mendukung tiap-tiap adegannya.

Georgie Henley dan Skandar Keynes—dua pemain utama yang konsisten bermain dari mulai seri awalnya cukup mengalami peningkatan akting, terutama Henley yang tampil memikat sebagai si bungsu Lucy. Namun yang paling menarik perhatian justru karakter baru—Eustace Scrubb yang diperankan oleh Will Poulter. Sifat serta tingkahnya yang menyebalkan tidak jarang mengundang tawa. Layar pun semakin hidup saat ia berinteraksi dengan Reepicheep (disuarakan oleh Simon Pegg), tikus ksatria yang begitu loveable dengan gesture dan celotehannya. Tokoh Reepicheep jugalah yang sanggup memainkan emosi penonton (saya lebih tepatnya) menjelang akhir film.

Menurut saya, adegan menjelang akhir film memang bagian yang paling menarik. Semua kekurangan di sepanjang durasi dibayar dengan ending yang memikat. Mengikuti pola dua film sebelumnya, bagian akhir film kembali mempertemukan para tokoh utamanya dengan Aslan sang singa agung. Dengan mengambil setting yang begitu memanjakan mata, adegan ini semakin terasa bermakna. Saat itu pula saya kembali tersadar bahwa Narnia adalah karya yang sarat dengan simbol-simbol religius sekaligus pesan moral. Adegan perpisahan terasa begitu menyentuh. Sebuah alegori yang indah dalam menggambarkan proses perpindahan dari alam fana menuju kekekalan.

Kesimpulannya, Narnia terbaru ini menawarkan kisah petualangan memikat namun masih terasa memiliki banyak kelemahan sebagai satu film utuh. Setidaknya ending-nya dieksekusi dengan menawan dan penuh makna.

Rating : 6/10



Tron : Legacy (2010)


Genre : Action/Adventure/Sci-Fi | Pemain : Jeff Bridges, Garrett Hedlund, Olivia Wilde, Bruce Boxleitner, Beau Garrett, Michael Sheen | Sutradara : Joseph Kosinski | Penulis : Edward Kitsis, Adam Horowitz | Distributor : Walt Disney Studios Motion Pictures | Durasi : 127 menit | MPAA : Rated PG for sequences of sci-fi action violence and brief mild language

"The
Grid. A digital Frontier. I tried to picture clusters of information as they
traveled through the computer. Ships, motorcycles. With the circuits like
freeways. I kept dreaming of a world I thought I'd never see. And then, one
day... I got in."

-Kevin Flynn-


Saat ini, perfilman Hollywood tampaknya sudah semakin menyadari potensi dari sebuah teknologi bernama 3D. Sebuah film dengan presentasi 3D tentunya menawarkan sensasi menonton yang berbeda dibanding dengan film berformat biasa. Jika dimanfaatkan secara maksimal, hasilnya akan terlihat mengagumkan secara visual, layaknya yang dilakukan James Cameron melalui Avatar tempo hari. Namun, pencapaian Avatar urung diikuti oleh film-film lain yang diberi embel-embel 3D. Mayoritas film 3D akhir-akhir ini hanya mengandalkan hasil konversi yang hasilnya jelas-jelas mengecewakan. Hal ini tidak lain karena sepertinya para produser Hollywood memanfaatkan potensi teknologi ini bukan sebagai penghasil visual yang memukau, melainkan sebagai mesin pengeruk uang semata. Just my thought.

Akhir Desember ini, penonton kembali disuguhkan sajian 3D terbaru yang merupakan sebuah sekuel dari cult classic produksi Disney tahun 1982 berjudul Tron. Dengan tambahan kata Legacy, sekuel ini tampaknya dimaksudkan untuk mengenalkan dunia futuristik Tron kepada generasi masa kini sekaligus melahirkan sebuah franchise raksasa potensial. Dengan buzz yang semakin kencang menjelang perilisannya di bioskop, film ini memang sangat berpotensi meraih pasar mainstream sekaligus fans film orisinilnya. Dari materi promosinya, saya cukup optimis bahwa kreatornya memanfaatkan teknologi 3D sebagai komponen yang integral dengan isi filmnya, bukan hanya gimmick semata.

Dari segi cerita, Legacy sebenarnya tidak menawarkan sesuatu yang istimewa. Pengejaran kesempurnaan yang berujung pada kehancuran, itulah garis besar cerita yang bisa saya tangkap disini. Kevin Flynn (Jeff Bridges), seorang progammer sekaligus pemilik perusahaan Encom yang terkenal dengan game kreasinya—Tron, dinyatakan menghilang. Dua puluh tahun kemudian, Sam (Garrett Hedlund), anak satu-satunya, mendapat sebuah pesan yang menggiringnya masuk ke dalam dunia di balik virtual game ciptaan Kevin, The Grid. Di sana, Sam menemukan kebenaran di balik menghilangnya sang ayah selain harus terjebak dalam pertempuran layaknya gladiator rancangan Clu, kloning ayahnya yang memberontak dan memiliki agenda tersendiri. Bersama ayahnya dan dibantu Quorra (Olivia Wilde)—murid sang ayah, Sam berusaha menghindar dari kejaran Clu dan keluar dari Grid.

Film ini memiliki komponen yang lazim muncul dalam film bergenre cyberpunk, seperti setting near future dalam keadaan distopia (tergambar pada Grid), pembauran antara manusia sungguhan dengan "manusia" artifisial (dianalogikan melalui user dan program), sampai gaya visual yang cenderung gelap dibalut kekontrasan warna neon. Visual inilah yang menjadi kekuatan Legacy. Dari mulai kostum hingga adegan aksi yang melibatkan balapan light cycle serta disc battle, semuanya begitu memukau mata. Tidak salah jika film ini ditampilkan dalam format 3D, walaupun masih belum bisa menandingi kehebatan visual Avatar (menurut saya). Selain itu, jiwa film ini juga terletak pada musik yang melatarinya. Duo Daft Punk benar-benar patut diberi kredit tersendiri atas komposisi musik yang berhasil menghembuskan jiwa pada film yang sebetulnya dingin dalam hal emosi ini. Mata dan telinga saya begitu dimanjakan selama dua jam.

Sebagai sebuah hiburan mendekati akhir tahun, persembahan terbaru Disney ini lumayan menghibur dengan jualan utamanya yang outstanding (yeah, I'm talking about the audio and visual—including the beautiful Olivia Wilde). Meski naskahnya lemah dengan dialog datar yang bahkan aktor sekaliber Jeff Bridges pun tidak sanggup membuatnya menjadi lebih baik, namun secara keseluruhan saya nilai Tron : Legacy sebagai sebuah sajian yang nikmat. Saya rekomendasikan bagi calon penonton yang menginginkan sajian menghibur dengan bobot cerita yang ringan. And I think it's better to watch it in 3D.

Rating : 6/10

Monday, November 22, 2010

Harry Potter And The Deathly Hallows : Part 1 (2010)

Genre : Action/Adventure/Fantasy/Mystery

Pemain : Daniel Radcliffe, Rupert Grint, Emma Watson, Ralph Fiennes, Helena Bonham Carter, Bill Nighy, Rhys Ifans, Alan Rickman, Jason Isaacs, Imelda Staunton

Sutradara : David Yates

Penulis : Steve Kloves (screenplay), J.K. Rowling (novel)

Distributor : Warner Bros. Pictures

Durasi : 146 menit

MPAA : Rated PG-13 for some sequences of intense action violence, frightening images and brief sensuality



MAY CONTAIN SPOILER

Harry Potter. Sepintas tampak tidak ada yang istimewa dengan nama tersebut, bahkan akan terasa lucu jika kita iseng menerjemahkan nama belakangnya ke dalam Bahasa Indonesia. Namun kenyataannya, nama itulah yang membuat banyak orang di berbagai belahan dunia tersihir selama lebih dari satu dekade. Melalui kisah petualangannya yang ditulis oleh seorang wanita berkebangsaan Inggris bernama J.K. Rowling, nama Harry Potter berubah menjadi sebuah fenomena yang mengguncang dunia literatur dan sinema. Kisah klasik bertema good vs evil dalam balutan unsur magis yang ada dalam Potter universe ini memang pantas dicintai banyak orang. Selain kisahnya yang kaya dan menghibur, Rowling juga berhasil membentuk ikatan kuat antara pembaca dengan karakter-karakter yang ada dalam novel seri rekaannya ini. Tidak terhitung berapa banyak fans yang dengan setia mengikuti sepak terjang Harry dan kawan-kawan dari awal sampai konfrontasi final melawan Lord Voldemort beserta pasukan Death Eaters-nya. Para pembaca (dan penonton) tidak akan sampai sejauh ini jika tidak ada ikatan emosi antara mereka dengan karakter-karakternya. Inilah kehebatan franchise Harry Potter. Fakta bahwa kisah ini hampir berakhir (untuk versi filmnya) tentu akan menjadi sebuah momen penting bagi para fans setianya. Dan saya adalah salah satunya.

Mengabaikan fakta bahwa banyak orang yang sudah mengetahui akhir kisahnya (cerita berakhir di novel ke-7 yang terbit di tahun 2007 lalu), instalmen terbaru dari versi layar lebarnya saya yakini masih sanggup memancing rasa penasaran. Bukan kepenasaran akan ceritanya tentu saja, melainkan visualisasi yang ditampilkan. Dengan jumlah fans yang tak terhitung banyaknya, tekanan untuk menghasilkan visualisasi yang sesuai dengan ekspektasi mereka tentunya semakin besar. Beban ini kembali ditanggung oleh David Yates, sutradara yang sebelumnya sudah berpengalaman menggarap seri Harry Potter ke-5 dan ke-6. Di tangannya, saya akui bahwa franchise ini semakin matang, di luar konten ceritanya yang memang semakin gelap dan dewasa. Kembalinya Yates untuk menangani seri pamungkasnya semakin membuat saya optimis bahwa instalmen ini sudah berada di tangan yang tepat. Keputusan Warner Bros. untuk membagi film terakhir ini menjadi dua bagian juga semakin membuat saya gembira. Motivasi ekonomi mungkin menjadi salah satu penyebabnya, namun saya tidak terlalu ambil pusing. Dan setelah menyaksikan hasil akhir dari bagian pertama ini, saya menyadari bahwa pembagian tersebut adalah keputusan yang sangat tepat. Sebuah tribute bagi para fans setianya.

Franchise Harry Potter dikenal memiliki cerita yang kompleks dan semakin kelam dari seri ke seri. Setelah nuansa hangat dan ceria disajikan Chris Columbus dalam dua instalmen awalnya, cerita berubah menjadi lebih kelam dan dewasa di seri ke-3. Selain materi awalnya yang memang seperti itu, penggantian posisi sutradara juga cukup berpengaruh. Sejak film ke-3 itulah, franchise ini semakin konsisten menjaga kekelaman alur cerita serta atmosfer yang dihadirkan. Harry Potter And The Deathly Hallows : Part 1 menurut saya adalah yang paling gelap dan mencekam dibanding film-film sebelumnya. Dari awal film saja, atmosfer kelam sudah mulai terasa (logo Warner Bros. yang pelan-pelan hancur berkarat sangat simbolik).

Dunia sihir sedang memasuki masa-masa kegelapan. Teror yang disebarkan Lord Voldemort (Ralph Fiennes) bersama pasukan Death Eaters-nya semakin meluas. Kementrian Sihir sudah diambil alih, fasisme merajalela. Bagai Hitler dengan Nazi-nya, Voldemort beserta pasukan Death Eaters-nya memegang kendali penuh atas komunitas sihir. Rasa aman dan nyaman sudah menjadi barang langka, terutama bagi para Muggle-born (keturunan manusia non-penyihir). Monumen "Magic Is Might" yang berdiri kokoh di atrium Kementrian Sihir semakin menegaskan betapa mengerikannya rezim baru ini.

Kehadiran sosok Harry Potter (Daniel Radcliffe) bagaikan sebuah cahaya terang di tengah kegelapan yang sedang melanda dunia sihir. Dia adalah anak yang berhasil bertahan hidup dari kutukan maut Voldemort. Dialah Sang Terpilih. Kali ini, rintangan yang harus dihadapi Harry dalam usahanya mengalahkan Voldemort semakin berbahaya. Sepeninggal Albus Dumbledore, Hogwarts bukan lagi tempat paling aman untuk berlindung dari serangan Voldemort dan Death Eaters. Kini, Harry harus menghadapi tantangan nyata di dunia luar, jauh dari kenyamanan Hogwarts dan perlindungan guru-gurunya. Bersama dua sahabat setianya—Ron Weasley (Rupert Grint) dan Hermione Granger (Emma Watson), Harry melanjutkan misi yang diwariskan Dumbledore, yaitu menemukan dan menghancurkan sisa Horcrux (kepingan jiwa) Voldemort yang masih tersebar di berbagai tempat. Dalam menjalankan misi ini, mereka juga menemukan fakta tentang keberadaan tiga benda keramat yang dijuluki The Deathly Hallows. Ketiga benda tersebut jika disatukan konon akan membuat pemiliknya memiliki kekuatan tak terbatas.

Tidak seperti enam instalmen sebelumnya dimana kastil Hogwarts selalu dijadikan setting utama, kali ini sekolah sihir tersebut tidak diperlihatkan sama sekali. Perjalanan trio Harry-Ron-Hermione yang selalu berpindah-pindah lokasi membuat film ini lebih terkesan seperti road movie. Absennya Hogwarts sebagai setting juga membuat film ini memiliki feel yang berbeda dibandingkan film-film sebelumnya. Lebih liar, berbahaya, sekaligus emosional.

Salah satu keuntungan dari dibaginya film terakhir ini menjadi dua bagian yaitu semakin leluasanya cerita untuk bergerak. Perlahan namun pasti, menurut saya pace-nya sudah sangat pas. Steve Kloves berhasil menyusun skrip yang tetap setia dengan sumber aslinya namun juga tidak ragu untuk sedikit berimprovisasi. Adegan Harry menghibur Hermione dengan mengajaknya berdansa diiringi lagu O Children yang dibawakan Nick Cave sungguh suatu kejutan yang sangat manis. Nice job, Kloves!

Ruang gerak yang luas dalam ceritanya juga memberi kesempatan lebih untuk pendalaman karakter, terutama karena disini fokus utamanya memang terletak pada perkembangan hubungan antara tiga tokoh utamanya. Pendalaman karakter yang baik tentu bergantung juga pada penjiwaan tiap aktor-aktrisnya dalam memainkan peran masing-masing. Tanpa ragu saya katakan bahwa Radcliffe, Grint, dan Watson telah mempersembahkan performa terbaik mereka disini. Setelah hampir satu dekade, sangat terlihat bahwa mereka bertiga semakin melebur dengan karakter masing-masing. Yang paling menonjol menurut saya adalah Emma Watson. Ia bersinar di setiap kemunculannya. Opening scene dimana ia diperlihatkan harus menghapus ingatan orangtuanya terasa begitu emosional. It's one of the most heartbreaking scenes I've ever scene. Singkat tapi memorable. Untuk pemeran pendukung lainnya yang banyak diisi oleh aktor veteran Inggris, saya rasa tidak perlu ditanya lagi. Walaupun kebanyakan dari mereka hanya tampil singkat, namun performanya tetap prima. Sungguh ensemble cast yang mengagumkan.

Dari sisi teknis, sinematografi garapan Eduardo Serra sangatlah indah dan memanjakan mata. Keberaniannya dalam menggunakan teknik hand-held camera di beberapa adegan patut diapresiasi. Adegan kejar-kejaran antara trio tokoh utama kita dengan para Snatchers sukses memompa adrenalin. I love that scene! Warna-warna yang ditampilkan cenderung gelap, sesuai dengan mood film. Score karya Alexander Desplat juga semakin memperkaya adegan demi adegannya. Suatu keputusan tepat untuk melibatkan komposer ini dalam proyek sekelas Harry Potter. Film sebusuk New Moon saja jadi terkesan lebih elegan berkat komposisi musik gubahannya.

David Yates memang memberi bobot lebih pada unsur drama dalam instalmen terbaru ini, namun bukan berarti ia melupakan unsur hiburannya. Selipan humor segar di beberapa adegan berhasil mengundang tawa. Lalu action sequences yang ada juga digarap dengan dengan baik—seru sekaligus mencekam di beberapa bagian. Oh ya, jangan lupakan adegan yang menjelaskan tentang legenda The Deathly Hallows. Sequence ini dipresentasikan dalam animasi berupa siluet dengan latar belakang kecoklatan. Indah sekaligus memancarkan daya magis yang begitu kuat.

Menurut saya, inilah adaptasi terbaik dari keseluruhan film Harry Potter yang pernah dirilis. Sangat terlihat kerja keras Yates beserta krunya dalam upaya menghadirkan yang terbaik bagi para fans setia franchise ini. J.K. Rowling patut berbangga karena karyanya ditangani dengan penuh respek oleh Yates dan krunya. Sebuah awal yang baik untuk mengakhiri kisah yang begitu dicintai orang banyak. Saya sendiri sebagai fanboy (yeah, I'm proud of it!) tentu sangat tidak sabar untuk menunggu kisah pamungkasnya musim panas nanti. Please, don't let me down, Yates!

Long live Harry Potter.

R.I.P. Dobby the Free House Elf

Rating : 9/10

Monday, November 15, 2010

Winter's Bone (2010)

Genre : Drama/Mystery/Thriller

Pemain : Jennifer Lawrence, John Hawkes, Garret Dillahunt, Lauren Sweetser, Dale Dickey, Shelley Waggener

Sutradara : Debra Granik

Penulis : Debra Granik & Anne Rosellini (screenplay), Daniel Woodrell (novel)

Distributor : Roadside Attractions

Durasi : 100 menit

MPAA : Rated R for some drug material, language and violent content


"I got two kids that can't feed themselves yet. My mom's sick, and she's always gonna be sick. Pretty soon the laws are coming and taking our house... and throwing us out to live in the field like dogs."
-Ree-

Ketika seseorang dihadapkan pada kondisi serba tertekan, terkadang secara tak terduga ia akan mengeluarkan potensi dalam dirinya yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Saya sendiri juga pernah mengalami kejadian seperti itu. Misalnya tahun lalu, saat saya berada di penghujung semester akhir perkuliahan dimana tekanan untuk menyelesaikan tugas akhir semakin bertubi-tubi. Dengan waktu yang semakin sempit (berbanding terbalik dengan bertumpuknya materi yang masih perlu diselesaikan), tentunya saya terpacu untuk secepat mungkin menyelesaikan tugas tersebut. Dan ajaibnya, hanya dalam waktu beberapa hari semua dapat terselesaikan. Meskipun tidak aneh jika hasilnya mungkin kurang maksimal. Yang penting kan beres, soal banyaknya revisi mah urusan nanti (pola pikir mahasiswa pemalas). Maaf jika ini jadi terkesan seperti ajang curhat dengan sampel yang tidak patut ditiru. Poinnya, setiap orang memiliki potensi terpendam dan besar kemungkinan semua itu akan benar-benar tampak saat ia berada dalam situasi sulit, imo.

Korelasi antara ocehan saya di atas dengan film berjudul Winter's Bone ini yaitu situasi serba sulit yang juga dialami oleh tokoh utamanya, Ree Dolly (Jennifer Lawrence). Ree adalah seorang gadis remaja 17 tahun yang hidup di lingkungan terpencil di pegunungan Ozark, Missouri. Dengan usianya yang masih belia, ia harus menjadi tulang punggung bagi kedua adiknya yang masih kecil dan juga ibunya yang tidak bisa berbuat apa-apa dengan kondisi mentalnya. Tunggu, kemana perginya sang ayah yang seharusnya bertindak sebagai kepala keluarga? Itulah pemicu rentetan masalah yang akan dihadapi Ree nanti. Ayahnya—Jessup Dolly, dikenal sebagai "peracik" methamphetamine (sejenis drugs) yang saat ini sedang menjadi buronan pihak kepolisian. Parahnya, ia menjadikan rumah dan semua aset miliknya sebagai jaminan. Jika ia tidak muncul dalam persidangan di minggu berikutnya, keluarganya terpaksa harus kehilangan tempat tinggal. Demi kelangsungan hidup keluarganya, Ree bertekad menemukan sang ayah walau seberat apapun resiko yang mesti ditanggungnya kelak.

Pencarian yang dilakukan Ree tentu tidaklah mudah. Dengan lingkungan yang masih menganut paham patriarki serta ikatan kelompok yang kuat, keingintahuan Ree justru memposisikan dirinya serta keluarganya dalam bahaya. Ree mendatangi setiap orang yang ia yakini pernah berhubungan dengan ayahnya, dan ini tentu saja membuat dirinya seolah hadir sebagai pengganggu. Ekstrimnya, pencarian yang ia lakukan bagaikan sebuah misi bunuh diri yang sudah jelas hasil akhirnya. Namun dengan modal keberanian dan kegigihannya, apakah masih ada harapan bagi Ree untuk dapat menemukan ayahnya? Dalam melalui kesulitan ini, untungnya dia tidak sendiri. Masih ada Gail (Lauren Sweetser), sahabat karibnya yang selalu mendukungnya. Selain itu masih ada pamannya, Teardrop (John Hawkes)—drug-addict yang awalnya menentang Ree untuk ikut campur dalam urusan yang seharusnya ditangani sendiri oleh ayahnya. Namun, pada akhirnya ia pun bersedia membantu mencari informasi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa aura yang dibawa film ini begitu kelam dan cenderung depresif. Dengan setting di daerah terpencil yang tampak seperti area post-catastrophe, mood film ini memang dijaga agar tetap terasa kekelamannya. Michael McDonough—sang cinematographer, juga ikut andil dalam membangun mood film dengan gambar-gambar yang cenderung ber-tone gelap. Terkesan dingin, namun indah untuk dipandang. Sepanjang film, adegan-adegannya sepi dari musik latar. Namun bukan berarti film ini total mengabaikan musik pengiring. Meskipun kemunculannya minim, namun score garapan Dickon Hinchliffe mampu mengisi tiap adegannya dengan baik. Jangan lupakan sisipan lagu-lagu beraliran bluegrass dengan vokal menawan dari Marideth Sisco yang ikut muncul dalam salah satu adegan. Kehadiran lagu-lagu yang menyejukkan hati ini mengimbangi kelamnya tone film.

Debra Granik—sang sutradara sekaligus penulis naskahnya (bersama Anne Rosellini), berhasil mengadaptasi novel karya Daniel Woodrell menjadi sebuah film yang memikat—mencekam namun sekaligus memancarkan optimisme. Granik patut diberi kredit tersendiri berkaitan dengan keseriusannya dalam mengerjakan proyek ini. Konon ia menghabiskan waktu sekitar dua tahun untuk mengobservasi kehidupan masyarakat di Ozark demi keotentikan film ini nantinya. Dan kerja kerasnya terbukti membuahkan hasil yang maksimal. Meskipun saya tidak pernah tinggal di Ozark (bahkan nama daerah ini pun baru saya dengar melalui film ini), namun saya cukup yakin bahwa apa yang ditampilkan Granik disini adalah gambaran dari realita yang ada. Potret kehidupan masyarakat miskin di pinggiran Amerika ini mampu melibatkan emosi saya sebagai penonton tanpa terkesan manipulatif. Semuanya tampak natural.

Kesan realisme yang timbul juga tidak lepas dari peran para aktor dan aktrisnya yang berhasil menghidupkan masing-masing karakternya dengan meyakinkan. Sebagai Teardrop—paman Ree yang pecandu obat dan temperamental, John Hawkes sukses menampilkan permainan memukau. Ia mampu mengesankan sifat antagonis di awal kemunculannya yang pada akhirnya berubah simpatik. Selain Hawkes, pemeran pendukung lainnya juga menampilkan performa yang meyakinkan, mulai dari Dale Dickey, Lauren Sweetser, sampai pemeran kedua adik Ree yang membawa keceriaan tersendiri melalui kepolosan mereka. Namun tentu saja bintang dalam keseluruhan film ini adalah Jennifer Lawrence sebagai Ree Dolly, sang tokoh utama penggerak cerita. Lawrence memancarkan pesona natural yang membuat kehadirannya di layar begitu mencuri perhatian. Kekuatan dan keberanian seorang gadis remaja dalam menghadapi berbagai kesulitan nampak jelas melalui karakternya, namun di sisi lain ia juga rapuh. Salah satu scene di tengah hutan saat Ree meminta nasehat pada ibunya sangatlah emosional. Di titik ini penonton dibuat tersadar bahwa dibalik sosok tegar itu, Ree tetaplah seorang remaja yang membutuhkan topangan. Lebih jelasnya, ia membutuhkan figur orangtua yang layak. Tidak diragukan lagi, ini adalah peran yang akan meroketkan nama Jennifer Lawrence dan membuatnya menjadi salah satu komoditi panas di kancah perfilman Hollywood.

Kesuksesan feature film kedua arahan Debra Granik ini di event Sundance Film Festival beberapa waktu lalu tidaklah mengherankan mengingat kualitasnya yang sangat prima. Tidak mengherankan juga jika film ini nantinya menjadi primadona di ajang penghargaan paling bergengsi di Hollywood—Academy Awards. Jennifer Lawrence jelas harus mendapatkan setidaknya nominasi sebagai Aktris Terbaik. Di luar potensinya dalam menarik perhatian berbagai ajang penghargaan, film ini memang sangat patut diapresiasi oleh para penikmat film. Salah satu drama terbaik yang menggambarkan realita kehidupan dengan jujur dan apa adanya. Definitely worth watching!

Rating : 9/10

Wednesday, November 10, 2010

The Brood (1979)

Genre : Horror/Sci-Fi

Pemain : Art Hindle, Samantha Eggar, Oliver Reed, Cindy Hinds, Nuala Fitzgerald, Harry Beckman

Sutradara : David Cronenberg

Penulis : David Cronenberg

Distributor : New World Pictures

Durasi : 92 menit




"Thirty seconds after you're born you have a past and sixty seconds after that you begin to lie to yourself about it."

-Juliana-

David Cronenberg. Mendengar nama itu, tiba-tiba langsung terlintas di benak saya poster film Eastern Promises. Kenapa harus film itu? Karena itulah satu-satunya film beliau yang familiar bagi saya, padahal saya sendiri pun belum sempat menontonnya (I'm not kidding). Anyway, posternya keren, maka dari itu image-nya masih melekat di benak saya. Oke, saya tidak akan membahas film tersebut lebih lanjut, melainkan karya Cronenberg di paruh awal karirnya. Cronenberg dikenal sebagai salah satu sutradara penghasil film-film yang memiliki istilah body horror ataupun biological horror. Sesuai namanya, film jenis ini menempatkan tubuh (manusia) sebagai pemicu nuansa horornya. Virus, mutasi, sampai peletakan anggota tubuh yang abnormal adalah beberapa contoh isu yang diangkat dalam sebuah body horror.

Sekilas dari premisnya, The Brood tampak seperti sebuah film horor yang memasang sosok anak kecil sebagai penebar terornya. Cukup dengan premis seperti itu, saya langsung tertarik untuk menyantap film ini. Entah mengapa, film horor dengan tema evil child atau disturbed child seperti ini memiliki daya tarik tersendiri bagi saya. The Omen dan Orphan adalah 2 contoh film yang menawarkan tema tersebut dan berhasil memikat atensi saya. Bahkan film busuk berjudul Case 39 pun terasa cukup menghibur berkat performa apik Jodelle Ferland—satu-satunya aktris dengan akting paling meyakinkan disitu (sorry Zellweger, this time you suck).

The Brood menandai perkenalan saya dengan film-film besutan Cronenberg dan ternyata film ini bukan hanya sebuah pertunjukan penuh teror yang datang dari sesosok anak kecil. Ini adalah sebuah karya yang sangat personal bagi Cronenberg karena bisa dibilang cerita dalam film ini merupakan refleksi dari tragedi di kehidupan pribadinya. Saat itu beliau sedang menghadapi perceraian sekaligus perebutan hak asuh putrinya. Dalam filmnya ini, isu perceraian dan hak asuh anak juga dikemukakan, dengan tambahan isu lain mengenai child abuse, trauma masa lalu, sampai sebuah terapi non-konvensial yang disebut psychoplasmic. Semua itu dibungkus dalam sajian horor penuh misteri dengan sebuah twist di akhir.

Psychoplasmic—sebuah metode terapi yang begitu asing di telinga saya. Entah memang nyata atau hanya fiksi belaka, dalam film ini digambarkan bahwa metode tersebut adalah sebuah jalan bagi seseorang (pasien) untuk mengeluarkan semua emosi negatif yang ia pendam dengan efek samping berupa timbulnya suatu bekas pada tubuhnya (semacam luka, bisul, ataupun "jejak-jejak" lainnya). Dr. Hal Raglan (Oliver Reed)—seorang psikiater sekaligus penulis buku The Shape Of Rage yang menerapkan metode tersebut pada pasiennya. Salah seorang pasiennya bernama Nola Carveth (Samantha Eggar) yang sedang melalui masa-masa sulit pasca perpisahan dengan suaminya, Frank (Art Hindle) dan juga putri semata wayangnya, Candice (Cindy Hinds). Bermula dari kecurigaan Frank terhadap Nola yang diyakini pernah menyakiti Candice secara fisik, berbagai pembunuhan sadis mulai terjadi di sekitarnya. Diketahui kemudian bahwa pelakunya adalah sesosok makhluk kecil bertudung. Sementara itu, Frank tetap bersikeras mempertahankan putrinya dan menjauhkannya dari Nola sekaligus mengungkap misteri yang ada di tubuh Somafree—institusi psychoplasmic milik Dr. Raglan.

Kramer vs Kramer versi horor, itulah pendeskripsian Cronenberg untuk film garapannya ini. Pernyataan tersebut memang cukup tepat mengingat kedua film tersebut sama-sama menggambarkan kasih sayang seorang ayah serta perjuangannya untuk mempertahankan hak asuh atas anaknya. Namun, tidak ada courtroom scene penguras emosi di sini. Yang bisa anda saksikan adalah sesi terapi yang mengeksplor berbagai emosi negatif dalam diri manusia, seperti rasa dendam, amarah, sampai keinginan untuk membunuh. Dan layaknya Kramer vs Kramer, film ini juga didukung jajaran pemain yang berperan dengan sangat baik. Performa paling menonjol dihadirkan oleh Oliver Reed dan Samantha Eggar. Sebagai Dr. Raglan, Reed berhasil menampilkan karakter misterius yang penuh ambiguitas. Sulit menerka apakah ia memang benar tokoh villain atau bukan. Samantha Eggar juga bermain dengan gemilang sebagai Nola—seorang istri dan ibu yang depresif. Ia berhasil mengeluarkan aura mengerikan dengan kelabilannya, namun sekaligus menimbulkan rasa simpati pada penonton. Secara keseluruhan, ensemble cast-nya tampil meyakinkan.

Sebagai sebuah film horor, saya akui film ini berhasil memberikan aura mencekam secara efektif. Beberapa adegannya sempat membuat bulu kuduk saya berdiri, terutama adegan menjelang akhir film yang cukup mencengangkan. It's one of the best "what the fuck moments" I've ever seen. Adegan apa? Saya tidak akan mengobral spoiler, thanks. Feel horor yang ada semakin dipertegas dengan music score garapan Howard Shore—komposer peraih Oscar melalui karya fenomenalnya dalam trilogi The Lord Of The Rings. The Brood menjadi awal dari kerjasama berkelanjutan antara Howard Shore dengan David Cronenberg. Setelah film ini, semua film Cronenberg diisi dengan music score gubahan Shore, kecuali satu film berjudul The Dead Zone.

Dengan semua komponennya yang menarik, mulai dari naskah, deretan pemain, sampai berbagai hal teknisnya, film ini berhasil masuk ke dalam list film-film favorit saya. Walaupun alurnya cenderung lambat, semuanya dibayar tuntas dengan eksekusinya yang berkesan secara keseluruhan. Highly recommended.

Rating : 8/10

Sunday, October 31, 2010

Movie Week #01 : When October Nearly Hits The End

Oktober. Bulan ke-10 menurut hitungan kalender Masehi. Lalu, apa sih yang menarik dari bulan ini? Adakah event yang membuat bulan ini terasa lebih istimewa dibanding bulan-bulan lainnya? Ya, saya tahu anda pasti akan menjawab satu kata itu—Halloween. Oke, mungkin anda mulai menganggap saya si sok tahu yang sedang meracau, namun tidak dapat dipungkiri bahwa bulan Oktober memang lekat dengan kata Halloween. Meski perayaan tahunan ini tidak begitu berarti bagi saya pribadi, namun hype-nya tidak bisa diabaikan begitu saja. Jauh sebelum Oktober menginjak tanggal 31, nuansa Halloween sudah bisa saya rasakan. Peran media cukup membantu dalam membangun atmosfer mistik ataupun horor yang lekat dengan event ini. Saya memang tidak merayakan Halloween, namun saya menyukai feel yang dihembuskannya. Kegemaran saya akan hal-hal berbau horor (film, lebih tepatnya) semakin memuncak saat memasuki bulan Oktober, terutama saat mendekati akhir bulan. Dan secara tiba-tiba saya bagai dirasuki roh orang hamil yang sedang ngidam nonton film horor. Akhirnya, saya memutuskan untuk menggelar movie week kecil-kecilan dengan menonton film-film horor selama lima hari berturut-turut di minggu terakhir Oktober ini. Mengapa hanya lima film? Karena keterbatasan koleksi film dan terutama—karena saya orang sibuk. D'oh! *ditimpuk pisau dapur* Oke, tanpa berbasa-basi lagi, inilah kelima film yang saya tonton dalam rangka menyambut Halloween tahun ini.


When A Fake Found Footage Seems So Convincing
The Blair Witch Project (1999)

Mungkin ini adalah salah satu film paling pintar (atau licik?) dalam urusan marketing. Film yang bercerita mengenai tiga orang pelajar yang hilang di tengah hutan saat sedang membuat proyek film dokumenter tentang legenda Blair Witch ini ditengarai sebagai rekaman asli yang ditemukan sekitar setahun setelah kejadian. Dengan promosi sedemikian rupa, hype-nya semakin memuncak dan akhirnya film ini pun meraih kesuksesan luar biasa di tangga box-office sekaligus mencatat rekor sebagai salah satu film indie paling laris. Fakta bahwa film ini hanyalah sebuah rekayasa mungkin akan membuat sebagian orang merasa dibodohi. Dan menurut saya, tanpa ditambahi isu based-on-real-event-bullshit itu pun sebenarnya film ini memang sangat layak untuk disaksikan terutama oleh para penikmat film horor. Dengan gaya mockumentary yang saat itu masih jarang dieksplor, duo sutradara Daniel Myrick dan Eduardo Sanchez berhasil menyajikan ketegangan yang dibangun secara perlahan dan semakin memuncak hingga mencapai klimaks di akhir film. Pujian juga patut diberikan pada ketiga aktornya yang bermain dengan sangat meyakinkan, terutama Heather Donahue. Adegan menjelang ending saat ia membuat video "permintaan maaf" dengan shot extreme close up setengah wajah terasa begitu mencekam sekaligus emosional. Sungguh pengalaman menonton yang sangat berkesan. Perfect movie to start this movie week.

Rating : 8/10


When Ultra Cheesy Horror Movie Turned Out To Be Entertaining
Malam Satu Suro (1988)

Suzzanna. Siapakah dia? Bohong jika anda mengaku tidak mengenal nama almarhum sang legenda perfilman horor Indonesia ini. Ya, beliau memang terkenal dengan peran-perannya sebagai makhluk halus di film-film yang dibintanginya. Bukan hanya di dunia film, konon kehidupan pribadinya pun penuh dengan aura mistik (kebiasaannya mengkonsumsi bunga melati? Sungguh inspiratif). Dalam film ini, beliau kembali memerankan sesosok hantu yang lebih dikenal sebagai sundel bolong bernama Suketi. Diceritakan bahwa Suketi dibangkitkan dari kuburnya oleh seorang dukun untuk kemudian dijadikan anak angkatnya. Aneh ya? Tunggu sebentar. Kemudian ada seorang pemuda bernama Bardo yang kebetulan bertemu Suketi di tengah hutan. Dalam waktu singkat, ia pun jatuh cinta dan memutuskan untuk melamar Suketi. Sedikit aneh? Memang. Tahun-tahun berlalu, diceritakan mereka sudah memiliki dua orang anak hasil perkawinan mereka. Wtf? Semakin aneh? Ya, saya tahu. Konflik mulai muncul yang kemudian menyebabkan Suketi kembali ke wujud aslinya sebagai sundel bolong. Bagaimana kelanjutan kisah si sundel bolong yang sempat malih rupa menjadi manusia bahkan bisa bereproduksi ini? Memang banyak sekali hal-hal tidak masuk akal dan super konyol di sepanjang film ini, namun hey, ini horor 80an loh. Tolong ya. Justru dengan segala keanehan dan kadar cheesy yang over dosis, film ini jadi begitu menghibur. Film ini juga memiliki keunikan tersendiri karena mencoba menggabungkan cerita horor dengan unsur romantis. Penghormatan untuk almarhum tante Suzzanna, beliau sangat menghibur disini. Dari sosok yang sangat pendiam di awal, menjadi sosok lelembut yang doyan melontarkan joke-joke dan aksi menggelitik. Coba tengok tingkahnya saat makan bakpao dengan gaya akrobatik. Selain itu, kapan lagi anda bisa melihat sundel bolong menggali kuburan atau bermain egrang sambil goyang dangdut? Ya, anda harus menonton film ini dengan catatan anda tidak gengsi untuk menyaksikan sesuatu yang mungkin disebut norak oleh sebagian orang.

Rating : 6/10


When Raimi Regenerated His Own Masterpiece
Evil Dead 2 (1978)

The Evil Dead adalah sebuah karya monumental dari seorang Sam Raimi. Film tersebut sampai saat ini banyak mendapat pujian dari kalangan kritikus maupun penonton awam dan telah mencapai status cult. Saya sendiri belum lama ini menonton film tersebut dan memang sangat terhibur dengan penyajiannya. Adegan gore yang over the top, dialog super cheesy, serta performa pemainnya yang gila (noraknya) jadi nilai hiburan tersendiri yang membuat saya benar-benar puas setelah menyaksikannya. Dan kini, saatnya saya menyaksikan kelanjutan dari kegilaan ini melalui sekuelnya—Evil Dead 2. Film ini tidak langsung melanjutkan adegan dari ending film sebelumnya, namun justru malah memadatkan apa yang ada di prekuelnya tersebut dalam 10 menit pertama. Setelah itu, baru dimulailah lanjutan dari kisah Ash (Bruce Campbell) yang terjebak dalam kabin di tengah hutan sekaligus menghadapi serangan para arwah yang bangkit kembali akibat mantra dalam Book of the Dead. Disini juga ditambahkan 4 tokoh baru untuk semakin memperluas cakupan cerita. Secara teknis, film ini digarap dengan lebih baik dibanding film sebelumnya. Kadar hiburannya masih kental, ditunjang dengan permainan dari Bruce Campbell yang semakin gila. Muncratan darah serta potongan daging masih bertebaran layaknya di film pertama. Secara keseluruhan, film ini sedikit di atas kualitas film pertamanya (imo). Dengan ending yang terbuka, saya semakin penasaran dengan kelanjutan dari seri ini—Army Of Darkness.

Rating : 8/10


When A Vampire Tale Seems So Deeply Haunting Yet Heartwarming
Let The Right One In (2008)

Saya pertama kali menyaksikan film ini sekitar 2 tahun lalu, sebulan sebelum film vampir lain yang digilai remaja putri dan ibu-ibu (Twilight, of course) menancapkan taringnya di bioskop-bioskop dunia dan menodai kesucian mitos dunia vampir dengan tubuh kelap-kelip Edward Cullen (lebaaaaay). Film Swedia yang diangkat dari novel berjudul sama buah karya John Ajvide Lindqvist ini memang kalah gaungnya dibanding film remaja menje-menje itu (eh, saya bukan Twi-hater ya. Catat). Namun untuk kelas festival, film ini sudah menjadi bahan perbincangan dimana-mana. Berbagai pujian yang disematkan pada film ini memang pantas didapat. Dengan memasang 2 tokoh utamanya yang masih berumur 12 tahun (salah satunya 12 tahun dan stuck disitu), film ini mencoba menyelami sisi gelap masa kanak-kanak. Persahabatan antara Oskar (Kare Hedebrant)—bocah penyendiri korban bullying, dengan seorang gadis vampir bernama Eli (Lina Leandersson) terasa begitu manis sekaligus mengerikan. Ingat bagaimana nasihat Eli pada Oskar untuk membalas anak yang sering mem-bully dirinya. Lalu adegan Eli mendadak menjadi buas saat melihat darah Oskar. Dan puncaknya, saat menjelang akhir film dengan setting di kolam renang—sunyi sekaligus brutal. Adegan ini menggambarkan betapa kuatnya ikatan persahabatan antara mereka berdua. Setting di daerah bersalju yang sepi dan terkesan dingin, membuat atmosfer mencekam dari film ini semakin terasa. Saya suka sinematografinya yang enak dipandang dan juga music score-nya yang terdengar begitu emosional. Ini adalah sebuah kisah mengenai persahabatan serta tema coming of age dengan balutan nuansa horor yang sangat patut untuk ditonton. Mengutip komentar dari salah satu kritikus yang dipajang di cover DVD-nya : "Best Vampire Movie. Ever"

Ra
ting : 9/10


When A Masked Psycho Marks His First Memorable Appearance
Halloween (1978)

Inilah film terakhir yang saya tonton di movie week bernuansa horor ini. Sebuah penutup yang sempurna, sangat tepat untuk menyambut perayaan Halloween. Meski berjudul Halloween, film ini bukanlah sebuah horor tentang mitos yang berhubungan dengan perayaan tersebut. Halloween hanya digunakan sebagai backdrop cerita dan sepertinya juga untuk semakin menguatkan suasana mencekam yang dihadirkan. Opening film ini diisi dengan main theme gubahan Carpenter sendiri—moody dan sangat memorable. Setelah opening credit, Carpenter menggunakan teknik first person view melalui sudut pandang Michael Myers kecil (Will Sandin)—the soon-to-be psychotic killer, salah satu ikon horor klasik paling dikenal. Scene ini begitu berkesan karena seolah mengajak penonton untuk ikut memasuki pikiran seorang Michael Myers. Lalu, alur cerita melompat ke 15 tahun kemudian. Diceritakan Michael (Nick Castle) berhasil kabur dari institusi dimana ia diisolasi selama ini, dan sekarang ia menuju ke Haddonfield—kampung halamannya tercinta. Disana, ia menemukan target baru—seorang remaja kutu buku bernama Laurie (Jamie Lee Curtis). Maka, teror pun dimulai. Sebagai sebuah slasher film, secara mengejutkan film ini minim adegan berdarah. Namun itu tidak berpengaruh banyak terhadap intensitas ketegangannya. Dengan penataan kamera yang efektif, score yang kuat, serta karakter villain yang memorable (kemunculan Michael Myers tidak terlalu diumbar sehingga kemisteriusan karakter ini tetap terjaga), Carpenter telah berhasil menghasilkan horor yang efektif dan berkesan. Tidak salah jika film ini memberikan banyak influence terhadap film-film horor lain yang dirilis kemudian. Saya sangat menikmatinya, dan juga tidak ragu memberikan nilai tinggi untuk film ini.

Rating : 9/10



Oke, secara keseluruhan semua film yang saya tonton seminggu ini cukup berkesan dan sangat menghibur. Lain waktu, saya akan mengadakan lagi movie week kecil-kecilan dengan tema yang berbeda. Penontonnya? Tentu saja saya sendiri. Semoga anda berkenan dengan review borongan ini. :D

Sunday, October 24, 2010

The Hole (2001)

Genre : Drama/Mystery/Thriller

Pemain : Thora Birch, Keira Knightley, Desmond Harrington, Laurence Fox, Daniel Brocklebank, Embeth Davidtz

Sutradara : Nick Hamm

Penulis : Guy Burt (novel), Ben Court & Caroline Ip (screenplay)

Distributor : Pathe Distribution

Durasi : 102 menit

MPAA : Rated R for pervasive language, some violence, sexuality/nudity and drug use


"When you're convinced of your own absolute superiority, you don't need help from mere mortals like me. You can fuck things up all by yourself."
-Martyn-

Ketertarikan saya terhadap film ini muncul tiba-tiba, karena sebelumnya saya sama sekali asing dengan judul film produksi Inggris ini. Saat itu saya sedang berada di salah satu rental home video paling keren di Jakarta (no joke), dan tanpa sengaja saya melihat cover DVD film berjudul The Hole. Yang membuat saya tertarik, ada wajah Keira Knightley disitu. Penampilan Knightley pra kesuksesan trilogi Pirates of the Caribbean? So tempting! Dan yang semakin menarik atensi saya adalah genre yang ditawarkan film ini—mystery/thriller. Tanpa pikir panjang, saya langsung membawa film ini ke kasir. Ekspektasi saya tidak terlalu besar karena film ini tampak seperti film thriller indie biasa dengan premis cerita sederhana. Yang ingin saya lihat adalah si cantik Keira Knightley yang katanya tampil cukup "berani" disini dalam usianya yang masih 16 tahun. Sounds pervert? Whatever.

Film dibuka dengan adegan seorang gadis berjalan sempoyongan di sepanjang jalanan sepi yang di sekelilingnya penuh pamflet berita orang hilang. Gadis tersebut terlihat tergesa-gesa memasuki suatu kompleks sekolah-asrama. Sesampainya di dalam, ia terjatuh lemas setelah menjerit meminta bantuan. Kemudian diketahui bahwa ia adalah salah satu murid di sekolah tersebut yang diberitakan hilang 18 hari sebelumnya. Seorang psikolog dari kepolisian—Dr. Philippa Horwood (Embeth Davidtz) bertugas menggali informasi dari gadis bernama Liz (Thora Birch) tersebut. Lalu Liz mulai menceritakan kejadian yang dialaminya saat ia diberitakan hilang. Melalui cerita yang dipaparkannya, terkuak bahwa Liz bersama 3 orang lainnya—Frankie (Keira Knightley), Mike (Desmond Harrington), dan Geoff (Laurence Fox) disekap dalam sebuah bunker peninggalan zaman perang di hutan sekitar sekolahnya. Dan pelakunya adalah Martyn (Daniel Brocklebank), teman Liz sendiri.

Saat misteri hilangnya Liz beserta tiga orang lainnya mulai terkuak, misteri baru timbul saat polisi menginterogasi Martyn, sang tersangka. Versi yang diceritakan Martyn jauh berbeda dengan apa yang disampaikan Liz sebelumnya. Dari sini, cerita mulai bergerak lebih menarik. Versi pertama (dari sudut pandang Liz) tergambar bahwa Liz adalah remaja biasa yang jauh dari kata populer, sahabat karib Martyn, dan tergila-gila pada Mike. Akibat niat jahat Martyn, Liz beserta tiga orang lainnya—Frankie, Geoff, dan juga Mike terkurung dalam sebuah bunker bawah tanah di tengah hutan. Mereka disekap disana tanpa ada seorang pun yang mengetahui keberadaan mereka selain Martyn. Versi kedua (dari sudut pandang Martyn), Liz adalah gadis bitchy, sahabat karib Frankie, dan juga tergila-gila pada Mike. Dalam usahanya merebut hati Mike, Liz berencana menghabiskan akhir pekan dengan berpesta di sebuah bunker terpencil yang dulu pernah ditunjukkan Martyn padanya. Jelas terlihat bahwa Martyn bukanlah orang yang bertanggungjawab atas menghilangnya keempat remaja tersebut.

Cukup menarik untuk menebak-nebak siapa yang menceritakan fakta sebenarnya diantara mereka berdua. Paruh awal film sedikit membosankan karena minim konflik dan cenderung datar. Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, film mulai beranjak lebih menarik saat adegan Martyn diinterogasi. Cerita versi Martyn ditimpali pula dengan adegan-adegan yang timbul dari kilasan memori Liz. Saya pun semakin tertarik untuk mengikuti kelanjutan ceritanya. Namun saat memasuki satu jam durasi, saya sudah bisa menebak kemana arah film ini. Saya tetap bertahan untuk terus menonton demi bisa mengetahui akhir kisahnya agar bisa dengan puas berkata : "sudah kuduga". Ya, siapa pemicu masalah sebenarnya serta motif yang melatarinya ternyata memang sesuai dugaan saya. Walaupun cukup predictable dan banyak plot hole disana-sini, namun secara keseluruhan ceritanya masih enak diikuti.

Semua pemainnya bermain dengan kadar cukup, tidak terlalu menonjol. Thora Birch lah yang cukup menarik perhatian saya dengan aksen British-nya yang meyakinkan (menurut telinga saya). Lalu bagaimana dengan Keira Knightley yang tampil berani (baca : pamer dada) disini? Lumayan oke lah, meskipun saya tidak sampai berteriak "ten out of ten!" seperti Desmond Harrington (cuma sedetik sih, jadinya kurang berkesan). Di luar itu, Knightley memang terlihat mempunyai potensi untuk menjadi aktris besar, dan saat ini ia sudah berhasil membuktikannya.

Untuk penyuka film thriller yang lebih menekankan sisi psikologis dibanding adegan gore yang tidak perlu, saya merekomendasikan The Hole sebagai alternatif tontonan. Film ini juga mengeksplor sejauh mana seseorang mampu bertindak demi mendapatkan apa yang ia inginkan. Obsesi memang bisa membutakan—membuat seseorang terjerat dalam hawa nafsunya sendiri sehingga tidak peka lagi terhadap lingkungan sekitar. Tanpa bermaksud memberikan spoiler, menurut saya ending film ini akan membuat sebagian penonton kesal setengah mati. Just my thought.

Rating : 6/10

Wednesday, October 20, 2010

Heathers (1989)

Genre : Comedy/Crime

Pemain : Winona Ryder, Christian Slater, Shannen Doherty, Lisanne Falk, Kim Walker

Sutradara : Michael Lehmann

Penulis : Daniel Waters

Distributor : New World Pictures

Durasi : 103 menit

MPAA : Rated R for violence, sexual references, and language


"Betty Finn was a true friend and I sold her out for a bunch of Swatch dogs and Diet Coke heads. Killing Heather would be like offing the wicked witch of the west... wait, east. West! God! I sound like a fucking psycho."
-Veronica-

Kalimat di atas adalah satu dari sekian banyak quote menggelitik yang bertebaran di sepanjang durasi film ini. Heathers, sebuah potret kehidupan para remaja dalam balutan dark comedy yang tajam, penuh sindiran, sekaligus cerdas. Judul film ini sendiri diambil dari nama sebuah kelompok (mungkin lebih dikenal dengan sebutan geng) yang terdiri dari tiga siswi populer bernama depan sama—Heather Chandler (Kim Walker), Heather Duke (Shannen Doherty), dan Heather McNamara (Lisanne Falk). Layaknya film-film remaja kebanyakan, clique yang terdiri dari gadis-gadis paling populer di sekolah otomatis memiliki otoritas penuh dalam hal pergaulan. Mereka seolah berada di tempat tertinggi dalam stratifikasi sosial di lingkungan sekolahnya. Dari scene awalnya saja, sudah tergambar seberapa berpengaruhnya eksistensi para Heather ini. Ah, saya jadi teringat lagu Que Sera Sera.

Veronica Sawyer (Winona Ryder)—gadis cerdas dengan selera humor sarkastik, adalah anggota keempat di geng Heathers. Wait, a non-Heather in Heathers? How could that be? Ya, meski tidak dijelaskan bagaimana awal mula Veronica bisa diterima di geng tersebut (yang tampak sudah sempurna sebagai trio), namun jelas bahwa ia memiliki sesuatu yang menarik perhatian para Heather. Tidak seperti Duke dan McNamara yang tampak agak segan terhadap pemimpin mereka—Heather Chandler, Veronica justru cenderung lebih santai saat berada di dekatnya. Sosok Veronica adalah cerminan seorang remaja yang ingin diterima dalam pergaulan dengan bergabung bersama geng populer, tidak peduli bahwa justru sebenarnya ia membenci geng tersebut. Seperti kalimat yang diucapkannya, "Well, it's just like - they're people I work with, and our job is being popular and shit." Jelas tergambar bahwa ia terpaksa bergaul dengan para Heather demi status sosial. Sebagai Veronica, Winona Ryder tampak begitu mempesona di setiap kemunculannya.

Kehadiran sosok Jason "J.D." Dean (Christian Slater)—murid pindahan bergaya cool dan misterius, semakin membuat Veronica tersadar. Kebencian terhadap Heather yang selama ini hanya ia tuangkan dalam diary, mulai diwujudkan dalam tindakan nyata. Namun, keisengan yang ia lakukan bersama J.D. pada akhirnya malah berbuah malapetaka. Sosok J.D. seolah memicu munculnya sisi gelap dalam diri Veronica. Saat bersama J.D., ia seperti kehilangan kendali atas dirinya. Mampukah Veronica terbebas dari pesona gelap J.D. yang bagai magnet bagi dirinya? Tokoh J.D. diperankan dengan sempurna oleh Christian Slater—charming sekaligus psychotic. Cukup mengherankan melihat karirnya sekarang yang tidak berkembang, padahal jelas-jelas ia bisa berakting. Dan chemistry-nya dengan Winona Ryder sungguh mengagumkan. Pasangan mematikan yang mempesona. Love them both!

Heathers mengeksplor sisi gelap kehidupan para remaja di sekolah menengah. Stereotype anak sekolahan, obsesi terhadap popularitas, sampai fenomena bunuh diri di kalangan remaja dijadikan bahan komedi satir dalam film ini. Untuk yang memiliki selera humor sarkastik, dipastikan akan sangat terhibur dengan lontaran kalimat pedas dari tiap karakternya di sepanjang film. Skrip buatan Daniel Waters ini memang cerdas dan luar biasa menghibur dengan segala kesinisannya. Tiap tokohnya diberi kedalaman yang pas, dengan pembubuhan simbolisasi untuk mempertegas sifat karakter masing-masing (misalnya warna bola kriket Heathers). Beberapa adegan terkesan agak berlebihan—terutama pada paruh akhir menjelang ending, namun secara keseluruhan apa yang ingin disampaikan film ini cukup tepat sasaran. Tingkah laku remaja yang semakin brutal dan destruktif serta blow-up media yang membuat hal-hal negatif jadi terlihat keren disampaikan dengan jelas.

Jujur, saya sangat menikmati film ini dari awal sampai akhir. Gaya humornya sangat mengena dan benar-benar menghibur. Ini adalah salah satu film remaja terbaik yang pernah saya tonton. Sedikit mengingatkan pada Mean Girls yang sudah lebih dahulu saya tonton, namun Heathers jelas lebih baik sekaligus memorable. Film ini tidak cukup hanya ditonton sekali karena setelah menonton untuk kedua kalinya, saya menemukan beberapa detail yang sempat terlewat saat pertama kali menonton. Dan yang terpenting, saya semakin jatuh cinta dengan film ini. Ini bukan berlebihan, hanya sekedar ungkapan perasaan saya saja sebagai penonton. Tidak lebih.

Now, can someone bring me a chainsaw?

Rating : 9/10