Monday, November 22, 2010

Harry Potter And The Deathly Hallows : Part 1 (2010)

Genre : Action/Adventure/Fantasy/Mystery

Pemain : Daniel Radcliffe, Rupert Grint, Emma Watson, Ralph Fiennes, Helena Bonham Carter, Bill Nighy, Rhys Ifans, Alan Rickman, Jason Isaacs, Imelda Staunton

Sutradara : David Yates

Penulis : Steve Kloves (screenplay), J.K. Rowling (novel)

Distributor : Warner Bros. Pictures

Durasi : 146 menit

MPAA : Rated PG-13 for some sequences of intense action violence, frightening images and brief sensuality



MAY CONTAIN SPOILER

Harry Potter. Sepintas tampak tidak ada yang istimewa dengan nama tersebut, bahkan akan terasa lucu jika kita iseng menerjemahkan nama belakangnya ke dalam Bahasa Indonesia. Namun kenyataannya, nama itulah yang membuat banyak orang di berbagai belahan dunia tersihir selama lebih dari satu dekade. Melalui kisah petualangannya yang ditulis oleh seorang wanita berkebangsaan Inggris bernama J.K. Rowling, nama Harry Potter berubah menjadi sebuah fenomena yang mengguncang dunia literatur dan sinema. Kisah klasik bertema good vs evil dalam balutan unsur magis yang ada dalam Potter universe ini memang pantas dicintai banyak orang. Selain kisahnya yang kaya dan menghibur, Rowling juga berhasil membentuk ikatan kuat antara pembaca dengan karakter-karakter yang ada dalam novel seri rekaannya ini. Tidak terhitung berapa banyak fans yang dengan setia mengikuti sepak terjang Harry dan kawan-kawan dari awal sampai konfrontasi final melawan Lord Voldemort beserta pasukan Death Eaters-nya. Para pembaca (dan penonton) tidak akan sampai sejauh ini jika tidak ada ikatan emosi antara mereka dengan karakter-karakternya. Inilah kehebatan franchise Harry Potter. Fakta bahwa kisah ini hampir berakhir (untuk versi filmnya) tentu akan menjadi sebuah momen penting bagi para fans setianya. Dan saya adalah salah satunya.

Mengabaikan fakta bahwa banyak orang yang sudah mengetahui akhir kisahnya (cerita berakhir di novel ke-7 yang terbit di tahun 2007 lalu), instalmen terbaru dari versi layar lebarnya saya yakini masih sanggup memancing rasa penasaran. Bukan kepenasaran akan ceritanya tentu saja, melainkan visualisasi yang ditampilkan. Dengan jumlah fans yang tak terhitung banyaknya, tekanan untuk menghasilkan visualisasi yang sesuai dengan ekspektasi mereka tentunya semakin besar. Beban ini kembali ditanggung oleh David Yates, sutradara yang sebelumnya sudah berpengalaman menggarap seri Harry Potter ke-5 dan ke-6. Di tangannya, saya akui bahwa franchise ini semakin matang, di luar konten ceritanya yang memang semakin gelap dan dewasa. Kembalinya Yates untuk menangani seri pamungkasnya semakin membuat saya optimis bahwa instalmen ini sudah berada di tangan yang tepat. Keputusan Warner Bros. untuk membagi film terakhir ini menjadi dua bagian juga semakin membuat saya gembira. Motivasi ekonomi mungkin menjadi salah satu penyebabnya, namun saya tidak terlalu ambil pusing. Dan setelah menyaksikan hasil akhir dari bagian pertama ini, saya menyadari bahwa pembagian tersebut adalah keputusan yang sangat tepat. Sebuah tribute bagi para fans setianya.

Franchise Harry Potter dikenal memiliki cerita yang kompleks dan semakin kelam dari seri ke seri. Setelah nuansa hangat dan ceria disajikan Chris Columbus dalam dua instalmen awalnya, cerita berubah menjadi lebih kelam dan dewasa di seri ke-3. Selain materi awalnya yang memang seperti itu, penggantian posisi sutradara juga cukup berpengaruh. Sejak film ke-3 itulah, franchise ini semakin konsisten menjaga kekelaman alur cerita serta atmosfer yang dihadirkan. Harry Potter And The Deathly Hallows : Part 1 menurut saya adalah yang paling gelap dan mencekam dibanding film-film sebelumnya. Dari awal film saja, atmosfer kelam sudah mulai terasa (logo Warner Bros. yang pelan-pelan hancur berkarat sangat simbolik).

Dunia sihir sedang memasuki masa-masa kegelapan. Teror yang disebarkan Lord Voldemort (Ralph Fiennes) bersama pasukan Death Eaters-nya semakin meluas. Kementrian Sihir sudah diambil alih, fasisme merajalela. Bagai Hitler dengan Nazi-nya, Voldemort beserta pasukan Death Eaters-nya memegang kendali penuh atas komunitas sihir. Rasa aman dan nyaman sudah menjadi barang langka, terutama bagi para Muggle-born (keturunan manusia non-penyihir). Monumen "Magic Is Might" yang berdiri kokoh di atrium Kementrian Sihir semakin menegaskan betapa mengerikannya rezim baru ini.

Kehadiran sosok Harry Potter (Daniel Radcliffe) bagaikan sebuah cahaya terang di tengah kegelapan yang sedang melanda dunia sihir. Dia adalah anak yang berhasil bertahan hidup dari kutukan maut Voldemort. Dialah Sang Terpilih. Kali ini, rintangan yang harus dihadapi Harry dalam usahanya mengalahkan Voldemort semakin berbahaya. Sepeninggal Albus Dumbledore, Hogwarts bukan lagi tempat paling aman untuk berlindung dari serangan Voldemort dan Death Eaters. Kini, Harry harus menghadapi tantangan nyata di dunia luar, jauh dari kenyamanan Hogwarts dan perlindungan guru-gurunya. Bersama dua sahabat setianya—Ron Weasley (Rupert Grint) dan Hermione Granger (Emma Watson), Harry melanjutkan misi yang diwariskan Dumbledore, yaitu menemukan dan menghancurkan sisa Horcrux (kepingan jiwa) Voldemort yang masih tersebar di berbagai tempat. Dalam menjalankan misi ini, mereka juga menemukan fakta tentang keberadaan tiga benda keramat yang dijuluki The Deathly Hallows. Ketiga benda tersebut jika disatukan konon akan membuat pemiliknya memiliki kekuatan tak terbatas.

Tidak seperti enam instalmen sebelumnya dimana kastil Hogwarts selalu dijadikan setting utama, kali ini sekolah sihir tersebut tidak diperlihatkan sama sekali. Perjalanan trio Harry-Ron-Hermione yang selalu berpindah-pindah lokasi membuat film ini lebih terkesan seperti road movie. Absennya Hogwarts sebagai setting juga membuat film ini memiliki feel yang berbeda dibandingkan film-film sebelumnya. Lebih liar, berbahaya, sekaligus emosional.

Salah satu keuntungan dari dibaginya film terakhir ini menjadi dua bagian yaitu semakin leluasanya cerita untuk bergerak. Perlahan namun pasti, menurut saya pace-nya sudah sangat pas. Steve Kloves berhasil menyusun skrip yang tetap setia dengan sumber aslinya namun juga tidak ragu untuk sedikit berimprovisasi. Adegan Harry menghibur Hermione dengan mengajaknya berdansa diiringi lagu O Children yang dibawakan Nick Cave sungguh suatu kejutan yang sangat manis. Nice job, Kloves!

Ruang gerak yang luas dalam ceritanya juga memberi kesempatan lebih untuk pendalaman karakter, terutama karena disini fokus utamanya memang terletak pada perkembangan hubungan antara tiga tokoh utamanya. Pendalaman karakter yang baik tentu bergantung juga pada penjiwaan tiap aktor-aktrisnya dalam memainkan peran masing-masing. Tanpa ragu saya katakan bahwa Radcliffe, Grint, dan Watson telah mempersembahkan performa terbaik mereka disini. Setelah hampir satu dekade, sangat terlihat bahwa mereka bertiga semakin melebur dengan karakter masing-masing. Yang paling menonjol menurut saya adalah Emma Watson. Ia bersinar di setiap kemunculannya. Opening scene dimana ia diperlihatkan harus menghapus ingatan orangtuanya terasa begitu emosional. It's one of the most heartbreaking scenes I've ever scene. Singkat tapi memorable. Untuk pemeran pendukung lainnya yang banyak diisi oleh aktor veteran Inggris, saya rasa tidak perlu ditanya lagi. Walaupun kebanyakan dari mereka hanya tampil singkat, namun performanya tetap prima. Sungguh ensemble cast yang mengagumkan.

Dari sisi teknis, sinematografi garapan Eduardo Serra sangatlah indah dan memanjakan mata. Keberaniannya dalam menggunakan teknik hand-held camera di beberapa adegan patut diapresiasi. Adegan kejar-kejaran antara trio tokoh utama kita dengan para Snatchers sukses memompa adrenalin. I love that scene! Warna-warna yang ditampilkan cenderung gelap, sesuai dengan mood film. Score karya Alexander Desplat juga semakin memperkaya adegan demi adegannya. Suatu keputusan tepat untuk melibatkan komposer ini dalam proyek sekelas Harry Potter. Film sebusuk New Moon saja jadi terkesan lebih elegan berkat komposisi musik gubahannya.

David Yates memang memberi bobot lebih pada unsur drama dalam instalmen terbaru ini, namun bukan berarti ia melupakan unsur hiburannya. Selipan humor segar di beberapa adegan berhasil mengundang tawa. Lalu action sequences yang ada juga digarap dengan dengan baik—seru sekaligus mencekam di beberapa bagian. Oh ya, jangan lupakan adegan yang menjelaskan tentang legenda The Deathly Hallows. Sequence ini dipresentasikan dalam animasi berupa siluet dengan latar belakang kecoklatan. Indah sekaligus memancarkan daya magis yang begitu kuat.

Menurut saya, inilah adaptasi terbaik dari keseluruhan film Harry Potter yang pernah dirilis. Sangat terlihat kerja keras Yates beserta krunya dalam upaya menghadirkan yang terbaik bagi para fans setia franchise ini. J.K. Rowling patut berbangga karena karyanya ditangani dengan penuh respek oleh Yates dan krunya. Sebuah awal yang baik untuk mengakhiri kisah yang begitu dicintai orang banyak. Saya sendiri sebagai fanboy (yeah, I'm proud of it!) tentu sangat tidak sabar untuk menunggu kisah pamungkasnya musim panas nanti. Please, don't let me down, Yates!

Long live Harry Potter.

R.I.P. Dobby the Free House Elf

Rating : 9/10

Monday, November 15, 2010

Winter's Bone (2010)

Genre : Drama/Mystery/Thriller

Pemain : Jennifer Lawrence, John Hawkes, Garret Dillahunt, Lauren Sweetser, Dale Dickey, Shelley Waggener

Sutradara : Debra Granik

Penulis : Debra Granik & Anne Rosellini (screenplay), Daniel Woodrell (novel)

Distributor : Roadside Attractions

Durasi : 100 menit

MPAA : Rated R for some drug material, language and violent content


"I got two kids that can't feed themselves yet. My mom's sick, and she's always gonna be sick. Pretty soon the laws are coming and taking our house... and throwing us out to live in the field like dogs."
-Ree-

Ketika seseorang dihadapkan pada kondisi serba tertekan, terkadang secara tak terduga ia akan mengeluarkan potensi dalam dirinya yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Saya sendiri juga pernah mengalami kejadian seperti itu. Misalnya tahun lalu, saat saya berada di penghujung semester akhir perkuliahan dimana tekanan untuk menyelesaikan tugas akhir semakin bertubi-tubi. Dengan waktu yang semakin sempit (berbanding terbalik dengan bertumpuknya materi yang masih perlu diselesaikan), tentunya saya terpacu untuk secepat mungkin menyelesaikan tugas tersebut. Dan ajaibnya, hanya dalam waktu beberapa hari semua dapat terselesaikan. Meskipun tidak aneh jika hasilnya mungkin kurang maksimal. Yang penting kan beres, soal banyaknya revisi mah urusan nanti (pola pikir mahasiswa pemalas). Maaf jika ini jadi terkesan seperti ajang curhat dengan sampel yang tidak patut ditiru. Poinnya, setiap orang memiliki potensi terpendam dan besar kemungkinan semua itu akan benar-benar tampak saat ia berada dalam situasi sulit, imo.

Korelasi antara ocehan saya di atas dengan film berjudul Winter's Bone ini yaitu situasi serba sulit yang juga dialami oleh tokoh utamanya, Ree Dolly (Jennifer Lawrence). Ree adalah seorang gadis remaja 17 tahun yang hidup di lingkungan terpencil di pegunungan Ozark, Missouri. Dengan usianya yang masih belia, ia harus menjadi tulang punggung bagi kedua adiknya yang masih kecil dan juga ibunya yang tidak bisa berbuat apa-apa dengan kondisi mentalnya. Tunggu, kemana perginya sang ayah yang seharusnya bertindak sebagai kepala keluarga? Itulah pemicu rentetan masalah yang akan dihadapi Ree nanti. Ayahnya—Jessup Dolly, dikenal sebagai "peracik" methamphetamine (sejenis drugs) yang saat ini sedang menjadi buronan pihak kepolisian. Parahnya, ia menjadikan rumah dan semua aset miliknya sebagai jaminan. Jika ia tidak muncul dalam persidangan di minggu berikutnya, keluarganya terpaksa harus kehilangan tempat tinggal. Demi kelangsungan hidup keluarganya, Ree bertekad menemukan sang ayah walau seberat apapun resiko yang mesti ditanggungnya kelak.

Pencarian yang dilakukan Ree tentu tidaklah mudah. Dengan lingkungan yang masih menganut paham patriarki serta ikatan kelompok yang kuat, keingintahuan Ree justru memposisikan dirinya serta keluarganya dalam bahaya. Ree mendatangi setiap orang yang ia yakini pernah berhubungan dengan ayahnya, dan ini tentu saja membuat dirinya seolah hadir sebagai pengganggu. Ekstrimnya, pencarian yang ia lakukan bagaikan sebuah misi bunuh diri yang sudah jelas hasil akhirnya. Namun dengan modal keberanian dan kegigihannya, apakah masih ada harapan bagi Ree untuk dapat menemukan ayahnya? Dalam melalui kesulitan ini, untungnya dia tidak sendiri. Masih ada Gail (Lauren Sweetser), sahabat karibnya yang selalu mendukungnya. Selain itu masih ada pamannya, Teardrop (John Hawkes)—drug-addict yang awalnya menentang Ree untuk ikut campur dalam urusan yang seharusnya ditangani sendiri oleh ayahnya. Namun, pada akhirnya ia pun bersedia membantu mencari informasi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa aura yang dibawa film ini begitu kelam dan cenderung depresif. Dengan setting di daerah terpencil yang tampak seperti area post-catastrophe, mood film ini memang dijaga agar tetap terasa kekelamannya. Michael McDonough—sang cinematographer, juga ikut andil dalam membangun mood film dengan gambar-gambar yang cenderung ber-tone gelap. Terkesan dingin, namun indah untuk dipandang. Sepanjang film, adegan-adegannya sepi dari musik latar. Namun bukan berarti film ini total mengabaikan musik pengiring. Meskipun kemunculannya minim, namun score garapan Dickon Hinchliffe mampu mengisi tiap adegannya dengan baik. Jangan lupakan sisipan lagu-lagu beraliran bluegrass dengan vokal menawan dari Marideth Sisco yang ikut muncul dalam salah satu adegan. Kehadiran lagu-lagu yang menyejukkan hati ini mengimbangi kelamnya tone film.

Debra Granik—sang sutradara sekaligus penulis naskahnya (bersama Anne Rosellini), berhasil mengadaptasi novel karya Daniel Woodrell menjadi sebuah film yang memikat—mencekam namun sekaligus memancarkan optimisme. Granik patut diberi kredit tersendiri berkaitan dengan keseriusannya dalam mengerjakan proyek ini. Konon ia menghabiskan waktu sekitar dua tahun untuk mengobservasi kehidupan masyarakat di Ozark demi keotentikan film ini nantinya. Dan kerja kerasnya terbukti membuahkan hasil yang maksimal. Meskipun saya tidak pernah tinggal di Ozark (bahkan nama daerah ini pun baru saya dengar melalui film ini), namun saya cukup yakin bahwa apa yang ditampilkan Granik disini adalah gambaran dari realita yang ada. Potret kehidupan masyarakat miskin di pinggiran Amerika ini mampu melibatkan emosi saya sebagai penonton tanpa terkesan manipulatif. Semuanya tampak natural.

Kesan realisme yang timbul juga tidak lepas dari peran para aktor dan aktrisnya yang berhasil menghidupkan masing-masing karakternya dengan meyakinkan. Sebagai Teardrop—paman Ree yang pecandu obat dan temperamental, John Hawkes sukses menampilkan permainan memukau. Ia mampu mengesankan sifat antagonis di awal kemunculannya yang pada akhirnya berubah simpatik. Selain Hawkes, pemeran pendukung lainnya juga menampilkan performa yang meyakinkan, mulai dari Dale Dickey, Lauren Sweetser, sampai pemeran kedua adik Ree yang membawa keceriaan tersendiri melalui kepolosan mereka. Namun tentu saja bintang dalam keseluruhan film ini adalah Jennifer Lawrence sebagai Ree Dolly, sang tokoh utama penggerak cerita. Lawrence memancarkan pesona natural yang membuat kehadirannya di layar begitu mencuri perhatian. Kekuatan dan keberanian seorang gadis remaja dalam menghadapi berbagai kesulitan nampak jelas melalui karakternya, namun di sisi lain ia juga rapuh. Salah satu scene di tengah hutan saat Ree meminta nasehat pada ibunya sangatlah emosional. Di titik ini penonton dibuat tersadar bahwa dibalik sosok tegar itu, Ree tetaplah seorang remaja yang membutuhkan topangan. Lebih jelasnya, ia membutuhkan figur orangtua yang layak. Tidak diragukan lagi, ini adalah peran yang akan meroketkan nama Jennifer Lawrence dan membuatnya menjadi salah satu komoditi panas di kancah perfilman Hollywood.

Kesuksesan feature film kedua arahan Debra Granik ini di event Sundance Film Festival beberapa waktu lalu tidaklah mengherankan mengingat kualitasnya yang sangat prima. Tidak mengherankan juga jika film ini nantinya menjadi primadona di ajang penghargaan paling bergengsi di Hollywood—Academy Awards. Jennifer Lawrence jelas harus mendapatkan setidaknya nominasi sebagai Aktris Terbaik. Di luar potensinya dalam menarik perhatian berbagai ajang penghargaan, film ini memang sangat patut diapresiasi oleh para penikmat film. Salah satu drama terbaik yang menggambarkan realita kehidupan dengan jujur dan apa adanya. Definitely worth watching!

Rating : 9/10

Wednesday, November 10, 2010

The Brood (1979)

Genre : Horror/Sci-Fi

Pemain : Art Hindle, Samantha Eggar, Oliver Reed, Cindy Hinds, Nuala Fitzgerald, Harry Beckman

Sutradara : David Cronenberg

Penulis : David Cronenberg

Distributor : New World Pictures

Durasi : 92 menit




"Thirty seconds after you're born you have a past and sixty seconds after that you begin to lie to yourself about it."

-Juliana-

David Cronenberg. Mendengar nama itu, tiba-tiba langsung terlintas di benak saya poster film Eastern Promises. Kenapa harus film itu? Karena itulah satu-satunya film beliau yang familiar bagi saya, padahal saya sendiri pun belum sempat menontonnya (I'm not kidding). Anyway, posternya keren, maka dari itu image-nya masih melekat di benak saya. Oke, saya tidak akan membahas film tersebut lebih lanjut, melainkan karya Cronenberg di paruh awal karirnya. Cronenberg dikenal sebagai salah satu sutradara penghasil film-film yang memiliki istilah body horror ataupun biological horror. Sesuai namanya, film jenis ini menempatkan tubuh (manusia) sebagai pemicu nuansa horornya. Virus, mutasi, sampai peletakan anggota tubuh yang abnormal adalah beberapa contoh isu yang diangkat dalam sebuah body horror.

Sekilas dari premisnya, The Brood tampak seperti sebuah film horor yang memasang sosok anak kecil sebagai penebar terornya. Cukup dengan premis seperti itu, saya langsung tertarik untuk menyantap film ini. Entah mengapa, film horor dengan tema evil child atau disturbed child seperti ini memiliki daya tarik tersendiri bagi saya. The Omen dan Orphan adalah 2 contoh film yang menawarkan tema tersebut dan berhasil memikat atensi saya. Bahkan film busuk berjudul Case 39 pun terasa cukup menghibur berkat performa apik Jodelle Ferland—satu-satunya aktris dengan akting paling meyakinkan disitu (sorry Zellweger, this time you suck).

The Brood menandai perkenalan saya dengan film-film besutan Cronenberg dan ternyata film ini bukan hanya sebuah pertunjukan penuh teror yang datang dari sesosok anak kecil. Ini adalah sebuah karya yang sangat personal bagi Cronenberg karena bisa dibilang cerita dalam film ini merupakan refleksi dari tragedi di kehidupan pribadinya. Saat itu beliau sedang menghadapi perceraian sekaligus perebutan hak asuh putrinya. Dalam filmnya ini, isu perceraian dan hak asuh anak juga dikemukakan, dengan tambahan isu lain mengenai child abuse, trauma masa lalu, sampai sebuah terapi non-konvensial yang disebut psychoplasmic. Semua itu dibungkus dalam sajian horor penuh misteri dengan sebuah twist di akhir.

Psychoplasmic—sebuah metode terapi yang begitu asing di telinga saya. Entah memang nyata atau hanya fiksi belaka, dalam film ini digambarkan bahwa metode tersebut adalah sebuah jalan bagi seseorang (pasien) untuk mengeluarkan semua emosi negatif yang ia pendam dengan efek samping berupa timbulnya suatu bekas pada tubuhnya (semacam luka, bisul, ataupun "jejak-jejak" lainnya). Dr. Hal Raglan (Oliver Reed)—seorang psikiater sekaligus penulis buku The Shape Of Rage yang menerapkan metode tersebut pada pasiennya. Salah seorang pasiennya bernama Nola Carveth (Samantha Eggar) yang sedang melalui masa-masa sulit pasca perpisahan dengan suaminya, Frank (Art Hindle) dan juga putri semata wayangnya, Candice (Cindy Hinds). Bermula dari kecurigaan Frank terhadap Nola yang diyakini pernah menyakiti Candice secara fisik, berbagai pembunuhan sadis mulai terjadi di sekitarnya. Diketahui kemudian bahwa pelakunya adalah sesosok makhluk kecil bertudung. Sementara itu, Frank tetap bersikeras mempertahankan putrinya dan menjauhkannya dari Nola sekaligus mengungkap misteri yang ada di tubuh Somafree—institusi psychoplasmic milik Dr. Raglan.

Kramer vs Kramer versi horor, itulah pendeskripsian Cronenberg untuk film garapannya ini. Pernyataan tersebut memang cukup tepat mengingat kedua film tersebut sama-sama menggambarkan kasih sayang seorang ayah serta perjuangannya untuk mempertahankan hak asuh atas anaknya. Namun, tidak ada courtroom scene penguras emosi di sini. Yang bisa anda saksikan adalah sesi terapi yang mengeksplor berbagai emosi negatif dalam diri manusia, seperti rasa dendam, amarah, sampai keinginan untuk membunuh. Dan layaknya Kramer vs Kramer, film ini juga didukung jajaran pemain yang berperan dengan sangat baik. Performa paling menonjol dihadirkan oleh Oliver Reed dan Samantha Eggar. Sebagai Dr. Raglan, Reed berhasil menampilkan karakter misterius yang penuh ambiguitas. Sulit menerka apakah ia memang benar tokoh villain atau bukan. Samantha Eggar juga bermain dengan gemilang sebagai Nola—seorang istri dan ibu yang depresif. Ia berhasil mengeluarkan aura mengerikan dengan kelabilannya, namun sekaligus menimbulkan rasa simpati pada penonton. Secara keseluruhan, ensemble cast-nya tampil meyakinkan.

Sebagai sebuah film horor, saya akui film ini berhasil memberikan aura mencekam secara efektif. Beberapa adegannya sempat membuat bulu kuduk saya berdiri, terutama adegan menjelang akhir film yang cukup mencengangkan. It's one of the best "what the fuck moments" I've ever seen. Adegan apa? Saya tidak akan mengobral spoiler, thanks. Feel horor yang ada semakin dipertegas dengan music score garapan Howard Shore—komposer peraih Oscar melalui karya fenomenalnya dalam trilogi The Lord Of The Rings. The Brood menjadi awal dari kerjasama berkelanjutan antara Howard Shore dengan David Cronenberg. Setelah film ini, semua film Cronenberg diisi dengan music score gubahan Shore, kecuali satu film berjudul The Dead Zone.

Dengan semua komponennya yang menarik, mulai dari naskah, deretan pemain, sampai berbagai hal teknisnya, film ini berhasil masuk ke dalam list film-film favorit saya. Walaupun alurnya cenderung lambat, semuanya dibayar tuntas dengan eksekusinya yang berkesan secara keseluruhan. Highly recommended.

Rating : 8/10