Monday, December 12, 2011

[Review] Martha Marcy May Marlene (2011)


Genre : Drama, Thriller | Pemain : Elizabeth Olsen, John Hawkes, Sarah Paulson, Hugh Dancy, Brady Corbet, Louisa Krause | Sutradara : Sean Durkin | Penulis : Sean Durkin | Distributor : Fox Searchlight Pictures | Durasi : 102 menit | MPAA : Rated R for disturbing violent and sexual content, nudity and language
"I know who I am. I am a teacher and a leader, you just never let me be that!"
-Martha-

Dari menit-menit awalnya, Martha Marcy May Marlene (MMMM) sudah mulai memancing rasa penasaran saya dengan kesunyiannya. Sekelompok orang terlihat sedang melakukan aktivitas harian mereka di sebuah lahan pertanian yang tampak sepi dan lengang. Ketika malam tiba, para pria menyantap hidangan yang disajikan di meja makan, sedangkan para wanitanya menunggu di ruangan lain dan baru mulai makan setelah semua pria meninggalkan ruangan. Rangkaian adegan pembuka yang singkat ini entah mengapa menguarkan aroma misterius yang membuat saya bertanya-tanya, siapa sebenarnya orang-orang ini. Apakah mereka ini gambaran dari sebuah keluarga yang masih memegang erat tradisi? Atau hanya semacam komune yang mengasingkan diri dan menetap di daerah pinggiran? Rasa penasaran saya semakin menjadi, ketika di pagi harinya seorang wanita muda dalam kelompok tersebut tiba-tiba melarikan diri, diikuti dengan teriakan seorang pria yang memanggilnya dengan sebutan Marcy May. Sebuah set up yang cukup menjanjikan bagi thriller psikologis seperti ini.

Selanjutnya, cerita beralih pada kehidupan Marcy May (Elizabeth Olsen)—yang ternyata bernama asli Martha—pasca meninggalkan kelompok tersebut. Kini Martha menetap di sebuah rumah pinggir danau, kediaman sang kakak, Lucy (Sarah Paulson), dan suaminya, Ted (Hugh Dancy). Setelah dua tahun menghilang tanpa kabar, kembalinya Martha yang tiba-tiba itu tentu saja membuat Lucy dan Ted terkejut. Rasa senang dan kesal bercampur jadi satu. Apa yang sebenarnya ada di pikiran Martha dua tahun lalu, ketika ia tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa jejak? Dan apa yang membuat ia akhirnya memutuskan untuk kembali? Martha berdalih bahwa ini berkaitan dengan urusan patah hati. Bahwa kekasihnya berkhianat, sehingga Martha memutuskan untuk meninggalkannya. Sungguh klasik. Namun tentunya penonton tahu, bukan itu alasan sebenarnya. Sedikit demi sedikit, misteri pun terkuak. Seiring dengan rasa penasaran saya yang mulai terbayar.

Sean Durkin, sang sutradara sekaligus penulis naskahnya, mengajak penonton untuk ikut memasuki pikiran Martha, yang bagaikan lorong waktu yang membingungkan, mengaburkan batasan antara masa kini dengan masa lalu. Di sinilah letak kehebatan bagian editingnya. Transisi dari masa kini ke masa lalu Martha saat ia hidup bersama dengan kelompok (yang mungkin bisa dibilang sebagai semacam sekte) itu, ditampilkan dengan mulus. Di beberapa bagian tersebut, saya sempat kebingungan dan berujar, "lho kok?" Sampai akhirnya saya menyadari perpindahan tersebut. Damn, I've been tricked! Seolah-olah saya diposisikan dalam pikiran Martha yang kacau, sulit membedakan mana yang nyata, mana yang sebatas kenangan.


Lalu apa sebenarnya yang membuat Martha nyaris hilang akal? Semua terjawab sedikit demi sedikit dan semakin memuncak saat menjelang akhir. Film ini memang sepi, bukan jenis thriller yang penuh adegan kejar-kejaran antara pembunuh bertopeng dengan mangsanya. Namun jangan salah, anda akan merasakan sensasi ketegangan yang berbeda. Tingkah laku Martha yang semakin aneh dan paranoid, hingga pengungkapan masa lalunya yang gelap, membuat jantung ini berdebar-debar. Coba simak dan hayati adegan saat sang pemimpin sekte, Patrick (John Hawkes), menyanyikan Marcy's Song di depan Martha dan para pengikutnya. Adegan ini sukses membuat saya merinding dan terpaku, seperti Martha yang seolah terhipnotis dengan pesona Patrick yang kharismatik, membawanya semakin jauh ke dalam kegelapan yang membuai. John Hawkes tampil memukau di sini. Lembut, namun auranya mengerikan.

Dari beberapa dialog antara Martha dan Lucy, tersirat bahwa hubungan mereka berdua di masa lalu kurang begitu akrab. Ada masalah dalam keluarga mereka, walaupun tidak dijelaskan secara eksplisit. Ini juga sepertinya yang menjadi alasan mengapa Martha bisa terseret masuk ke dalam sekte pimpinan Patrick. Martha adalah pribadi yang rapuh, merasa terasing di lingkungan keluarganya sendiri. Kondisi inilah yang dimanfaatkan Patrick. Ia merangkul jiwa Martha dengan penuh kelembutan, membuatnya merasa diterima. Hingga akhirnya Martha tersadar, lalu melarikan diri, dengan masih membawa torehan luka hasil perbuatan Patrick. Apa yang dialami Martha selama dua tahun belakangan masih begitu membekas, mempengaruhi kondisi mentalnya. Tingkah lakunya yang tidak wajar semenjak ia kembali tinggal bersama kakaknya, memperlihatkan kegagapannya dalam bersosialisasi di lingkungan "orang normal". Melalui tokoh Martha, MMMM menawarkan sebuah studi karakter yang menarik.

Membicarakan MMMM, tentunya tidak akan lengkap tanpa menyinggung penampilan seorang aktris pendatang baru bernama Elizabeth Olsen. Merasa familiar dengan nama keluarganya? Ya, dia adalah adik kandung dari si kembar tenar, Mary-Kate dan Ashley. Tanpa disangka-sangka, Elizabeth memiliki kualitas seorang bintang yang sebelum ini sepertinya tidak begitu nampak. MMMM bisa dibilang merupakan kendaraannya untuk melesat lebih jauh lagi dalam menggapai status sebagai bintang papan atas Hollywood. Ini bukan pujian asal, karena penampilannya di MMMM memang patut mendapat apresiasi tinggi. Perpindahan timeline yang acak memungkinkan kita untuk melihat karakter Martha dalam emosi yang berganti-ganti pula. Dan Elizabeth Olsen memainkan tugasnya dengan gemilang. Ia sukses menghidupkan karakter Martha / Marcy May / Marlene sehingga tampak believable dan menimbulkan simpati. Mimik wajahnya, gesture-nya, oh my! I gotta say, a star is born.

Jadi, apakah MMMM tidak akan sama tanpa kehadiran Elizabeth Olsen sebagai pemeran utamanya? Bisa jadi. Namun di samping itu, debut layar lebar dari Sean Durkin ini sangat patut diapresiasi dan menjadi awal yang cukup menjanjikan bagi karya-karya selanjutnya di masa mendatang.

Rating : 7.5/10

Sunday, December 4, 2011

[Review] Beginners (2011)


Genre : Comedy, Drama, Romance | Pemain : Ewan McGregor, Christopher Plummer, Melanie Laurent, Goran Visnjic, Kai Lennox, Mary Page Keller | Sutradara : Mike Mills | Penulis : Mike Mills | Distributor : Focus Features | Durasi : 105 menit | MPAA : Rated R for language and some sexual content

"I don't wanna be just theoretically gay. I wanna do something about it."
-Hal-

Beginners adalah feature film kedua dari sutradara Mike Mills yang sebelumnya pernah menggarap sebuah film berjudul Thumbsucker yang diangkat dari novel karangan Walter Kim. Untuk karya sophomore-nya ini, cerita yang ia angkat berasal dari naskah buatannya sendiri. Bukan cerita biasa, karena menurut berbagai sumber yang saya baca, ini terinspirasi dari kisah hidup Mills sendiri. Bagaikan sebuah semi-autobiografi, mungkin bisa dibilang bahwa ini adalah karya yang personal bagi sang sutradara. Sebelum mengetahui cerita di balik penulisan naskahnya pun, saya bisa merasakan keintiman kisah dalam film ini setelah selesai menyaksikannya.

Di awal film, kita diperkenalkan pada sosok Oliver (Ewan McGregor), seorang pria berusia 38 tahun yang baru saja kehilangan ayahnya. Dengan menggunakan narasi orang pertama, yaitu Oliver, kita dibawa kepada kilas balik kehidupan Oliver sebelum kematian ayahnya. Diceritakan bahwa tidak lama setelah kematian ibunya, Georgia (Mary Page Keller), Oliver dihadapkan pada sebuah fakta yang disembunyikan ayahnya selama ini. Hal (Christopher Plummer), sang ayah, mengaku pada Oliver bahwa beliau adalah seorang gay. Setelah came out of the closet, sang ayah mulai mengeksplor sosok dirinya yang selama ini ia sembunyikan. Beliau mulai aktif mengikuti segala kegiatan yang melibatkan komunitas gay, bahkan mulai mendapatkan seorang kekasih baru dalam sosok pemuda yang usianya jauh lebih muda, Andy (Goran Visnjic). Oliver menerima fakta baru ini dengan bijak dan ikut bergembira bersama sang ayah yang jiwanya bagai terbebaskan pasca kematian sang istri. Sampai suatu hari datang sebuah berita mengejutkan. Sang ayah divonis mengidap kanker paru-paru. Hidupnya tidak lama lagi.

Selain menceritakan kisah Oliver sebelum kematian sang ayah, kilas balik ini juga memperlihatkan hubungan antara Oliver kecil (Keegan Boos) dengan ibunya. Melalui adegan-adegan yang diselipi humor gelap namun menyentuh, kita diajak menyelami hubungan Oliver dengan sang ibu dan menyimpulkan bagaimana hal tersebut membentuk sosok Oliver dewasa. Tanpa menyuapi penontonnya dengan berbagai penjelasan, Mills sanggup memberi gambaran bahwa ada sebuah kekosongan dalam kehidupan rumah tangga Hal dan Georgia hanya melalui interaksi antara Georgia dan Oliver kecil. Lalu ada juga adegan ketika Hal yang kondisi fisiknya semakin lemah berdialog dengan Oliver mengenai alasan kenapa beliau bisa menikahi Georgia, terlepas dari fakta bahwa ia seorang gay. Adegan ini sangatlah menyentuh, mempertanyakan apa itu cinta, sampai hal yang benar-benar kita inginkan dalam hidup ini.


Dua kisah flashback di atas berbaur dengan kisah masa kini mengenai kehidupan Oliver pasca meninggalnya sang ayah. Kisah inilah yang menjadi fokus utama dan ditunjang dengan kuat oleh kilas balik masa lalu Oliver. Diceritakan Oliver bertemu dengan seorang gadis keturunan Perancis, Anna (Melanie Laurent) dalam sebuah pesta kostum. Dengan dandanan a la Freud, Oliver menarik perhatian Anna yang menangkap isyarat kesedihan dalam tatapan matanya. Dimulai dari pertemuan insidental inilah, hubungan Oliver dan Anna semakin berkembang. Hubungan manis ini turut diwarnai konflik yang berkenaan dengan karakter masing-masing mereka, mulai dari rasa takut untuk berkomitmen, sampai sikap skeptis mengenai kelanjutan hubungan yang harmonis. Ya, setiap individu memiliki personal issue-nya masing-masing, tak terkecuali Oliver dan Anna. Tak lupa kehadiran seekor anjing berjenis Jack Russell peninggalan sang ayah yang bernama Arthur, semakin memberi warna dalam hubungan mereka. Berbicara tentang Arthur, sosok anjing kecil ini adalah scene stealer yang sangat ampuh. Dengan gesture serta ekspresi wajahnya yang membuat saya ingin mencubitinya, ditingkahi dengan subtitle sebagai interpretasi Oliver akan tatapan mata si anjing kecil ini yang benar-benar berbicara. So cute!

Dengan lihai, Mike Mills sukses menghadirkan tiga hubungan dalam kehidupan tokoh utamanya—Oliver dengan sang ayah, Oliver kecil dengan sang ibu, serta Oliver dengan kekasih barunya—dalam rangkaian adegan yang saling bercampur, namun tidak terkesan tumpang tindih ataupun membingungkan. Justru semuanya mengalir dengan lancar dan berhasil memberikan emotional impact yang tepat sasaran bagi penontonnya. Seperti yang sudah saya kemukakan di atas, cerita film ini terinspirasi dari kehidupan sang sutradara sendiri. Berkaitan ataupun tidak dengan hal tersebut, yang pasti film ini terasa jujur dan intim dalam bercerita, dengan kepedulian yang mendalam pada tiap karakternya. Ewan McGregor, Melanie Laurent, dan terutama Christopher Plummer yang begitu lepas dan graceful, memberikan performa kelas satu di sini. Chemistry antar tokohnya tercipta secara natural, membuat kita peduli terhadap jalannya hubungan mereka. Ketika mereka bahagia, kita ikut merasakan aura kesenangan yang dipancarkan. Dan ketika mereka diliputi kesedihan, hati inipun ikut hancur. Dengan kata lain, Mike Mills berhasil membuat sebuah karya yang personal bagi dirinya tanpa mengucilkan penonton sebagai pihak yang ikut merasakan. Salut untuk sutradara satu ini.

Di sepanjang tahun ini, Beginners tanpa disangka-sangka sukses menjadi sebuah sajian dramedy paling berkesan bagi saya. Kandungan cerita yang heartfelt, humor yang quirky, serta karakter-karakter yang mengundang simpati adalah beberapa elemen yang membentuk kekuatan film ini. Namun di atas itu semua, kemampuan film ini untuk menyentuh saya hingga level yang sulit dideskripsikan dengan rangkaian kata adalah elemen terkuat yang membuat saya begitu kagum dengan film ini. Di setiap tahunnya, kemungkinan akan ada setidaknya satu buah film yang benar-benar terasa klop dan mengena di hati hingga tak akan pernah bosan untuk ditonton berulang kali. Dan tahun ini, Beginners adalah salah satunya.

Just my personal opinion.

Rating : 10/10

Wednesday, November 30, 2011

[Review] Melancholia (2011)



Genre : Drama, Sci-Fi | Pemain : Kirsten Dunst, Charlotte Gainsbourg, Alexander Skarsgard, Kiefer Sutherland, John Hurt, Charlotte Rampling, Stellan Skarsgard | Sutradara : Lars von Trier | Penulis : Lars von Trier | Distributor : Magnolia Pictures | Durasi : 136 menit | MPAA : Rated R for some graphic nudity, sexual content and language

"I just have one thing to say...enjoy it while it lasts."
-Gaby-


Seberapa besar pengaruh adegan pembuka saat anda sedang menonton sebuah film? Kualitas film secara keseluruhan memang tidak mungkin hanya diukur dari menit-menit awalnya saja, namun terkadang sebuah adegan pembuka mampu memberi gambaran sekilas mengenai apa yang akan ditawarkan di menit-menit selanjutnya. Bahkan bukan tidak mungkin jika sebuah adegan pembuka dapat mengatur mood penonton dalam mengapresiasi film yang bersangkutan. Dalam film terbaru besutan salah satu sutradara paling kontroversial, Lars von Trier, yang berjudul Melancholia ini, adegan pembuka adalah salah satu komponen paling kuat dari keseluruhan filmnya. Melalui montase yang dipresentasikan dalam gerak ekstra lambat, serta musik latar yang diambil dari prelude untuk opera Tristan und Isolde gubahan Richard Wagner, Melancholia memperkenalkan dirinya dengan anggun dan mempesona. Delapan menit yang menggoda. Tak diragukan, saya pun dibuat jatuh cinta.

Part 1 - Justine.
Bagian pertama ini mengambil latar waktu di malam pesta pernikahan Justine (Kirsten Dunst) dan Michael (Alexander Skarsgard). Diawali dengan keterlambatan kedua mempelai ke tempat pesta—sebuah rumah megah bagaikan istana milik kakak Justine, Claire (Charlotte Gainsbourg), dan suaminya, John (Kiefer Sutherland)—acara kemudian berlangsung dengan tak semestinya. Ditambah dengan ketegangan antara kedua orangtua Justine (diperankan oleh John Hurt dan Charlotte Rampling), yang tampak sebagai figur orangtua non-ideal, pesta ini semakin memancarkan aura yang tidak menyenangkan. Keadaan ini semakin mempengaruhi kondisi mental Justine hingga meruntuhkan keyakinannya atas keputusan yang telah ia buat untuk menikahi Michael. Seperti judulnya, bagian pertama ini adalah tentang Justine. Seorang anak manusia yang awalnya terlihat bahagia dengan senyum menghiasi wajahnya, namun lama kelamaan kebahagiaan itu hilang tertutup bayangan kelam di wajahnya. Bagaikan bintang Antares yang hilang tertutup sebuah planet asing pembawa malapetaka. Sebuah melankolia.

Part 2 - Claire
Kondisi Justine semakin lama semakin parah. Kerja mental dan fisiknya terganggu. Untuk melakukan aktivitas sederhana saja ia kesulitan. Karena khawatir, akhirnya Claire menampung adik satu-satunya itu di rumahnya. Namun kekhawatiran Claire bukan hanya berpusat pada kondisi Justine semata. Ada satu hal lain yang mulai mengganggunya, yaitu sebuah planet yang diberi nama Melancholia. Planet tersebut dikabarkan kian bergerak mendekati Bumi. Pergerakan yang menghancurkan, diistilahkan dengan "dance of death". Melihat kekhawatiran Claire, John yang seorang astronomer berusaha meyakinkan istrinya tersebut bahwa Melancholia dan Bumi hanya akan saling "berpapasan", tidak akan ada tabrakan seperti yang dikhawatirkan sebelumnya. Kendati begitu, kekhawatiran Claire tetap berlanjut. Ia yang mulanya terlihat tegar, akhirnya mulai goyah diguncang rasa cemas dan ketakutan akan datangnya hari dimana kedua planet saling bertubrukan. Dalam keadaan penuh tekanan ini, anehnya justru Justine yang terlihat lebih tegar. Ia menyikapi kemungkinan terjadinya kiamat itu dengan tenang. Akhir dari sebuah melankolia?


Dengan membagi film ini ke dalam dua bagian, von Trier seolah ingin menunjukan sebuah kontras dari kondisi dua wanita yang dijadikan judul per bagiannya. Di bagian pertama, sang adik yang mulai terserang depresi parah mengkondisikan dirinya sebagai yang lemah, sedangkan sang kakak yang terlihat tegar dan mengambil alih keadaan bertindak sebagai yang kuat. Di bagian kedua, sang adik yang kondisi mental dan fisiknya terlihat parah justru berubah menjadi yang kuat ketika keadaan di luar semakin menekan. Berbanding terbalik dengan sang kakak yang berubah menjadi lemah saat tekanan semakin berat. Ini adalah sebuah studi karakter yang menarik. Walaupun saya tidak begitu mafhum benar dengan kondisi seseorang yang terkena depresi berat, namun apa yang digambarkan von Trier melalui filmnya ini—berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri kala teserang depresi—berhasil meyakinkan saya akan kondisi tersebut. Dan keyakinan tersebut tentunya tidak akan begitu saja terbentuk tanpa peran para pemainnya dalam menghidupkan tiap karakter yang ada. Kehebatan akting Kirsten Dunst di sini ternyata memang bukan hype semata. Juri-juri Cannes memberinya predikat aktris terbaik bukan tanpa sebab. Dia bukan lagi gadis pujaan si friendly neighbourhood berkostum laba-laba. Dunst telah bertransformasi menjadi aktris yang semakin dewasa dan siap dengan peran-peran menantang berikutnya. Lalu jangan lupakan satu aktris lain yang sebelumnya juga pernah bekejasama dengan Lars von Trier dalam filmnya yang menghebohkan (kapan sih dia tidak membuat heboh?), Antichrist. Dialah Charlotte Gainsbourg. Kemampuan aktingnya di sini tidak kalah dengan Dunst. Penghayatannya mengagumkan, terutama di bagian kedua, menjelang akhir film. Akting kuat dari mereka berdua juga ditopang oleh barisan pemain pendukung lain yang semuanya bermain dengan baik.

Seperti yang sudah saya singgung di paragraf awal, opening film ini sangat kuat. Sebuah highlight yang membuat mood untuk menonton film ini semakin naik. Dari awal saja sudah terlihat bahwa film ini akan diisi oleh gambar-gambar cantik nan magis. Dan itu terbukti dengan sinematografi yang efektif dan menawan di sepanjang film. Selain adegan pembuka, adegan di menit-menit menjelang film berakhir pun tidak kalah cantik. Mata ini seolah terpaku ke layar, tak kuasa berpaling dari keindahan yang tersaji. Jika opening-nya mampu membuat saya tertarik untuk mengikuti terus kelanjutan ceritanya, maka ending-nya sukses membuat saya terus mengingat film ini sebagai sebuah sajian kelam namun memukau.

Sebelum ini, karya dari Lars von Trier yang pernah saya tonton hanyalah Dancer In The Dark yang saya akui luar biasa, terutama untuk kemampuannya dalam melibatkan emosi penonton. Melancholia tidak sehebat itu efeknya bagi saya, namun ini tetaplah brilian. Banyak yang mengatakan bahwa film ini adalah karya von Trier yang paling "ramah", mengingat resume film-filmnya selama ini yang terkenal banyak menampilkan materi yang disturbing. Dan menurut saya ini bukan film yang bisa dinikmati semua orang mengingat muatan cerita serta karakter-karakternya yang memang dibuat kental nuansa depresifnya, sehingga kemungkinan akan membuat beberapa orang merasa tidak nyaman saat menontonnya. Walaupun begitu, saya tetap merekomendasikan film ini bagi anda semua para penikmat film. You will be mesmerized all the way through.

Rating : 8/10

Sunday, November 27, 2011

[Review] Another Earth (2011)


Genre : Drama, Sci-Fi | Pemain : Brit Marling, William Mapother, Matthew-Lee Erlbach, DJ Flava | Sutradara : Mike Cahill | Penulis : Brit Marling, Mike Cahill | Distributor : Fox Searchlight Pictures | Durasi : 92 menit | MPAA : PG-13 for disturing images, some sexuality, nudity and brief drug use
"Within our lifetimes, we've marveled as biologists have managed to look at ever smaller and smaller things. And astronomers have looked further and further into the dark night sky, back in time and out in space. But maybe the most mysterious of all is neither the small nor the large: it's us, up close. Could we even recognize ourselves, and if we did, would we know ourselves? What would we really like to see if we could stand outside ourselves and look at us?"
-Richard Berendzen-


Awalnya ia hanya berupa titik kecil yang menghiasi langit, bagaikan bintang yang bersinar, namun berwarna biru. Lama kelamaan, titik biru kecil itu semakin jelas terlihat, menampakan wujud aslinya. Bumi. Semua orang terpesona dengan keindahannya, lantas dibuat bertanya-tanya, bagaimana mungkin mereka bisa melihat bumi di hamparan langit itu sementara mereka sendiri sedang menginjakan kaki di atas bumi. Para ilmuwan pun bertindak, lantas menyimpulkan bahwa benda asing itu memang bumi. Bumi ke-2. Sebuah duplikat bumi yang sama persis. Bukan hanya planetnya, namun juga semua penghuninya. Manusia. Kita. Ya, ada kita yang lain di sana.

Penemuan sebuah planet baru dalam sistem tata surya adalah suatu hal yang cukup menarik. Namun ketika planet tersebut memiliki bentuk fisik, bahkan penghuni yang sama persis dengan bumi dimana kita hidup selama ini, tentu itu jauh lebih menarik lagi. Ide tentang penemuan "parallel earth" ini terdengar menjanjikan untuk dijadikan premis sebuah film sci-fi bukan? Dan ide inilah yang coba dituangkan oleh Mike Cahill melalui film terbarunya yang naskahnya ia tulis bersama koleganya saat kuliah dulu sekaligus aktris utama dalam film ini, Brit Marling. Namun jangan harap anda akan menemukan sebuah kisah yang kental dengan unsur sci-fi, seperti eksplorasi lebih jauh mengenai planet baru tersebut atau kisah yang mengulas konflik antara manusia bumi dengan duplikatnya di planet itu misalnya. Sebaliknya, yang akan anda dapatkan di sini adalah sebuah drama tentang dosa masa lalu, penyesalan, penebusan dosa, dan kisah cinta yang berkembang diantaranya.


Adalah Rhoda Williams (Brit Marling), seorang siswi SMA yang baru saja lulus dan diterima kuliah di MIT, sebuah universitas bergengsi di Cambridge. Setelah asyik berpesta dan pulang dalam keadaan mabuk, ia mendengar berita di radio tentang ditemukannya sebuah planet yang mirip dengan bumi. Teralihkan perhatiannya, tanpa sadar mobilnya melaju kencang dan menabrak mobil lain yang berakibat tewasnya dua dari tiga orang yang berada dalam mobil tersebut. Empat tahun berlalu, diceritakan bahwa Rhoda akhirnya bebas dari hukuman penjara dan kembali tinggal bersama keluarganya. Hasratnya untuk kembali melanjutkan sekolah menurun drastis dan ia malah melamar pekerjaan menjadi tukang bersih-bersih. Suatu hari, tanpa sengaja ia melihat sosok seorang pria, yang kembali mengingatkan ia akan dosa masa lalunya. Pria tersebut adalah John Burroughs (William Mapother), seorang profesor sekaligus komposer yang mesti kehilangan anak dan istrinya karena kecelakaan tragis empat tahun lalu. Dari sini dimulailah usaha Rhoda untuk menata kembali hidupnya dengan berusaha sekeras mungkin memulihkan kondisi mental John, walau tanpa membuka identitas dirinya sebagai penyebab kesengsaraan hidup pria tersebut.


Dari ringkasan cerita di atas, jelas terlihat bahwa film ini lebih menitikberatkan pada bobot dramanya ketimbang sci-fi. Ya, skenario kemunculan planet baru yang dijuluki Earth 2 memang sekilas tampak sebagai tempelan belaka yang berfungsi memberi warna lain pada drama bertempo lambat ini. Maka jangan kaget apalagi marah-marah jika anda penonton yang kritis ataupun pemerhati film-film bertema fiksi ilmiah menemukan beberapa lubang dalam naskahnya. Saya saja yang sama sekali awam mengenai ilmu astrofisika atau apapun itu namanya, merasakan adanya keanehan dengan kemunculan planet duplikat yang semakin lama semakin mendekati bumi itu. Tapi kembali lagi, yang ingin ditonjolkan di sini adalah unsur dramanya, dan untuk itu, film ini cukup berhasil. Malah dengan menyertakan teori "parallel earth" tersebut, film ini jadi memiliki sesuatu yang lebih untuk mengajak penontonnya—dalam hal ini saya—untuk berpikir dan berasumsi. Jika benar bahwa di bumi ke-2 itu ada diri kita yang lain, apakah nasib mereka sama dengan kita? Apakah kejadian buruk yang menimpa kita di masa lalu dialami juga oleh diri kita yang lain di sana? Apa yang akan kita lakukan jika kita memiliki kesempatan untuk bertemu dengan diri kita yang lain? Pertanyaan apa dan kenapa pun bermunculan, yang membuat film ini menjadi menarik dan thought-provoking. Endingnya pun menarik, terbuka, membuat saya kembali berasumsi. Kesimpulannya, pemunculan Earth 2 boleh dibilang cuma tempelan, tapi juga berhasil membuat banyak pemikiran tertempel di benak kita. Imho.


Dalam kapasitasnya sebagai film indie berbujet kecil, film ini masih terbilang cukup baik ketika ditinjau dari segi teknis. Dengan banyak memakai hand-held camera dan close-up shots (maafkan jika istilah yang saya pakai kurang tepat), Mike Cahill berhasil menangkap emosi karakternya dengan baik. Beberapa gambar yang ia ambil juga cukup indah dipandang, terutama ketika kamera membingkai sosok Rhoda saat berjalan menjauhi kamera, mendekati pantai sambil menatap planet yang dikelilingi awan putih berlatar langit biru. Indah dan unik. Berbicara soal unik, adegan ketika John memainkan musik dengan menggunakan gergaji cukup mencengangkan. Belum pernah saya melihat gergaji difungsikan sebagai alat penghasil suara yang bukan hanya unik, tapi juga menghipnotis. Bravo untuk Natalia Paruz—dikenal juga dengan julukan "Saw Lady"—yang berhasil mengubah alat perkakas menjadi sebuah instrumen musik yang bisa dibilang otherworldly.

Berkenaan dengan performa aktor-aktrisnya, saya telah menyaksikan sebuah bakat baru di perfilman Amerika dalam diri seorang Brit Marling. Aktris sekaligus kolega Mike Cahill yang juga pernah bekerjasama dalam memproduksi dokumenter Boxers and Ballerinas (2004) ini sanggup menampilkan karakter yang menarik simpati penonton. Salah satu adegan yang memorable yaitu saat ia menceritakan kisah tentang seorang kosmonot Rusia yang mengalami delusi di angkasa luar. Marling menampilkannya dengan luwes, sedikit jenaka, dan menentramkan. She's the next big thing in Hollywood for sure. William Mapother yang dikenal melalui serial Lost, juga menunjukan performa yang pas sebagai karakter pria yang kehilangan arah pasca kematian keluarganya. Berdua, mereka mengisi durasi film dengan olah peran yang menawan.

Sebagai pemenang penghargaan Alfred P. Sloan Prize dalam Sundance Film Festival awal tahun ini, Another Earth sudah cukup mempunyai daya tarik untuk memikat penonton, khususnya penikmat film indie. Namun tanpa melihat berbagai pujian yang didapat pun, film ini memang masih layak tonton. Dengan mengesampingkan beberapa kekurangan yang ada, ini adalah sebuah sajian drama dengan sedikit bumbu fiksi ilmiah yang cukup sayang untuk dilewatkan.

Rating : 7/10

Thursday, June 16, 2011

Il Mare (2000)


Genre
: Fantasy, Romance, Sci-Fi | Pemain : Jun Ji-hyun, Lee Jung-jae | Sutradara : Lee Hyun-seung | Penulis : Kim Eun-jeong, Yoeh Ji-na | DIstributor : Sidus Pictures | Durasi : 105 menit


"The reason we are suffering is not because the love has ended, but because it still continues. Even after the love is over."
-Eun-joo-

Pernahkah anda merasakan suatu kedekatan tertentu dengan seseorang yang belum pernah anda temui secara langsung? Seseorang yang bisa diajak berbagi, bahkan tentang masalah pribadi anda sekalipun, padahal wajahnya saja belum pernah anda lihat. Interaksi yang kalian lakukan hanya sebatas berbagi tulisan, bukannya saling bertatap muka dan beradu lisan. Saya sendiri pernah mengalami perasaan seperti itu, saat mencurahkan isi hati melalui tulisan kepada seseorang yang belum pernah saya lihat wujudnya secara nyata terasa lebih mudah dan nyaman dibanding berbicara langsung kepada seseorang yang sudah lama saya kenal. Ironis, tapi memang itulah yang terjadi.

Baru-baru ini saya menonton sebuah film Korea berjudul Siworae atau Il Mare (bahasa Italia untuk laut) yang kurang lebih menceritakan tentang dua orang yang sebelumnya tidak saling mengenal, namun kemudian menjalin hubungan yang semakin erat hanya dengan saling berbagi isi hati melalui surat. Selain faktor "klik" diantara mereka berdua, menurut saya kekuatan dari tulisan juga ikut andil disini. Ya, terkadang rangkaian kata dalam sebuah tulisan mampu berbicara lebih lantang dibanding kata-kata yang langsung keluar dari mulut kita. Just my two cents.

Film ini sendiri adalah sebuah drama romantis dengan unsur fantasi di dalamnya. Diceritakan seorang gadis bernama Eun-joo (si cantik Jun Ji-hyun) baru pindah dari sebuah rumah di pinggir pantai yang dijuluki Il Mare. Sebelum pergi, ia meninggalkan surat untuk calon penghuni baru Il Mare nantinya. Sung-hyun (Lee Jung-jae), si penghuni baru, menemukan surat tersebut dan terheran-heran saat membacanya. Si penulis surat menulis tahun 1999 di akhir surat, padahal jelas-jelas ini masih tahun 1997. Ternyata, Sung-hyun sebenarnya adalah penghuni pertama rumah tersebut sebelum ditempati Eun-joo. Setelah beberapa kali bertukar surat, akhirnya diketahui bahwa mereka saling berinteraksi di masa yang berbeda, tepatnya terpaut dua tahun. Kotak surat di Il Mare yang menjadi penghubung mereka.

Dari sini, arah cerita sudah mulai bisa ditebak. Melalui surat-menyurat itulah akhirnya hubungan batin mereka terjalin semakin kuat. Interaksi tak langsung ini bagaikan sebuah eskapisme dari rusaknya hubungan masing-masing dengan orang-orang dalam kehidupan mereka, Eun-joo dengan mantan kekasihnya dan Sung-hyun dengan ayah kandungnya. Dua orang yang merasa terasing ini pada akhirnya seolah saling menopang satu sama lain. Apakah hubungan diantara mereka pada akhirnya akan berlanjut ke tahap yang lebih nyata dibanding hanya saling bertukar surat? Untuk yang merasa familiar dengan premis ceritanya, mungkin anda pernah menonton versi remake-nya yang dibintangi duo Sandra Bullock dan Keanu Reeves dengan judul The Lake House. Jika mau dibandingkan, versi aslinya ini jelas jauh lebih baik. IMHO

Penonton yang kritis mungkin akan menemukan beberapa hal yang tidak masuk akal di sepanjang film ini. Namun seperti kata Agnes Monica, cinta kadang-kadang tak ada logika. *asal nyambung* Saya sendiri tidak terlalu mempedulikan masalah ketidaklogisan tersebut, karena yang ingin ditonjolkan disini adalah feel romantisnya. Dan untuk itu, saya akui film ini berhasil. Dengan setting utama di sebuah rumah pinggir pantai yang tampak terisolasi namun menawan hati, ditambah sinematografi serta musik pengiringnya yang serasi, sudah cukup membangun mood penonton untuk ikut terbawa hawa romantis yang dihembuskan film ini. Untuk anda yang memang menggemari film-film beraroma romantis, film ini sangat saya rekomendasikan.

PS : Jun Ji-hyun imut banget ya... *labil*

Rating : 7.5/10

Saturday, June 11, 2011

5 Centimeters Per Second (2007)


Genre : Animation, Drama, Romance | Pengisi Suara : Kenji Mizuhashi, Yoshimi Kondou, Satomi Hanamura, Ayaka Onoue | Sutradara : Makoto Shinkai | Penulis : Makoto Shinkai | Produksi : CoMix Wave, ADV Films | Durasi : 63 menit

"The speed at which the sakura blossom petals fall... Five centimeters per second."
-Akari-

Salah satu alasan mengapa saya begitu menikmati film animasi produksi Studio Ghibli adalah berkat tampilan animasi tradisionalnya yang memukau. Selain faktor ceritanya yang selalu berhasil menyentuh hati, film-film Studio Ghibli memang kerap pandai memanjakan mata tiap penontonnya. Namun disini, saya tidak akan membahas salah satu film animasi rilisan studio tersebut. Ada satu film animasi Jepang (anime) yang baru-baru ini saya tonton dan sukses membuat sepasang mata ini terbelalak dan mulut ini berdecak kagum dengan kemegahan visualnya. Sebutan banyak orang untuk Makoto Shinkai sebagai "the next Hayao Miyazaki" memang bukan tanpa alasan. Apa yang dicapainya melalui 5 Centimeters Per Second ini memang luar biasa.

Film yang memiliki durasi sekitar satu jam ini menawarkan cerita yang sepertinya sudah umum dipakai dalam film-film drama romantis—tentang dua insan manusia yang saling mencintai namun terpisahkan oleh jarak. Maksud dari judul film ini sendiri bisa dibilang merupakan metafora dari kondisi tersebut. Lima senti per detik, konon itulah kecepatan kelopak bunga sakura saat jatuh dari pohonnya. Layaknya bunga sakura, beberapa orang bisa saja memulai awal kehidupan mereka bersama, namun suatu saat mereka bukan tidak mungkin akan terpisahkan, bagai kelopak bunga yang berguguran, lima senti per detik. In our lives, people come and go. Mungkin itulah yang ingin disampaikan Shinkai melalui film besutannya ini.

Dua insan yang saling mencintai itu adalah Takaki Tono (Kenji Mizuhashi) dan Akari Shinohara (Yoshimi Kondou, Ayaka Onoue). Sejak Akari pindah ke SD yang sama dengan Takaki, keduanya mulai menjalin hubungan yang semakin lama semakin erat berkat kesamaan yang mereka miliki. Hubungan mereka mulai diuji saat Akari dan keluarganya harus pindah ke luar kota yang jaraknya cukup jauh. Namun mereka masih sering berkomunikasi melalui surat menyurat (errr...di sini telepon genggam dan internet belum mewabah). Suatu ketika, Takaki juga harus pindah rumah bersama keluarganya ke kota lain yang ternyata jaraknya semakin jauh dengan tempat tinggal Akari. Sebelum kepindahannya, Takaki memutuskan untuk sekali lagi menemui Akari dan menyatakan perasaannya melalui surat yang ia bawa.

Waktu berlalu, cerita pun bergulir saat Takaki sudah hampir lulus SMA. Jarak dan waktu masih memisahkannya dengan Akari. Namun ia masih terus mengingatnya, hingga tak menyadari bahwa ada gadis lain yang menaruh perhatian padanya. Dialah Kanae Sumida (Satomi Hanamura), teman sekelas Takaki yang mulai menyukainya sejak mereka masih duduk di bangku SMP. Kanae yang masih belum berani menyatakan perasaannya hanya mampu menatap Takaki saat sedang latihan memanah, kemudian menunggunya diam-diam di tempat parkir agar bisa pulang bersama. Suatu malam mereka membicarakan kekhawatiran masing-masing akan masa depan. Dari sinilah Kanae semakin menyadari bahwa Takaki selalu melihat jauh ke depan, kepada sesuatu yang tidak pernah ia ketahui selama ini.

Di babak terakhir, kita diperlihatkan dengan Takaki dan Akari yang sudah tumbuh dewasa. Apakah mereka bersama atau tidak, hanya bisa anda ketahui dengan menonton sendiri film yang bagi saya sangat menyentuh ini. Cerita yang diangkat mungkin bukan barang baru, namun Shinkai mampu merangkainya menjadi sebuah untaian kisah tiga bagian yang begitu puitis dan menyentuh hati. Setiap orang mungkin memiliki cinta pertama yang tak akan pernah mereka lupakan, dan film ini akan membuat mereka kembali mengingatnya. Kisah yang akan terasa personal bagi sebagian orang ini, dipercantik dengan komposisi musiknya yang indah dan visualnya yang menakjubkan. Ya, komponen paling kuat yang ada dalam anime ini adalah gambar-gambar cantik yang disajikan Shinkai di sepanjang film. Bahasa gambar disini sudah berbicara banyak kepada penontonnya tanpa perlu berkata-kata. Silakan tonton sendiri untuk membuktikan kedahsyatan visualnya.

Rating : 8/10

Saturday, June 4, 2011

Ocean Waves (1993)


Genre : Animation, Drama, Romance | Pengisi Suara : Nobuo Tobita, Toshihiko Seki, Yoko Sakamoto | Sutradara : Tomomi Mochizuki | Penulis : Saeko Himuro (novel) | Produksi : Studio Ghibli | Durasi : 72 menit

"The whole thing was starting to feel like a bad soap opera."
-Taku-

Orang bilang, masa SMA adalah masa-masa yang paling indah. Saya bilang, masa SMA adalah masa-masa yang paling labil. Meski sampai sekarang pun terkadang saya masih merasa bingung dengan apa yang benar-benar saya inginkan dalam hidup alias sedang dalam tahap pencarian jati diri, namun di usia SMA-lah pertanyaan-pertanyaan eksistensial (halah!) ini mulai sering hinggap di benak saya, Tapi di luar itu, saya akui masa SMA itu memang mengasyikkan. Pengalaman tiap orang di masa tersebut tentunya berbeda-beda, namun saya yakin mayoritas individu pasti pernah mengalami rasa ini : ketertarikan terhadap individu lain, atau bahasa umumnya—jatuh cinta. Tema tentang romantika masa SMA inilah yang diangkat melalui sebuah film animasi tv produksi Studio Ghibli yang berjudul Ocean Waves (Umi ga kikoeru).

Tokoh utama kita adalah Taku Morisaki (Nobuo Tobita), seorang mahasiswa yang akan menghadiri reuni SMA di kampung halamannya di prefektur Kochi. Sebelum berangkat, ia melihat sosok perempuan yang sekilas tampak tidak asing baginya. Dalam penerbangan ke kampung halamannya, Taku mengingat kembali kenangan yang ia alami semasa SMA. Dari sinilah cerita kemudian bergerak mundur ke dua tahun sebelumnya, saat Taku pertama kali bertatap muka dengan seorang perempuan yang tidak akan pernah ia lupakan. Namanya Rikako Muto (Yoko Sakamoto), seorang siswi pindahan dari Tokyo.

Yutaka Matsuno—sahabat Taku sejak SMP-lah yang mengenalkannya pada Rikako. Melalui beberapa dialog, cukup terlihat bahwa Yutaka menyukai Rikako. Taku sendiri menyimpan rasa kagum terhadap Rikako yang begitu menonjol di bidang akademis. Namun sikap Rikako yang penyendiri dan terkesan angkuh membuatnya dijauhi anak-anak lain. Kedekatan antara Taku dan Rikako mulai muncul saat sekolah mereka mengadakan liburan ke Hawaii. Suatu ketika, tiba-tiba Rikako menghampiri Taku dan mencoba meminjam uang darinya dengan alasan seluruh uang tunai yang dibawanya hilang. Urusan pinjaman inilah yang akhirnya membuat mereka menjadi lebih dekat, meski sempat diwarnai kesalahpahaman.

Dibandingkan dengan animasi Ghibli yang lain, film yang dibuat khusus untuk konsumsi tv ini terkesan kurang sorotan. Saya sendiri sebelumnya sama sekali asing dengan judul film ini. Namun setelah saya coba tonton, ternyata ini lebih dari sekedar sebuah tayangan untuk televisi. Meskipun kesan yang ditimbulkan masih di bawah Whisper Of The Heart—animasi Ghibli lain yang juga menyorot problematika masa remaja, namun film ini juga mampu bersuara lantang dengan muatan yang dikandungnya. Ceritanya memang sederhana, namun begitu membekas. Bahkan bukan tidak mungkin jika film ini berhasil menghadirkan kembali nostalgia saat anda berada di bangku sekolah dulu.

Selain ceritanya yang sederhana, kelebihan utama yang dimiliki film ini adalah karakterisasi tokoh-tokohnya. Taku dan Rikako digambarkan sebagai remaja biasa yang dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari, atau bahkan mungkin mereka adalah refleksi dari diri kita sendiri di masa lalu. Permasalahan yang mereka alami juga disampaikan dengan wajar, tidak mengada-ada. Walaupun apa yang dialami mereka tidak sama persis dengan apa yang pernah saya alami, namun saya masih bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Kedekatan inilah yang membuat Ocean Waves terasa begitu spesial. Jangan harapkan drama melodramatis ala Hollywood yang seringkali memanipulasi emosi penontonnya dengan suguhan yang terlalu dibuat-buat. Film ini tampil apa adanya. Itulah kelebihannya.

Ditutup dengan ending yang manis, film yang disutradarai oleh Tomomi Mochizuki ini berhasil menghangatkan hati saya di malam minggu yang sepi ini. Sebuah kisah coming of age yang subtil dan intim. Highly recommended!

Rating : 8/10

Tuesday, May 31, 2011

Compiled Reviews : Double French Gorefest

Inside (2007)

Genre : Horror, Thriller | Pemain : Beatrice Dalle, Alysson Paradis, Nathalie Roussel, Francois-Regis Marchasson | Sutradara : Alexandre Bustillo, Julien Maury | Penulis : Alexandre Bustillo | Distributor : La Fabrique de Films | Durasi : 83 menit | MPAA : Rated R for strong bloody violence, gruesome and disturbing content, and language

Masih ingat Rumah Dara? Film slasher lokal yang berhasil membuktikan bahwa sinema horor Indonesia belum sepenuhnya terperosok dalam jurang kehinaan. Meski orisinalitas bukanlah sesuatu yang bisa ditemukan disini, namun hasil akhirnya sudah sangat memuaskan bagi saya. Berbicara soal orisinalitas, saya jadi ingat ada yang pernah berkomentar bahwa beberapa adegan dalam Rumah Dara mencontek habis adegan yang ada dalam sebuah film slasher produksi negara Perancis berjudul A l'interieur atau Inside untuk judul internasionalnya. Suara sumbang itulah yang membuat saya semakin penasaran dengan film garapan duo Alexandre Bustillo dan Julien Maury ini.

Mari pertemukan seorang wanita hamil dengan seorang wanita psikopat dalam sebuah rumah sepi di malam Natal, maka kita akan disuguhkan sebuah tontonan yang seram, menegangkan, serta tentunya banyak ceceran darah dimana-mana (love it!). Sarah (Allyson Paradis), seorang wanita yang tengah hamil tua, harus menerima kenyataan pahit saat ditinggal mati suaminya dalam sebuah kecelakaan mobil. Tak lama setelah kejadian tersebut, tepat saat malam Natal, seorang wanita misterius berpakaian serba hitam tiba-tiba muncul di depan rumahnya. Saat Sarah yakin bahwa wanita tersebut sudah pergi, ternyata si wanita kurang ajar itu diam-diam berhasil menyelinap ke dalam rumahnya. Lalu dimulailah parade bacok-membacok, tembak-menembak, atau apapun itu, yang pasti banyak darah yang tertumpah di setiap adegannya.

Setelah menonton film ini, ternyata memang ada beberapa adegan yang bisa saya temukan juga di film Rumah Dara. Namun, saya rasa The Mo Brothers (sutradara Rumah Dara) bukannya dengan sengaja mencomot adegan-adegan itu, tapi lebih sebagai tribute bagi film-film slasher dari berbagai belahan dunia. I'm just saying. Di luar itu, Inside berhasil membuat saya terpaku untuk terus menyaksikan menit demi menitnya yang penuh dengan lumuran darah. Saya juga sempat beberapa kali dibuat merinding dan bergidik. Salahkan Beatrice Dalle yang sukses memerankan si wanita brengsek dengan aksi-aksi sadisnya yang terkadang sulit diterima akal sehat. Tapi untuk menikmati film ini memang tidak perlu terlalu banyak berpikir, cukup segarkan mata itu dengan adegan-adegan berdarah yang disajikan. Dan adegan menuju ending berhasil membuat mata saya terbelalak. Saya tidak akan pernah lagi memandang gunting dengan cara yang sama.

Rating : 7/10


High Tension (2003)

Genre : Drama, Horror, Thriller | Pemain : Cecile De France, Maiwen Le Besco, Philippe Nahon | Sutradara : Alexandre Aja | Penulis : Alexandre Aja, Gregory Levasseur, Dean R. Koontz | Distributor : EuropaCorp. Distribution | Durasi : 89 menit (edited version) | MPAA : Rated R for graphic bloody killings, terror, sexual content and language (edited version)

Satu lagi film slasher produksi Perancis yang membuat saya penasaran berkenaan dengan muatan kekerasan yang (katanya) sangat berlebihan dan mengganggu. Oke, sepertinya inilah sajian yang saya butuhkan demi menyegarkan kembali otak yang sudah terlalu panas untuk menerima hal-hal yang memusingkan. Dengan berbekal ekspektasi rendah dan sinopsis samar-samar, akhirnya saya memutuskan untuk menyantap film ini. Tengah malam. Dan apa yang terjadi? Saya puas! Tapi hanya setengah. Ada sesuatu dalam film ini yang sangat mengganggu sehingga gagal membuat saya benar-benar terpuaskan. Ini sama saja dengan gagal orgasme. Duh!


Bercerita tentang dua mahasiswi yang berencana untuk berakhir pekan di tempat tinggal salah satu dari mereka. Lokasi kediaman keluarga Alex (Maiwen Le Besco) memang sangat kondusif untuk melepas lelah karena lingkungannya yang sepi, jauh dari keramaian. Temannya, Marie (Cecile De France), cukup merasa nyaman dengan kondisi yang ada, sampai-sampai ia menyempatkan untuk "memuaskan" diri sendiri sebelum tidur. Kenyamanan ini tidak berlangsung lama, karena saat tengah malam tiba, muncul gangguan dalam wujud seorang pria gemuk bersenjata yang tanpa tedeng aling-aling langsung membantai seisi rumah. Kini hanya tersisa Alex yang entah kenapa tidak segera dibunuh, serta Marie yang keberadaannya belum diketahui sang pembunuh. Dengan modal nekat, Marie kemudian berusaha membebaskan Alex yang kini disekap si pria gemuk berwajah angker itu.

Saya akui, 3/4 bagian dari film ini sangat efektif menjaga intensitas ketegangan yang sanggup membuat penonton terpaku. Permainan kucing-kucingan antara Marie dan si pembunuh dipresentasikan dengan brilian sampai membuat saya beberapa kali menahan napas saking tegangnya. Cukup jarang saya dibuat setegang ini hanya karena sebuah film horor. Untuk itu, saya acungi dua jempol untuk Alexandre Aja atas penyutradaraannya yang brilian. Selain itu, Aja juga terlibat dalam penulisan naskahnya. Untuk itu saya tarik lagi kedua jempol saya dan saya ganti dengan dua jari tengah. Mengapa? Karena naskahnya memiliki klimaks dan ending yang mega idiot. Maaf, itu mungkin berlebihan. Tapi tidak dapat disangkal bahwa penyelesaian yang dipilih Aja terasa begitu pretensius jika tidak mau disebut bodoh dan beresiko merusak film secara keseluruhan. Maksudnya ingin membuat twist, jadinya malah jijay abis. Untung ketegangan di 3/4 filmnya sangat berkesan, jadi saya masih bisa sedikit melupakan endingnya yang sok pintar. Andai saja saya orang penting yang berkuasa atas keseluruhan proses produksi film ini, saya bakal pangkas itu klimaks beserta endingnya yang totally useless. *khayalan super aneh yang terlalu tinggi, bahkan lebih tinggi dari Tom Cruise saat memakai high heels 30 senti sekalipun*

Rating : 6/10

Sunday, April 17, 2011

Barking Dogs Never Bite (2000)


Genre : Comedy, Horror | Pemain : Lee Sung-jae, Bae Doona, Byeon Hee-bong | Sutradara : Bong Joon-ho | Penulis : Bong Joon-ho, Song Ji-ho, Derek Son Tae-woong | Distributor : Cinema Service | Durasi : 106 menit

Banyak yang mengatakan bahwa anjing adalah sahabat terbaik manusia. Meskipun saya tidak pernah bersahabat dengan anjing, namun tampaknya pernyataan tersebut sudah begitu melekat sehingga tidak penting lagi untuk didebat. Di dunia perfilman pun, sudah banyak sineas yang mengangkat tema tentang persahabatan antara manusia dan anjing peliharaannya. Satu bukti loyalitas hewan satu ini tergambar melalui sosok Hachiko, sang anjing legendaris yang kisahnya begitu menginspirasi orang banyak. Dengan loyalitasnya yang tinggi, bukan berarti anjing dicintai semua orang. Gonggongan anjing yang keras dan tidak kenal waktu bisa sangat mengganggu siapa pun, termasuk tokoh utama dalam film Barking Dogs Never Bite—sebuah debut penyutradaraan dari Bong Joon-ho yang memuat sindiran terhadap kehidupan masyarakat urban di Korea Selatan dalam balutan komedi gelap.

Tokoh utama kita adalah Yun-ju (Lee Sung-jae), si calon professor yang tampak cocok masuk dalam klub suami-suami takut istri. Dengan kehidupan pribadinya yang sudah ruwet, kehadiran suara-suara mengganggu berupa salakan anjing di sekitar apartemennya membuat Yun-ju semakin tertekan. Suatu hari ia memutuskan untuk melakukan sesuatu terhadap gangguan ini. Tak disangka, perbuatannya justru menjadi awal dari rentetan kejadian-kejadian lain yang mempertemukannya dengan karakter-karakter unik seperti si penjaga gedung (Byeon Hee-bong) yang memiliki hasrat lebih terhadap anjing, sampai Hyeon-nam (Bae Doona), si pegawai kantor yang terobsesi masuk tv dan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar untuk membantu orang lain.

Awalnya, saya mengira film ini akan memancarkan aura depresif yang kental serta memuat adegan-adegan yang cukup mengganggu. Nyatanya, film ini sangatlah menghibur dengan selera humornya yang sukses memancing tawa lepas walaupun ini dikategorikan sebagai black comedy. Memang ada beberapa adegan yang cukup membuat miris dan kemungkinan terasa ofensif, terutama bagi para pecinta hewan (khususnya anjing). Namun jangan terlalu diambil hati karena itu memang bagian penting dari cerita. Percaya saja pada kalimat di awal film yang menyatakan bahwa semua anjing yang muncul di film ini diawasi oleh ahlinya. Meniru metode Wes Craven, ucapkan saja mantra ini berkali-kali : "It's only a movie...only a movie..."

Selain unsur komedinya yang efektif, film ini juga terasa mengena saat menyentuh berbagai isu sosial dalam kehidupan masyarakat modern. Tokoh Yun-ju, si suami yang tampak begitu inferior di hadapan istrinya cukup menyiratkan bahwa faktor ekonomi bisa mempengaruhi keharmonisan sebuah rumah tangga. Yun-ju juga sempat gagal meraih gelar professor hanya karena saingannya lebih unggul dalam melobi alias suap-menyuap. Hal ini menggambarkan isu yang sudah tidak asing lagi bahkan di Indonesia sendiri, bahwa gelar ataupun posisi penting bisa diraih asal kita punya duit. Lalu ada juga lelucon tentang kriteria suami ideal berdasarkan profesi. Sebuah obrolan yang menggelitik, namun sekaligus pahit.

Untuk menghidupkan adegan per adegan dalam sebuah film, salah satu komponen yang menunjang adalah performa dari aktor dan aktrisnya. Dalam film ini, semua pemain yang terlibat menunjukkan permainan akting yang memukau. Lee Sung-jae sebagai professor-wannabe yang batinnya tertekan tampil meyakinkan dan berhasil menarik simpati, walaupun beberapa aksinya di awal-awal film tidak bisa dibilang terpuji. Byeon Hee-boong sebagai janitor yang auranya mencurigakan juga cukup menarik perhatian, terutama saat ia menceritakan kisah mistis di basement apartemen yang gelap. Namun yang paling mencuri perhatian adalah Bae Doona, salah satu aktris paling ekspresif yang pernah saya lihat dalam sinema Korea. Peran-peran dengan nuansa komedi jelas sangat cocok untuknya. Interaksi dirinya dengan temannya yang bertubuh tambun adalah salah satu highlight yang membuat film ini terasa hangat dan menghibur.

Keunggulan lain yang dimiliki film ini adalah sinematografinya yang apik. Jelas terlihat bahwa Bong Joon-ho telah merencanakan semuanya dengan seksama. Mulai dari adegan pembuka saat Yun-ju berbicara di telepon sambil menghadap hijaunya pepohonan, sampai adegan kejar-kejaran di apartemen yang begitu memorable, semuanya ditampilkan dengan menawan dan tentunya enak disantap. Melalui karya debutnya ini, beliau memperlihatkan bahwa ia adalah sineas berbakat yang patut diperhitungkan. Cukup menyenangkan juga melihat ia bisa menjadikan hal-hal kecil seperti tissue toilet dan kaca spion sebagai komponen penting yang mendukung jalinan cerita. Nice touch!

Overall, sebagai sajian drama dengan sedikit elemen horor dalam balutan black comedy yang kental, Barking Dogs Never Bite secara mengejutkan tampil menghibur dan sangat layak untuk disaksikan. Sebuah awal yang menjanjikan bagi karir seorang sineas bernama Bong Joon-ho.

Rating : 8/10

Tuesday, April 12, 2011

Black Christmas (1974)


Genre : Horror/Mystery/Thriller | Pemain : Olivia Hussey, Margot Kidder, Keir Dullea, Andrea Martin, Art Hindle, John Saxon, James Edmond, Marian Waldman | Sutradara : Bob Clark | Penulis : Roy Moore | Distributor : Warner Bros. Pictures | Durasi : 98 menit

"A Christmas of another colour brings a killer on the loose"

Pada tahun 1978, sebuah film berjudul Halloween lahir dari tangan seorang John Carpenter—sang maestro horor yang reputasinya di kalangan fans genre tersebut sudah tidak perlu diragukan lagi. Film yang melejitkan nama Michael Myers sebagai salah satu tokoh villain paling ikonik ini banyak disebut sebagai pelopor film slasher yang kemudian menjadi inspirator bagi film-film sejenis. Halloween boleh saja disebut sebagai pelopor, namun jangan lupakan satu judul film yang juga menjadi bagian penting dari sejarah kebangkitan film slasher. Film itu adalah Black Christmas.


Dirilis pada tahun 1974, Black Christmas-lah yang sebenarnya banyak memberi pengaruh terhadap kemunculan film-film berjenis slasher, termasuk Halloween. Namun tidak seperti Halloween yang banyak diperbincangkan, film besutan Bob Clark ini seperti kurang terdengar gaungnya dan terkesan underrated. Well, kurang sorotan bukan berarti jelek kan? Karena menurut saya, Black Christmas adalah salah satu entry terbaik di genre-nya. Dan sialnya, cult classic satu ini ikut terkena imbas dari kemiskinan ide yang sedang melanda Hollywood belakangan ini. Ya, film ini mendapat "kehormatan" dengan dibuatkan remake-nya yang dirilis tahun 2006 lalu. Dan jujur saja, remake ini bagaikan sebuah sajian basi dengan hiasan yang sengaja dibuat menarik (berupa kumpulan cewek cantik di deretan cast-nya). Menggiurkan, namun setelah dicoba sukses menimbulkan sensasi mual-mual.

Lain dengan remake-nya yang menorehkan kesan buruk, versi orisinilnya tampil memikat dan jauh lebih berkesan. Plotnya sederhana saja, mengenai seorang psikopat yang menyelinap masuk ke dalam sebuah sorority house saat malam Natal, melancarkan teror melalui telepon, dan membantai satu-persatu penghuninya. Alurnya berjalan perlahan, sehingga memberi cukup ruang bagi penonton untuk lebih mengenal berbagai karakter yang ada. Olivia Hussey, Kier Dullea, Marian Waldman, dan terutama Margot Kidder sebagai Barb, si cewek bitchy bermulut kotor, membawakan peran masing-masing dengan cukup baik. Secara keseluruhan, semua cast disini tampil solid.

Film slasher yang merupakan sub-genre dari horor, umumnya identik dengan adegan-adegan yang mengumbar darah. Uniknya, Black Christmas justru tergolong minim dalam menampilkan adegan gore. Film ini lebih mengandalkan atmosfer yang efektif menimbulkan suasana mencekam. Di sepanjang film, sosok penjahatnya sendiri tidak ditampilkan secara frontal. Teknik first person point of view digunakan tiap sang penjahat beraksi, memposisikan penonton seolah berada dalam pikirannya. Identitas villain yang ditutup rapat adalah salah satu kelebihan film ini. Ketidakjelasan motif yang melatarbelakangi aksinya justru membuat kesan horor pada karakternya jadi lebih terasa. Aksi terornya melalui telepon dengan menggunakan suara-suara aneh yang berubah-ubah sangatlah disturbing dan cukup membuatnya masuk dalam jajaran salah satu psikopat fiksional paling memorable.

Sebagai salah satu film slasher yang memberi pengaruh terhadap kemunculan film-film serupa di kemudian hari, bagi saya Black Christmas memang tampil mengesankan. Meski dibuat lebih dari 30 tahun yang lalu, film ini masih enak untuk dinikmati bahkan jauh lebih superior dibanding slasher modern yang mayoritas berpola klise serta terlalu mengeksploitasi darah dan seks. Highly recommended for the genre's fans!

Rating : 8/10

Friday, April 1, 2011

The Last House On The Left (1972)


Genre : Horror/Thriller | Pemain : Sandra Cassel, Lucy Grantham, David A. Hess, Fred Lincoln, Jeramie Rain, Marc Sheffler, Gaylord St. James, Cynthia Carr | Sutradara : Wes Craven | Penulis : Wes Craven | Distributor : Hallmark Releasing Corp | Durasi : 84 menit

"Listen to daddy. I want you to take the gun, and I want you to put it in your mouth, and I want you to turn around and blow your brains out."
-Krug-


Saat mendengar nama Wes Craven, yang langsung terlintas di benak saya adalah sebuah film slasher berjudul Scream. Ya, film tersebut adalah perkenalan pertama saya dengan Wes Craven, salah satu maestro film horor Amerika. Dengan naskah yang cerdas serta penuh referensi film-film horor lawas, Scream hadir untuk bersenang-senang sekaligus memberi warna baru pada genre slasher di medio 90-an. Sebuah gebrakan luar biasa dari sang maestro. Namun sebelum kemunculan Scream, beliau juga sudah pernah membuat gebrakan yang mengejutkan dunia perfilman di Amerika melalui debut filmnya yang berjudul The Last House On The Left pada tahun 1972 silam.

Salah satu komponen menarik dari karya pertama Wes Craven ini adalah materi promosinya. Coba saja lihat satu versi posternya yang saya pajang di atas. Dengan ilustrasi yang cukup disturbing, plus tagline atau lebih tepatnya peringatan yang dicantumkan di kanan bawah dengan bunyi, "To avoid fainting keep repeating, it's only a movie...only a movie...", rasa penasaran calon penonton sudah pasti terpancing. Saya sendiri yang memang menyukai film-film bergenre horor, ingin membuktikan seberapa menakutkannya film yang sempat menuai kontroversi berkepanjangan di beberapa negara ini.

Seorang gadis bernama Mari Collingwood (Sandra Cassel) berencana merayakan malam ulang tahunnya yang ke-17 dengan menonton konser sebuah band underground bersama teman barunya Phyllis Stone (Lucy Grantham) di New York. Malam yang semula menyenangkan berubah menjadi petaka ketika mereka bertemu dengan kelompok buronan pimpinan Krug Stillo (David A. Hess). Bersama partnernya, Weasel (Fred Lincoln) dan Sadie (Jeramie Rain), serta anaknya yang drug addict, Junior (Marc Sheffler), Krug menjadikan Mari dan Phyllis sebagai objek kebiadaban mereka. Orangtua Mari yang khawatir karena anak mereka tidak pulang-pulang belum menyadari bahwa sebenarnya keberadaan Mari dan para penculiknya sangatlah dekat dengan kediaman mereka. Kisah ini pun akhirnya berujung pada klimaks berdarah yang menggambarkan bahwa kekerasan hanya akan memancing tindak kekerasan lainnya.

Selesai menonton, saya mengerti mengapa film ini banyak menuai kontroversi hingga beberapa adegannya harus kena pangkas gunting sensor. Muatannya cukup mengganggu untuk disaksikan pada zamannya, bahkan untuk saat ini pun saya rasa film ini masih bisa membuat beberapa orang tidak nyaman ketika menontonnya. Adegan yang menampilkan kebejatan Krug beserta gengnya terhadap Mari dan Phyllis saya jamin akan membuat miris siapapun yang menyaksikannya. Penataan kamera serta gambar yang cenderung grainy membuat film ini tampak menyerupai dokumenter sehingga mempertegas kesan realisme. Inilah yang membuatnya semakin tidak nyaman untuk ditonton karena kita bagaikan disuguhi sebuah dokumentasi nyata kejadian mengerikan ini. Oke, saat ini mungkin banyak film lain yang muatan kekerasannya jauh lebih brutal dibandingkan dengan yang ditampilkan Wes Craven disini. Namun saya rasa kebanyakan masih terasa kepalsuannya, tidak seperti film ini yang memberikan kesan nyata hingga membekas di ingatan.

Ada beberapa poin yang bisa disebut sebagai kekurangan dalam film ini. Pertama, akting para pemainnya yang terlihat amatir serta penempatan karakter yang kurang pas. Kehadiran dua tokoh polisi yang sepertinya diposisikan sebagai karakter comic relief, tampil konyol dan cukup mengganggu. Sandra Cassel dan Lucy Grantham yang berperan sebagai korban, serta David A, Hess yang memerankan tokoh Krug mungkin yang paling lumayan. Poin kedua adalah dimasukkannya musik latar yang bernada ceria dan cenderung komikal, sangat kontradiktif dengan mood filmnya yang gelap. Musik latar tersebut beberapa kali sukses mengalihkan perhatian saya, dan ini bukan dalam artian baik. Poin terakhir adalah komponen yang sejatinya merupakan bagian vital dalam sebuah film, yaitu plotnya sendiri. Plot hole memang hal yang lazim ditemui dalam sebuah film, tak terkecuali film ini yang memuat beberapa adegan tak masuk diakal sampai insiden-insiden yang kesannya terlalu kebetulan. Masih bisa dimaklumi, tapi tetap terasa mengganjal.

Dengan segala kekurangan yang ada, saya tetap menganggap bahwa debut Wes Craven ini adalah sebuah karya penting yang patut ditonton. Konon, film ini juga dimaksudkan sebagai kritik sosial terhadap perang Vietnam yang saat itu sedang memanas. Tiap hari media mengangkat berita mengenai kekejaman perang yang merenggut nyawa banyak orang. Melalui film ini, Wes Craven mengeksplor sejauh mana kemampuan manusia untuk melakukan tindak kekerasan terhadap sesamanya. Dan melalui klimaks sampai ending film, beliau juga ingin memperlihatkan sejauh mana seseorang mampu bertindak saat apa yang paling dicintainya direnggut paksa. Sebuah debut yang mencengangkan dari seorang Wes Craven.

Rating : 7.5/10

Tuesday, March 22, 2011

Movie Week #02 : Love Is Never Easy

Oke, sebenarnya postingan ini rencananya ingin saya publikasikan lebih dari sebulan yang lalu (bertepatan dengan hari Valentine. D'oh!). Tapi karena satu dan lain hal (yeah, mostly because of the laziness), akhirnya draft ini pun terbengkalai. Mumpung saat ini saya memiliki waktu luang dan cukup bersemangat, saya putuskan untuk menyelesaikan postingan ini. Cukup ironis mengingat semangat saya untuk menulis timbul saat kondisi tubuh ini sedang tidak fit. #curhat

Meskipun saya tidak merayakan dan bahkan tidak menemukan keistimewaan apapun dari sebuah hari bernama Saint Valentine's Day—atau lebih singkatnya Valentine's Day, namun saya masih bisa menemukan suatu kesenangan tersendiri tiap menjelang tanggal 14 Februari. Dengan semakin liarnya pertumbuhan pengguna media jejaring sosial, secara tidak langsung mempengaruhi saya untuk ikut merasakan atmosfer dari hari yang dianggap sakral oleh sebagian orang ini. Ya, menjelang Valentine, begitu banyak orang yang tampaknya terkena hype atau memang sungguh-sungguh menganggap istimewa hari tersebut dengan memajang komentar ataupun status yang penuh dengan nuansa cinta dan romantisme. Walaupun terkadang geli, namun ini adalah suatu hiburan tersendiri yang bisa membuat bibir ini tersenyum. Saya yang sebenarnya tidak berjiwa romantis (entah ini penyangkalan atau memang nyata adanya, saya sendiri masih bingung), jadi sedikit tertular demam Valentine. Belum lagi peran media lain seperti televisi misalnya, yang memanfaatkan momen ini untuk menayangkan film-film bergenre romantis. Saya pun semakin ikut-ikutan terbawa suasana hingga akhirnya berniat mengadakan movie week bertema cinta. Kelima film yang saya saksikan di minggu menjelang Valentine ini cukup menggambarkan pahit manisnya kehidupan cinta yang dijalani umat manusia (meski mayoritas bernada pahit dan cenderung depresif). Yeah, love is never easy, but it's worth fighting for. #eeaa


Never Let Me Go (2010)

Film yang diangkat dari novel berjudul sama karangan Kazuo Ishiguro ini menawarkan cerita yang tragis, depresif, sekaligus menyentuh. Bersetting di sebuah alternative reality (menyerupai Inggris, meski tidak disebut secara spesifik) dimana ilmu medis sudah semakin berkembang, cerita berfokus pada kehidupan tiga tokoh utamanya—Kathy (Carrey Mulligan), Ruth (Keira Knightley), dan Tommy (Andrew Garfield) mulai dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Yang menarik (lebih tepatnya membuat miris), eksistensi mereka di dunia ternyata sudah dirancang sedemikian rupa untuk suatu tujuan. Tanpa membeberkan plotnya lebih jauh, saya hanya ingin mengatakan bahwa walaupun keberadaan serta nasib yang diemban ketiga tokoh utamanya (sepertinya) hanya bisa ditemukan dalam kisah fiksi, namun kisah mereka juga terasa paralel dengan apa yang dialami banyak orang di dunia nyata. Rasa takut akan kematian, rasa cinta, rasa cemburu, sampai pedihnya kehilangan seseorang yang dicintai adalah emosi yang lazim dirasakan oleh umat manusia. Oleh karena itu, apa yang dialami Kathy, Tommy, dan Ruth saya rasa mampu melibatkan emosi para penontonnya. Film ini memang memiliki tone yang muram dan cenderung depresif, namun pesan yang ingin disampaikan jelas positif. Hidup itu singkat, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya karena mungkin kesempatan kedua itu tidak akan pernah ada. That's what I got from this beautifully-made movie.

Rating : 8/10


Love Story (1970)

Kisah yang diangkat melalui film ini sangatlah klasik, tentang si pria kaya yang jatuh cinta pada si gadis miskin. Namun, seklise apapun kisahnya, saya akui ini adalah salah satu film paling romantis yang pernah dibuat. Melihat tahun rilisnya (1970), bisa dibilang film ini adalah pelopor film-film romantis yang melibatkan tragedi dalam alur kisahnya. Tearjerker? Absolutely. Walaupun kemasannya terkesan sederhana dilihat dari berbagai segi, namun hebatnya film ini berhasil memberikan kesan yang cukup mendalam. Ali MacGraw dan Ryan O'Neal memerankan pasangan yang tampak sangat serasi di layar. Interaksi antara mereka berdua seringkali diisi dengan dialog yang pintar, lucu, dan tentunya romantis. "Love means never having to say you're sorry" —salah satu kalimat yang diucapkan oleh keduanya, menjadi salah satu movie quote paling terkenal sampai saat ini. Selain chemistry dua bintang utamanya, yang juga membuat film ini begitu berkesan adalah score yang mengiringinya, simpel namun sangat membangun atmosfer film secara keseluruhan. Pertama mendengar dentingan pianonya, saya mulai merasa familiar dan pada akhirnya terngiang-ngiang terus di kepala. It's a heartbreaking yet romantic piece by Francis Lai. Tidak mengherankan ketika ia berhasil meraih piala Oscar atas komposisi musiknya tersebut. Diluar musik pengiringnya yang memang menghipnotis, sebagai sebuah sajian yang mengedepankan tema cinta antara sepasang insan manusia, Love Story patut dikenang sebagai salah satu film paling romantis sepanjang masa.

Rating : 7/10


Romeo Juliet (2009)

Siapa yang tidak familiar dengan kisah klasik karya pujangga ternama William Shakespeare yang berjudul Romeo And Juliet? Begitu terkenalnya kisah cinta tragis antar dua anak manusia ini hingga menarik perhatian sejumlah sineas untuk mengadaptasinya ke dalam format film layar lebar. Tak terkecuali Andibachtiar Yusuf, seorang sineas dalam negeri yang pernah menelurkan dua film dokumenter yang kental dengan unsur sepakbola. Kali ini, ia mencampurkan subjek favoritnya tersebut dengan kisah cinta terlarang ala Romeo And Juliet. Alih-alih keluarga Montague dan Capulet, yang kita dapat disini adalah perseteruan antara Viking versus The Jak—dua kubu suporter klub sepakbola yang terkenal sebagai musuh abadi. Romeo dan Juliet dalam film ini digambarkan melalui sosok Rangga (Edo Borne) dan Desi (Sissy Priscillia), dua anak muda yang tengah dimabuk cinta namun juga dilanda dilema. Dalam darah mereka mengalir kecintaan yang begitu besar terhadap komunitas masing-masing, namun apa daya hati mereka pun tidak bisa dibohongi. Hubungan mereka tentunya akan semakin memanaskan perseteruan antar kedua kubu. Tragedi pun tak dapat dihindarkan. Ya, serupa dengan kisah aslinya, film ini pun diwarnai dengan perseteruan dan tragedi. Adegan tawuran plus kata-kata makian menghiasi sepanjang film. Namun sayangnya, unsur romantisnya menurut saya kurang terbangun. Hubungan percintaan antara Rangga dan Desi entah kenapa terasa kurang believable. Sebagian dialognya pun masih terasa kaku dan tidak jarang terdengar menggelikan. Tapi pesan mengenai dampak dari fanatisme buta serta rasa dendam yang hanya akan membawa manusia pada kehancuran cukup tersampaikan dengan baik.

Rating : 5/10


Away From Her (2006)

Ini adalah sebuah debut penyutradaraan dari seorang aktris Kanada berbakat, Sarah Polley. Diadaptasi dari cerpen karangan Alice Munro berjudul The Bear Came Over The Mountain, film ini menyoroti kehidupan pasangan berusia senja yang harus menghadapi saat-saat tersulit dalam kehidupan rumah tangga mereka. Grant (Gordon Pinsent)—sang suami, menyadari bahwa istrinya, Fiona (Julie Christie) semakin hari semakin pelupa, yang menunjukkan gejala penyakit Alzheimer's. Setelah memikirkannya matang-matang, akhirnya Fiona setuju untuk dirawat di sebuah fasilitas khusus penderita Alzheimer's. Kesabaran Grant mulai diuji, karena selama 30 hari pertama ia tidak boleh mengunjungi istrinya yang menurut peraturan disana perlu penyesuaian diri dengan lingkungan barunya. Setelah masa penyesuaian itu berakhir, Grant pun harus menerima kenyataan pahit bahwa Fiona sudah tidak mengenali dirinya sebagai sang suami. Dan yang lebih buruk, Fiona tampak mencurahkan perhatiannya pada pasien lain bernama Aubrey (Michael Murphy) yang menderita kelumpuhan. Di titik ini, Grant menghadapi ujian terberatnya. Apakah ia harus terus berusaha membuat Fiona mengingat kembali kenangan-kenangan indah bersamanya dulu sebagai pasangan suami istri bahagia, atau ia harus merelakan istrinya memulai kehidupan baru tanpa dirinya di sisinya. Sebuah kisah yang begitu menyentuh serta memberi makna bahwa mencintai seseorang itu berarti merelakan—rela menyingkirkan ego pribadi dan rela melepaskan orang yang kita cintai, meskipun itu sakit.

Rating : 8/10


Blue Valentine (2010)

Dalam setiap hubungan percintaan, tentunya bukan hanya momen penuh suka cita yang akan ditemui setiap pasangan, namun juga saat-saat sulit yang siap menghadang kelanjutan hubungan mereka. Drama yang mengangkat pasang surut hubungan dua insan manusia dalam ikatan rumah tangga sudah banyak diangkat ke dalam medium film. Dalam film terbarunya, Derek Cianfrance—sineas yang sebelumnya berpengalaman menangani beberapa judul dokumenter ini, kembali mengangkat kisah yang sudah sangat familiar tersebut. Dengan materi yang bisa dibilang sudah bukan barang baru lagi, tantangan bagi Cianfrance adalah menyajikan sebuah tontonan yang memiliki suatu komponen menarik sehingga masih bisa memikat perhatian para penontonnya. Beruntung, Cianfrance bekerjasama dengan dua aktor muda bertalenta yang tampil begitu memukau disini, Ryan Gosling dan Michelle Williams. Memerankan sepasang suami istri yang sedang mencapai titik jenuh dalam hubungan mereka, keduanya sukses menjadikan film ini lebih dari sekedar drama konflik rumah tangga biasa. Mereka sanggup merebut simpati saya dengan pembawaannya masing-masing, sehingga saat momen menyakitkan itu tiba, hati saya pun ikut tercabik. Sungguh pengalaman sinematik yang sangat emosional. Walaupun ada beberapa kejanggalan, seperti transisi dari masa bahagia ke masa suram yang seolah terjadi begitu saja tanpa ada penjelasan mendalam mengenai perubahan masing-masing karakternya, namun penampilan Gosling dan Williams sudah membayar lunas semuanya. Salah satu duet akting terbaik yang pernah saya lihat dalam sebuah film. Sebagai sebuah film, Blue Valentine bukanlah suatu pencapaian yang luar biasa, namun performa dua pemain utamanya jelas luar biasa. Definitely worth watching.

Rating : 7.5/10

That's a wrap!