Sunday, October 31, 2010

Movie Week #01 : When October Nearly Hits The End

Oktober. Bulan ke-10 menurut hitungan kalender Masehi. Lalu, apa sih yang menarik dari bulan ini? Adakah event yang membuat bulan ini terasa lebih istimewa dibanding bulan-bulan lainnya? Ya, saya tahu anda pasti akan menjawab satu kata itu—Halloween. Oke, mungkin anda mulai menganggap saya si sok tahu yang sedang meracau, namun tidak dapat dipungkiri bahwa bulan Oktober memang lekat dengan kata Halloween. Meski perayaan tahunan ini tidak begitu berarti bagi saya pribadi, namun hype-nya tidak bisa diabaikan begitu saja. Jauh sebelum Oktober menginjak tanggal 31, nuansa Halloween sudah bisa saya rasakan. Peran media cukup membantu dalam membangun atmosfer mistik ataupun horor yang lekat dengan event ini. Saya memang tidak merayakan Halloween, namun saya menyukai feel yang dihembuskannya. Kegemaran saya akan hal-hal berbau horor (film, lebih tepatnya) semakin memuncak saat memasuki bulan Oktober, terutama saat mendekati akhir bulan. Dan secara tiba-tiba saya bagai dirasuki roh orang hamil yang sedang ngidam nonton film horor. Akhirnya, saya memutuskan untuk menggelar movie week kecil-kecilan dengan menonton film-film horor selama lima hari berturut-turut di minggu terakhir Oktober ini. Mengapa hanya lima film? Karena keterbatasan koleksi film dan terutama—karena saya orang sibuk. D'oh! *ditimpuk pisau dapur* Oke, tanpa berbasa-basi lagi, inilah kelima film yang saya tonton dalam rangka menyambut Halloween tahun ini.


When A Fake Found Footage Seems So Convincing
The Blair Witch Project (1999)

Mungkin ini adalah salah satu film paling pintar (atau licik?) dalam urusan marketing. Film yang bercerita mengenai tiga orang pelajar yang hilang di tengah hutan saat sedang membuat proyek film dokumenter tentang legenda Blair Witch ini ditengarai sebagai rekaman asli yang ditemukan sekitar setahun setelah kejadian. Dengan promosi sedemikian rupa, hype-nya semakin memuncak dan akhirnya film ini pun meraih kesuksesan luar biasa di tangga box-office sekaligus mencatat rekor sebagai salah satu film indie paling laris. Fakta bahwa film ini hanyalah sebuah rekayasa mungkin akan membuat sebagian orang merasa dibodohi. Dan menurut saya, tanpa ditambahi isu based-on-real-event-bullshit itu pun sebenarnya film ini memang sangat layak untuk disaksikan terutama oleh para penikmat film horor. Dengan gaya mockumentary yang saat itu masih jarang dieksplor, duo sutradara Daniel Myrick dan Eduardo Sanchez berhasil menyajikan ketegangan yang dibangun secara perlahan dan semakin memuncak hingga mencapai klimaks di akhir film. Pujian juga patut diberikan pada ketiga aktornya yang bermain dengan sangat meyakinkan, terutama Heather Donahue. Adegan menjelang ending saat ia membuat video "permintaan maaf" dengan shot extreme close up setengah wajah terasa begitu mencekam sekaligus emosional. Sungguh pengalaman menonton yang sangat berkesan. Perfect movie to start this movie week.

Rating : 8/10


When Ultra Cheesy Horror Movie Turned Out To Be Entertaining
Malam Satu Suro (1988)

Suzzanna. Siapakah dia? Bohong jika anda mengaku tidak mengenal nama almarhum sang legenda perfilman horor Indonesia ini. Ya, beliau memang terkenal dengan peran-perannya sebagai makhluk halus di film-film yang dibintanginya. Bukan hanya di dunia film, konon kehidupan pribadinya pun penuh dengan aura mistik (kebiasaannya mengkonsumsi bunga melati? Sungguh inspiratif). Dalam film ini, beliau kembali memerankan sesosok hantu yang lebih dikenal sebagai sundel bolong bernama Suketi. Diceritakan bahwa Suketi dibangkitkan dari kuburnya oleh seorang dukun untuk kemudian dijadikan anak angkatnya. Aneh ya? Tunggu sebentar. Kemudian ada seorang pemuda bernama Bardo yang kebetulan bertemu Suketi di tengah hutan. Dalam waktu singkat, ia pun jatuh cinta dan memutuskan untuk melamar Suketi. Sedikit aneh? Memang. Tahun-tahun berlalu, diceritakan mereka sudah memiliki dua orang anak hasil perkawinan mereka. Wtf? Semakin aneh? Ya, saya tahu. Konflik mulai muncul yang kemudian menyebabkan Suketi kembali ke wujud aslinya sebagai sundel bolong. Bagaimana kelanjutan kisah si sundel bolong yang sempat malih rupa menjadi manusia bahkan bisa bereproduksi ini? Memang banyak sekali hal-hal tidak masuk akal dan super konyol di sepanjang film ini, namun hey, ini horor 80an loh. Tolong ya. Justru dengan segala keanehan dan kadar cheesy yang over dosis, film ini jadi begitu menghibur. Film ini juga memiliki keunikan tersendiri karena mencoba menggabungkan cerita horor dengan unsur romantis. Penghormatan untuk almarhum tante Suzzanna, beliau sangat menghibur disini. Dari sosok yang sangat pendiam di awal, menjadi sosok lelembut yang doyan melontarkan joke-joke dan aksi menggelitik. Coba tengok tingkahnya saat makan bakpao dengan gaya akrobatik. Selain itu, kapan lagi anda bisa melihat sundel bolong menggali kuburan atau bermain egrang sambil goyang dangdut? Ya, anda harus menonton film ini dengan catatan anda tidak gengsi untuk menyaksikan sesuatu yang mungkin disebut norak oleh sebagian orang.

Rating : 6/10


When Raimi Regenerated His Own Masterpiece
Evil Dead 2 (1978)

The Evil Dead adalah sebuah karya monumental dari seorang Sam Raimi. Film tersebut sampai saat ini banyak mendapat pujian dari kalangan kritikus maupun penonton awam dan telah mencapai status cult. Saya sendiri belum lama ini menonton film tersebut dan memang sangat terhibur dengan penyajiannya. Adegan gore yang over the top, dialog super cheesy, serta performa pemainnya yang gila (noraknya) jadi nilai hiburan tersendiri yang membuat saya benar-benar puas setelah menyaksikannya. Dan kini, saatnya saya menyaksikan kelanjutan dari kegilaan ini melalui sekuelnya—Evil Dead 2. Film ini tidak langsung melanjutkan adegan dari ending film sebelumnya, namun justru malah memadatkan apa yang ada di prekuelnya tersebut dalam 10 menit pertama. Setelah itu, baru dimulailah lanjutan dari kisah Ash (Bruce Campbell) yang terjebak dalam kabin di tengah hutan sekaligus menghadapi serangan para arwah yang bangkit kembali akibat mantra dalam Book of the Dead. Disini juga ditambahkan 4 tokoh baru untuk semakin memperluas cakupan cerita. Secara teknis, film ini digarap dengan lebih baik dibanding film sebelumnya. Kadar hiburannya masih kental, ditunjang dengan permainan dari Bruce Campbell yang semakin gila. Muncratan darah serta potongan daging masih bertebaran layaknya di film pertama. Secara keseluruhan, film ini sedikit di atas kualitas film pertamanya (imo). Dengan ending yang terbuka, saya semakin penasaran dengan kelanjutan dari seri ini—Army Of Darkness.

Rating : 8/10


When A Vampire Tale Seems So Deeply Haunting Yet Heartwarming
Let The Right One In (2008)

Saya pertama kali menyaksikan film ini sekitar 2 tahun lalu, sebulan sebelum film vampir lain yang digilai remaja putri dan ibu-ibu (Twilight, of course) menancapkan taringnya di bioskop-bioskop dunia dan menodai kesucian mitos dunia vampir dengan tubuh kelap-kelip Edward Cullen (lebaaaaay). Film Swedia yang diangkat dari novel berjudul sama buah karya John Ajvide Lindqvist ini memang kalah gaungnya dibanding film remaja menje-menje itu (eh, saya bukan Twi-hater ya. Catat). Namun untuk kelas festival, film ini sudah menjadi bahan perbincangan dimana-mana. Berbagai pujian yang disematkan pada film ini memang pantas didapat. Dengan memasang 2 tokoh utamanya yang masih berumur 12 tahun (salah satunya 12 tahun dan stuck disitu), film ini mencoba menyelami sisi gelap masa kanak-kanak. Persahabatan antara Oskar (Kare Hedebrant)—bocah penyendiri korban bullying, dengan seorang gadis vampir bernama Eli (Lina Leandersson) terasa begitu manis sekaligus mengerikan. Ingat bagaimana nasihat Eli pada Oskar untuk membalas anak yang sering mem-bully dirinya. Lalu adegan Eli mendadak menjadi buas saat melihat darah Oskar. Dan puncaknya, saat menjelang akhir film dengan setting di kolam renang—sunyi sekaligus brutal. Adegan ini menggambarkan betapa kuatnya ikatan persahabatan antara mereka berdua. Setting di daerah bersalju yang sepi dan terkesan dingin, membuat atmosfer mencekam dari film ini semakin terasa. Saya suka sinematografinya yang enak dipandang dan juga music score-nya yang terdengar begitu emosional. Ini adalah sebuah kisah mengenai persahabatan serta tema coming of age dengan balutan nuansa horor yang sangat patut untuk ditonton. Mengutip komentar dari salah satu kritikus yang dipajang di cover DVD-nya : "Best Vampire Movie. Ever"

Ra
ting : 9/10


When A Masked Psycho Marks His First Memorable Appearance
Halloween (1978)

Inilah film terakhir yang saya tonton di movie week bernuansa horor ini. Sebuah penutup yang sempurna, sangat tepat untuk menyambut perayaan Halloween. Meski berjudul Halloween, film ini bukanlah sebuah horor tentang mitos yang berhubungan dengan perayaan tersebut. Halloween hanya digunakan sebagai backdrop cerita dan sepertinya juga untuk semakin menguatkan suasana mencekam yang dihadirkan. Opening film ini diisi dengan main theme gubahan Carpenter sendiri—moody dan sangat memorable. Setelah opening credit, Carpenter menggunakan teknik first person view melalui sudut pandang Michael Myers kecil (Will Sandin)—the soon-to-be psychotic killer, salah satu ikon horor klasik paling dikenal. Scene ini begitu berkesan karena seolah mengajak penonton untuk ikut memasuki pikiran seorang Michael Myers. Lalu, alur cerita melompat ke 15 tahun kemudian. Diceritakan Michael (Nick Castle) berhasil kabur dari institusi dimana ia diisolasi selama ini, dan sekarang ia menuju ke Haddonfield—kampung halamannya tercinta. Disana, ia menemukan target baru—seorang remaja kutu buku bernama Laurie (Jamie Lee Curtis). Maka, teror pun dimulai. Sebagai sebuah slasher film, secara mengejutkan film ini minim adegan berdarah. Namun itu tidak berpengaruh banyak terhadap intensitas ketegangannya. Dengan penataan kamera yang efektif, score yang kuat, serta karakter villain yang memorable (kemunculan Michael Myers tidak terlalu diumbar sehingga kemisteriusan karakter ini tetap terjaga), Carpenter telah berhasil menghasilkan horor yang efektif dan berkesan. Tidak salah jika film ini memberikan banyak influence terhadap film-film horor lain yang dirilis kemudian. Saya sangat menikmatinya, dan juga tidak ragu memberikan nilai tinggi untuk film ini.

Rating : 9/10



Oke, secara keseluruhan semua film yang saya tonton seminggu ini cukup berkesan dan sangat menghibur. Lain waktu, saya akan mengadakan lagi movie week kecil-kecilan dengan tema yang berbeda. Penontonnya? Tentu saja saya sendiri. Semoga anda berkenan dengan review borongan ini. :D

No comments:

Post a Comment