Saturday, October 2, 2010

Together (2000)

Genre : Comedy/Drama

Pemain : Lisa Lindgren, Michael Nyqvist, Gustaf Hammarsten, Emma Samuelsson, Sam Kessel

Sutradara : Lukas Moodysson

Penulis : Lukas Moodysson

Distributor : Sonet Film

Durasi : 106 menit

MPAA : Rated R for nudity/sexuality and language


Birger : "There's strength in being alone - that's just bullshit. Only thing worth anything is being together."

Stockholm, Swedia 1975. Pada periode 70-an ini, di Swedia mulai banyak bermunculan komune—sekelompok orang yang memutuskan untuk tinggal bersama dalam suatu tempat dengan saling berbagi properti sampai pendapatan dari usaha yang dikelola bersama. Melalui film ini, Moodysson menyorot kehidupan sekelompok hippies yang tergabung dalam satu komune dengan nama "Together" atau "Tillsammans" dalam bahasa Swedianya. Mereka adalah Goran (Gustaf Hammarsten) bersama kekasihnya, Lena (Anja Lundqvist); Lasse (Ola Norell) dengan mantan istrinya, Anna (Jessica Liedberg) beserta putra tunggal mereka Tet (Axel Zuber); Klas (Shanti Roney); Erik (Olle Sarri); dan terakhir ada pasangan suami istri beserta putranya (saya lupa nama mereka). Dengan watak masing-masing yang berbeda, mereka tidak pernah lepas dari perdebatan tiap harinya. Satu contoh saat mereka berdebat mengenai giliran siapa untuk mencuci piring, dan di satu sisi mereka juga berargumen apakah kegiatan mencuci ini terlalu "burjois" untuk dilakukan. Ya, percakapan seperti ini adalah makanan mereka sehari-hari.

Komunitas kacau ini kemudian mendapat kejutan yang berpotensi memecah-belah mereka—kehadiran tiga pendatang baru di rumah mereka. Elisabeth (Lisa Lindgren), kakak kandung Goran memutuskan untuk pindah sementara ke rumah tersebut bersama kedua anaknya, Eva (Emma Samuelsson) dan Stefan (Sam Kessel) diakibatkan perlakuan kasar dari suaminya yang alkoholik, Rolf (Michael Nyqvist). Selain mereka bertiga, penghuni lama tentunya juga harus bisa saling menyesuaikan diri. Idealisme mereka dipertaruhkan. Siapa yang tidak tahan, dia yang harus keluar. Tapi yang paling terkena dampak dari kepindahan ini adalah Eva dan Stefan. Merasa sebagai outsider di lingkungan sekolah, kini mereka semakin merasa terasing dengan berada di tempat baru tersebut. Pertengkaran orang tua serta lingkungan yang tidak kondusif semakin membuat mereka frustasi. Namun lama kelamaan keadaan pun membaik saat seorang anak lelaki tetangga tertarik kepada Eva sehingga ia pun bisa mulai menerima keadaannya. Stefan pun pada akhirnya mulai bisa beradaptasi dengan tempat tinggal barunya sembari sebisa mungkin tetap berhubungan dengan ayahnya.

Dalam proses penyatuan dua kelompok yang berbeda ini (idealist hippies dengan broken family), akhirnya harus ada beberapa orang yang keluar demi mempertahankan idealismenya. Prinsip penghuni lama untuk menghindari gaya hidup masyarakat modern, seperti menolak adanya televisi atau larangan mengonsumsi daging pada akhirnya mulai longgar. Menurut saya ini bukanlah wujud dari keegoisan satu pihak yang menyebabkan terkekangnya kebebasan berprinsip dari pihak lain, melainkan lebih kepada rasa toleransi dari kedua belah pihak demi terjalinnya kebersamaan yang lebih harmonis. Karena perbedaan itu ada justru agar kita bisa lebih memahami serta mengembangkan sikap toleransi terhadap sesama. Dengan memahami perbedaan yang ada dalam diri orang lain maka akan semakin memperkaya diri kita sebagai seorang individu. Ya, perbedaan itu memang indah. :)

Inti yang bisa saya tangkap dari film ini adalah tentang kebersamaan, yang sudah jelas tersirat melalui judulnya. Isu tersebut tentunya tidak akan lengkap jika tidak menyinggung isu lainnya yang berlawanan, yaitu tentang kesendirian. Keadaan ini digambarkan melalui tokoh Rolf. Sifatnya yang temperamen serta hobinya mabuk-mabukan membuat ia dicampakkan istri dan kedua anaknya. Sepeninggal keluarganya, ia mulai merasakan arti kesendirian. Ia membagi rasa kesepiannya dengan seorang kakek yang merasakan hal yang sama sepeninggal istrinya. Dari percakapan mereka tergambar bahwa kesendirian itu menyakitkan. Bahwa hal yang terpenting adalah kebersamaan.

"You could say that we are like porridge. First we're like small oat flakes - small, dry, fragile, alone. But then we're cooked with the other oat flakes and become soft. We join so that one flake can't be told apart from another. We're almost dissolved. Together we become a big porridge that's warm, tasty, and nutritious and yes, quite beautiful, too. So we are no longer small and isolated but we have become warm. soft, and joined together. Part of something bigger than ourselves. Sometimes life feels like an enormous porridge, don't you think? Sorry, I'm standing around dreaming." Wow, metafora yang brilian! Let's say, life is like a bowl of porridge. Did you ever hear that somewhere? Hahaha. Kalimat yang diucapkan Goran tersebut sudah merangkum apa yang ingin disampaikan melalui film ini.

Dengan jumlah tokoh yang banyak, tentunya agak sulit untuk memberikan pengembangan yang baik bagi tiap karakternya. Tapi, menurut saya Moodysson cukup berhasil untuk membuat tiap karakternya terlihat menonjol walaupun dengan screentime yang terbatas. Dan semua karakter disini terasa nyata, bukan hanya karakter dua dimensi tanpa nyawa yang hanya bertindak sebagai pelengkap saja. Semua memiliki peran masing-masing, dengan karakterisasi yang unik, Kredit tentunya juga patut diberikan untuk para aktor aktrisnya yang mampu membawakan tiap karakternya dengan baik. Nice ensemble cast!

Gambar yang ditampilkan cenderung grainy, hampir sama seperti film Moodysson sebelumnya, Show Me Love. Uniknya, hal ini justru jadi lebih menambah kesan realisme yang hendak disampaikan. Itulah keunggulan karya-karya Moodysson—apa yang ditampilkan di layar terasa nyata, terutama karakterisasi tokoh-tokohnya. Dengan segala keunggulan tersebut, dua film pertamanya secara resmi ikut mengisi daftar panjang film-film favorit saya. Sekarang saya pun semakin penasaran dengan karya berikutnya dari seorang Lukas Moodysson.

8/10

No comments:

Post a Comment