Thursday, August 21, 2008

Wall-E (2008)

Genre: Animation/Adventure/Comedy/Drama/Family/Romance/Sci-Fi

Pengisi Suara : Ben Burtt, Elisa Knight, Jeff Garlin, Fred Willard, John Ratzenberger, Kathy Najimy, Sigourney Weaver

Sutradara : Andrew Stanton

Penulis : Andrew Stanton, Jim Reardon, Pete Docter

Produser : Jim Morris, Lindsey Collins, John Lasseter

Distributor : Walt Disney Pictures

Durasi : 98 menit

"After 700 years of doing what he was built for - he'll discover what he's meant for."


Sejak kemunculan Toy Story sampai saat ini, film animasi buatan Pixar selalu
menarik perhatian saya. Yang membuat saya salut, mereka selalu bisa merubah sebuah ide sederhana bahkan yang awalnya terdengar konyol (tikus bisa masak? hello...?) menjadi suatu tontonan yang luar biasa. Dan ternyata rata-rata film produksi Pixar selalu sukses baik secara finansial maupun kualitas. Itulah yang membuat saya tertarik untuk menonton film ini. Sebenarnya, saya tidak berharap terlalu banyak karena belum lama ini saya baru menyaksikan kehebatan animasi terbaru Dreamworks, Kung Fu Panda, yang sangat menghibur. Saya sempat sangsi kalau film ini bisa menyajikan sebuah hiburan yang melebihi performa rival-nya tersebut. Tapi saya selalu berpikir, "ini film Pixar loh, apa sih yang nggak mungkin?"

Seperti biasa, film animasi Pixar selalu dibuka dengan film animasi pendek yang ceritanya tidak berhubungan dengan film bersangkutan. Film pembuka kali ini berjudul Presto. Saya tidak akan membahas lebih lanjut, tapi yang pasti film pendek ini benar-benar lucu dan menghibur. Bisa diibaratkan sebagai appetizer yang merangsang saya untuk melahap hidangan utamanya.

Lalu dibukalah film ini dengan pemandangan yang sangat mencengangkan. Seluruh permukaan bumi tertutup oleh sampah yang menggunung (adegan ini cukup membuat saya merinding, akan seperti inikah nasib bumi kita ke depan?). Kemudian muncul sebuah robot yang sedang membersihkan sampah-sampah tersebut, membentuknya menjadi kotak-kotak, dan menumpuknya sehingga tampak lebih tertata (beside the fact that they still trash). Dialah Wall-E, robot yang diperintah untuk membersihkan bumi dari sampah yang sudah overload sehingga tidak layak lagi untuk dihuni manusia.

Wall-E adalah satu-satunya robot yang masih bekerja ketika robot-robot lain sudah berhenti beroperasi dan seluruh manusia dievakuasi ke sebuah pesawat luar angkasa. Ternyata, Wall-E memiliki perasaan layaknya seorang manusia. Hari-harinya yang sepi ia lalui dengan membersihkan dan mendaur ulang sampah. Beberapa "sampah" yang menurutnya menarik ia kumpulkan untuk dikoleksi. Teman satu-satunya adalah seekor kecoak yang selalu setia menemani kemanapun ia pergi.

Suatu hari, saat sedang menjalani rutinitasnya, tiba-tiba muncul sebuah kapsul luar angkasa. Dari dalamnya muncul sebuah robot bernama EVE. Penampilan EVE yang menarik membuat Wall-E jatuh cinta. Dengan kepolosannya, Wall-E berusaha menarik perhatian EVE yang menanggapinya dengan cuek. Tapi lama kelamaan mereka pun semakin akrab, dan ketika tiba saatnya EVE untuk kembali ke luar angkasa karena tugasnya sudah selesai, Wall-E mengikutinya dengan "menumpang" pesawat yang membawa EVE.

Sesampainya di sebuah pesawat luar angkasa raksasa, Wall-E melihat pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Teknologi canggih serta pelayanan penuh para robot membuat manusia yang menghuni pesawat tersebut berubah menjadi makhluk pemalas dengan kondisi yang mengenaskan (baca : super gemuk). Bahkan mereka tidak tahu bumi itu seperti apa. Dengan sepucuk tanaman yang dibawa EVE dari bumi, kesempatan umat manusia untuk kembali ke bumi semakin terbuka. Tapi ternyata, ada pihak yang tidak menginginkan manusia kembali ke bumi. Dengan bantuan sang kapten pesawat beserta para robot lainnya, Wall-E dan EVE berusaha agar manusia bisa kembali ke bumi dan mengembalikan keadaan bumi seperti semula.

Di luar dugaan, Wall-E jauh melebihi ekspektasi saya. Inilah sebuah masterpiece terbaru dari Disney-Pixar dan merupakan karya terbaik dari kolaborasi mereka sejauh ini. Pesan tentang kepedulian lingkungan sangat jelas tergambar tanpa terkesan menggurui. Pemandangan bumi yang cukup mengerikan (sampah yang menjulang tinggi bak gedung pencakar langit, plus langit yang selalu terlihat gelap karena lapisan atmosfer sudah tertutupi "sampah-sampah" luar angkasa) dapat membuat kita sadar bahwa bumi kita sedang mengalami krisis yang sangat serius. Bukan tidak mungkin penggambaran di film ini suatu saat dapat terjadi. Ketergantungan manusia terhadap teknologi juga tergambar jelas dan yang pasti membuat saya tertohok. Meskipun belum separah itu, tapi saat ini gejala tersebut sudah mulai terlihat.

Kelebihan lain dari film ini terletak pada karakterisasinya. Walaupun tokoh utama kita ini tidak bisa berbicara (bunyi-bunyian ala robot tidak dihitung), hanya dari sorot mata dan
gesture-nya ia sudah berbicara banyak. Terutama saat Wall-E sedang jatuh cinta. Siapa sih yang tidak tersenyum, bahkan tertawa geli melihat kelakuan Wall-E saat berhadapan dengan EVE. Dan betapa bahagianya kita saat Wall-E akhirnya bisa akrab dengan EVE. Pixar benar-benar berhasil menciptakan satu lagi karakter yang mampu memancing emosi penonton dan pastinya memorable. Tidak berlebihan jika Wall-E disebut sebagai kandidat terkuat peraih Best Animated Feature di ajang Academy Awards tahun depan. Bahkan menurut saya film ini layak diperhitungkan untuk masuk nominasi Best Picture. Di luar itu, film ini adalah sebuah karya seni yang tak ternilai tanpa meninggalkan esensinya sebagai sebuah tontonan yang menghibur.

10/10

Monday, July 28, 2008

Definitely, Maybe (2008)

Genre : Comedy/Drama/Mystery/Romance

Pemain : Ryan Reynolds, Isla Fisher, Derek Luke, Abigail Breslin, Elizabeth Banks, Rachel Weisz

Sutradara : Adam Brooks

Penulis : Adam Brooks

Produser : Tim Bevan, Eric Fellner

Distributor : Universal Pictures

Durasi : 112 menit


Maya Hayes : "What's a threesome?"

Will Hayes : "It's a game, that adults play sometimes... When they're bored."
Maya Hayes : "...Whatever."

Saya tertarik untuk menonton film ini karena melihat berbagai review dari kritikus luar yang mayoritas positif plus premis cerita yang cukup menarik dan berbeda dibanding film komedi romantis pada umumnya. Sekilas, alur cerita film ini mirip dengan apa yang pernah ditampilkan di sitcom 'How I Met Your Mother'. Walau mungkin ide cerita film ini kurang orisinil, tapi keterlibatan aktor aktris yang cukup menjanjikan dalam proyek ini tentunya patut disimak.

Bercerita tentang seorang pria beranak satu—Will Hayes (Ryan Reynolds), yang pernikahannya sedang di ambang perceraian. Suatu malam, putrinya—Maya (Abigail Breslin) meminta Will untuk menceritakan kisah yang selama ini belum pernah ia ketahui, yaitu pertemuan ayah dan ibunya di masa lalu sampai akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Will yang semula enggan akhirnya bersedia menceritakan kisah tersebut dengan mengubah nama tiga wanita yang pernah mengisi masa lalunya agar Maya menebak siapa diantara ketiga wanita tersebut yang akhirnya menikah dengan ayahnya, yang tidak lain adalah ibunya.

Ketiga wanita tersebut diceritakan bernama Emily, Summer, dan April. Emily adalah teman sekampus Will sekaligus kekasihnya. Karir yang menjanjikan membuat Will pindah dari Wisconsin ke New York untuk mengikuti kampanye tim sukses Bill Clinton. Karirnya yang berkembang berbanding terbalik dengan kehidupan cintanya saat Emily mengaku berselingkuh dengan sahabat Will sendiri. Hubungan mereka akhirnya putus walaupun Will sudah terlanjur melamar Emily.

Kemudian ada Summer, seorang jurnalis yang merupakan sahabat Emily. Hubungan antara Will dan Summer awalnya hanya sebatas teman, tapi akhirnya mereka menjalin hubungan yang cukup serius. Bahkan, Will sempat bertunangan dengan Summer. Tapi hubungan mereka pun berakhir saat Summer melakukan sesuatu yang membuat karir Will terancam.

Terakhir ada April, seorang copy girl di tempat Will bekerja. Pembawaan April yang ceria dan cerdas membuat Will tertarik, meskipun hanya menganggapnya sebagai sahabat. Lama kelamaan April mulai menyadari bahwa orang yang selama ini dicintainya adalah Will. Tapi ia mengurungkan niat untuk menyatakan perasaannya karena saat itu Will akan bertunangan dengan Summer. Di lain waktu, saat Will juga mulai menyadari perasaannya terhadap April, ternyata gadis tersebut sudah menjalin hubungan dengan pria lain. Ditambah dengan kegundahan akan kelanjutan karirnya, Will mulai beralih menjadi peminum berat. Di saat ia memiliki kesempatan untuk menyatakan perasaannya pada April, Will malah mengacaukan segalanya dengan menyinggung perasaan gadis tersebut. Hubungan mereka pun akhirnya berantakan.

Dengan semua konflik dalam kehidupan percintaannya, siapakah akhirnya yang akan dipilih Will untuk menjadi istrinya? Bisakah Maya menebak siapa diantara ketiga wanita tersebut yang akhirnya menjadi ibunya? Yup, banyak pertanyaan yang membuat saya penasaran saat menonton film ini. Itulah keunikan dari film ini, sebuah komedi romantis yang menyimpan banyak misteri. Misterinya memang tidak akan membuat kita tegang layaknya menonton sebuah film horor, tapi pasti bikin geregetan. Rasa penasaran saya akan siapa wanita yang akhirnya menjadi istri Will memang terjawab, tapi ternyata bukan itu inti sebenarnya dari film ini. Menemukan orang yang tepat, itulah inti yang saya tangkap dari film ini. Pesan saya : mantapkan pilihan anda sebelum memutuskan untuk berumah tangga. LOL

Selain unsur misteri yang jarang ditemui di film romcom lain, performa para pemainnya yang apik juga cukup menarik perhatian saya. Interaksi antara Ryan Reynolds dan Abigail Breslin begitu enak disimak. Rachel Weisz, Elizabeth Banks, dan juga Isla Fisher memancarkan pesona aktingnya masing-masing, yang membuat karakter mereka tidak hanya muncul sebagai pemanis belaka. Didukung dengan naskah yang memuat dialog-dialog cerdas dan menggelitik, menjadikan film ini sebagai sebuah tontonan yang menghibur sekaligus berbobot. Sangat direkomendasikan bagi penikmat film komedi romantis, juga penikmat film pada umumnya yang mengharapkan sebuah tontonan yang segar dan berbeda.

8/10

The Dark Knight (2008)

Genre : Action/Crime/Thriller

Pemain : Christian Bale, Heath Ledger, Aaron Eckhart, Michael Caine, Gary Oldman, Morgan Freeman, Maggie Gyllenhaal

Sutradara : Christopher Nolan

Penulis : Christopher Nolan, Jonathan Nolan, David S. Goyer

Produser : Ch
ristopher Nolan, Charles Roven, Emma Thomas

Distributor : Warner Bros.

Durasi : 152 menit

The Joker : "Why so serious?"


Dengan kehadiran Batman Begins yang seolah memberi nyawa baru pada saga sang manusia kelelawar ini, membuat saya lupa akan ke-corny-an Batman & Robin. Di tangan Christopher Nolan, sosok Batman jadi lebih bisa diterima sebagai sosok superhero yang manusiawi. Pemilihan Christian Bale sebagai Bruce Wayne juga sangat cocok menurut saya. Jajaran supporting cast yang berkualitas seperti Michael Caine, Morgan Freeman, sampai Gary Oldman, juga patut diapresiasi. Cerita yang lebih gelap dan lebih real dibanding seri Batman sebelumnya, semakin menegaskan bahwa ini adalah franchise baru Batman yang lebih dewasa. Dengan pijakan awal yang sudah sangat mantap, masa depan franchise ini dijamin tidak bakal sesuram alur ceritanya.

Masih melanjutkan sepak terjang Bruce Wayne dengan alter-egonya— Batman dalam menumpas kejahatan di kota Gotham, film ini menjanjikan alur cerita yang lebih seru. Dibuka dengan adegan perampokan sebuah bank yang penuh tipu muslihat. Di akhir scene perampokan ini, penonton diperkenalkan pertama kali pada sosok The Joker (yang diperankan dengan gemilang oleh alm. Heath Ledger). Pertama kali melihat tampangnya, saya sudah merasakan kalau sosok Joker kali ini memang pantas disebut psycho. Hilang sudah imej komikal yang melekat dalam karakter Joker versi Jack Nicholson dulu. Ditambah dengan tingkah lakunya yang ajaib, lengkap sudah sosok villain yang ideal untuk membuat Batman kerepotan. Selain kehadiran Joker, para kriminal dan gangster yang sudah lama bersarang di Gotham juga semakin membuat sang manusia kelelawar ini gerah.

Selain beraksi dalam sosok Batman, ia juga mesti menjalani kehidupan "normal"nya sebagai Bruce Wayne. Hubungannya dengan teman masa kecilnya, Rachel Dawes (Maggie Gyllenhaal), mulai renggang. Rachel kini menjalin hubungan dengan Harvey Dent (Aaron Eckhart), seorang jaksa wilayah baru di Gotham. Melihat potensi yang dimiliki Harvey, Bruce (dalam sosok Batman) mengajaknya untuk bekerjasama dalam menumpas segala bentuk kejahatan di Gotham. Selain itu, Batman juga masih mendapat dukungan dari rekan-rekan lamanya, seperti Lt. James Gordon (Gary Oldman), Lucius Fox (Morgan Freeman), dan tak ketinggalan juga pelayan setianya Alfred (Michael Caine).

Wow! Setelah selesai menonton film ini, saya benar-benar kehilangan kata-kata. It's absolutely amazing! Jauh melebihi ekspektasi saya. Bukan hanya berhak mendapat predikat sebagai film superhero terbaik yang pernah dibuat, film ini juga secara resmi menjadi salah satu film terbaik yang pernah saya tonton. Dan kalau selama ini saya termasuk orang yang skeptis, bahwa sebuah film superhero (esp. from comic book) tidak akan pernah mungkin masuk nominasi Best Picture di ajang Academy Awards, maka anggapan tersebut sudah sirna sudah karena film ini memiliki kualifikasi untuk diperhitungkan di ajang tersebut. Dari mulai naskah yang semakin apik, penampilan ensemble cast-nya yang solid, sampai pada hal-hal teknisnya yang digarap dengan serius, menjadikan film ini sebagai m
asterpiece sekaligus pencapaian yang sangat tinggi dari seorang Christopher Nolan. Sutradara yang kerap membuat film-film bernuansa serius dan gelap ini berhasil menyajikan tontonan yang tidak hanya menghibur tapi juga berkualitas.

Dan yang patut diberi kredit tersendiri dalam film ini adalah penampilan dari Heath Ledger sebagai The Joker. Ledger yang harus meregang nyawa sebelum perilisan film ini, memberikan penampilan terakhirnya yang sangat jenius dan memorable. Dari mulai mimik wajah sampai gesture dan cara bicaranya benar-benar menghidupkan tokoh Joker. Saya cukup yakin kalau aktingnya disini akan mendapatkan banyak apresiasi dalam bentuk berbagai penghargaan, tidak terkecuali satu buah piala Oscar.

Overall, it's definitely a must see masterpiece. And it's one of my favourite movies of all time.

10/10

Friday, July 18, 2008

Step Up 2 The Streets (2008)

Genre : Drama/Music/Romance

Pemain : Briana Evigan, Robert Hoffman, Cassie Ventura, Adam G. Sevani

Sutradara : Jon Chu

Penulis : Toni Ann Johnson, Karen Barna

Produser : Patrick Wachsberger, Erik Feig, Adam Shankman, Jennifer Gibgot

Distributor : Summit Entertainment

Durasi : 98 menit



Moose : "Yeah, we're her crew
! We're getting ready to battle at the streets."
Felicia : "What street? Sesame Street?"


Dalam menonton sebuah film, biasanya saya mengharapkan alur cerita yang menarik untuk disimak. Tapi terkadang, alur cerita yang standard tanpa perkembangan yang menarik tidak begitu saya
permasalahkan selama film yang saya tonton punya faktor kuat yang layak disimak. Dan film ini ternyata masuk kategori tersebut.

Tokoh utama di film ini adalah Andie West (Briana Evigan), seorang remaja yang tergabung dalam kru penari jalanan 410 di Baltimore, Maryland. Ulah kru 410 yang sering membuat keributan di tempat umum membuat resah banyak pihak, termasuk Sarah (Sonja Sohn), orang yang selama ini bertanggungjawab mengurus Andie sejak ibunya meninggal. Dengan perilaku Andie bersama kru 410 yang dianggapnya sudah kelewatan, Sarah berniat mengirim Andie ke Texas untuk tinggal bersama bibinya. Tentu Andie menolak karena ia sudah menganggap kru 410 sebagai keluarganya sendiri.

Kesempatan untuk tetap tinggal di Baltimore akhirnya datang saat Andie bertemu kembali dengan Tyler Gage (Channing Tatum, tokoh utama di Step Up pertama), yang merupakan figur kakak bagi Andie. Ia menyarankan Andie untuk menyalurkan bakatnya di Maryland School of the Arts (MSA), tempat yang dulu berjasa merubah jalan hidup Tyler. Meski sempat menolak, akhirnya Andie menyetujui ide ini. Dengan bantuan Tyler, Andie berhasil meyakinkan Sarah agar ia diberi kesempatan untuk berubah dengan bersekolah di MSA.

Setelah mengikuti audisi, akhirnya Andie diterima di MSA. Hal ini ternyata tidak membuat hidup Andie semakin mudah. Justru ia harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang bertolak belakang dengan dunia yang selama ini ia jalani. Ia juga harus bisa menyesuaikan jadwalnya di MSA agar ia bisa tetap kumpul dengan kru 410, yang saat ini sedang giat-giatnya berlatih untuk menghadapi The Streets, sebuah ajang dance underground yang mempertemukan para street dancers di Baltimore untuk berkompetisi.

Jadwal tambahan di MSA membuat Andie sering terlambat latihan dan berdampak dengan didepaknya ia dari kru. Di tengah keputusasaannya, muncul Chase Collins (Robert Hoffman), yang menyarankan Andie untuk membentuk kru baru. Chase yang merupakan adik dari kepala sekolah MSA, sudah lama mengagumi bakat Andie sejak bertemu di sebuah dance clubThe Dragon. Dengan bantuan Chase, Andie berhasil merekrut siswa-siswa di MSA yang ternyata berbakat nge-dance. Pihak MSA yang melarang siswa-siswanya untuk mengikuti kompetisi ilegal membuat Andie bersama kru barunya harus berlatih secara sembunyi-sembunyi. Ditambah dengan sikap kru 410 yang seolah melarang Andie dan kru-nya mengikuti ajang The Streets, membuat perjuangan mereka semakin berat. Akankah mereka berhasil tampil di The Streets?

Dengan segala keklise-annya, surprisingly saya cukup terhibur dengan film ini. Gerakan tari yang lebih spektakuler dibanding film sebelumnya, otomatis jadi daya pikat utama dari film ini. Chemistry antara Briana Evigan dan Robert Hoffman juga enak dilihat, terutama saat mereka menunjukkan kebolehan masing-masing saat menari. Semua pemain pendukungnya yang memang jago nge-dance juga jadi poin plus film ini. Selain itu, musik yang didominasi oleh lagu-lagu yang sedang nge-hits juga menambah keasyikan film ini. Kesimpulannya, film ini berhasil lolos dari keterpurukan berkat jualan utamanya yang sangat menonjol. Memang terkesan segmented, tapi tampaknya saat ini masih banyak orang yang suka dengan jenis film yang mengutamakan nilai hiburan pop seperti ini, terutama anak muda yang merupakan pangsa pasar terbesar dari tontonan sejenis.

6/10

Tuesday, June 17, 2008

Indiana Jones And The Kingdom Of The Crystal Skull (2008)

Genre : Action/Adventure

Pemain : Harrison Ford, Ray Winston, Shia LaBeouf, Cate Blanchett, Karen Allen

Sutradara : Steven Spielberg

Penulis : David Koepp

Produser : Frank Marshall


Distributor : Paramount Pictures

Durasi : 122 menit




Marion Ravenwood : "
So, you still living in a trail of human wreckage or have you retired?"
Indiana Jones : "Why, you're looking for a date?"

Marion Ravenwood : "Anyone but you!"



Tidak terasa, perang film-film summer sudah sebulan jalan. Dan menurut saya, semua film summer yang sudah rilis rata-rata oke dari segi kualitas dan nilai hiburan. Tapi tidak seperti tahun lalu, sekarang saya agak malas untuk menyaksikan film summer saat premier-nya. Don't know why. Meski begitu, saya masih menyempatkan diri untuk menonton di bioskop walaupun kadang cuma sendirian yang ternyata justru lebih asik ketimbang nonton rame-rame (but it depends on my mood too).

Untuk film Indiana Jones yang ke-4 ini, saya cukup berharap banyak terhadap hasil akhirnya. Di luar fakta bahwa saya sama sekali belum pernah menonton ketiga film sebelumnya (pity, huh?), saya cukup yakin bahwa film ini bakal mempunyai kualitas lebih secara ada nama Steven Spielberg dan George Lucas yang mendalangi proyek ini. Dengan mengambil setting sekitar 19 tahun setelah film terakhirnya, Indiana Jones—yang akrab dipanggil Indy, kembali beraksi di layar lebar dengan tetap diperankan oleh Harrison Ford yang meskipun sudah tampak sekali ketuaannya tapi masih terlihat prima dan suka tidak suka ia lah ikon dari franchise ini.

Diceritakan Indy terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya di Marshall College karena tekanan pemerintah yang mencurigai aktifitasnya selama ini. Setelah keluar dari kampus, hasrat petualangannya semakin berkobar dan ia memutuskan untuk mengungkap kebenaran legenda The Crystal Skull of Akuator. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang pemuda yang juga berjiwa petualang bernama Mutt Williams (Shia LaBeouf). Akhirnya ia memutuskan untuk ikut mencari keberadaan Crystal Skull. Ternyata selain mereka, ada pihak lain yang menginginkan Crystal Skull tersebut yaitu agen-agen Soviet pimpinan Irina Spalko (Cate Blanchett). Secara tak terduga, Indiana bertemu kembali dengan mantan kekasihnya, Marion Ravenwood (Karen Allen) serta sahabatnya Mac (Ray Winstone) yang kesetiannya patut dipertanyakan. Dari sini, dimulailah aksi memperebutkan Crystal Skull tersebut.

Yang membuat saya heran, setelah wakru 19 tahun yang dibutuhkan untuk membangkitkan kembali franchise Indiana Jones, kenapa Spielberg dan Lucas memilih naskah se-usang ini? Padahal kabarnya mereka sempat gonta-ganti penulis naskah demi kesempurnaan cerita seri terbaru ini. Sumpah, satu jam pertama benar-benar membuat saya bosan. Walaupun dihadirkan cukup banyak adegan aksi termasuk di awal film, tapi tingkat keseruannya sama sekali tidak membuat saya excited. Dan di pertengahan film mulai diungkap apa sebenarnya Crystal Skull itu. Parahnya, itu malah membuat ketertarikan saya semakin berkurang dan semuanya jadi terkesan konyol. Bagi anda fans serial The X-Files, silakan bersorak, karena sepertinya film ini dibuat sebagai pemanasan untuk menyambut perilisan film The X-Files 2 bulan Juli nanti.

Performa yang paling menonjol tentunya datang dari Harrison Ford. Fisiknya yang semakin menua justru membuatnya semakin berkharisma. Salah satu aktris favorit saya—Cate Blanchett, meskipun tidak menampilkan akting terbaiknya tapi tetap memukau (notice her hair. Anton Chigurh should propose her!). Pemain lainnya menurut saya tidak begitu istimewa. Shia LaBeouf juga tampak lebih enjoy saat bermain di Transformers.

Terakhir, saya cuma ingin iseng mengomentari adegan menuju ending, saat kehancuran sebuah bangunan yang penting dalam cerita film ini. Adegan tersebut mengingatkan saya pada ending The Mummy Returns. Seingat saya, dulu franchise The Mummy sempat disebut sebagai Indiana Jones wannabe. Dan sekarang, wacana tersebut jadi terkesan ironis. Menonton film ini tidak ada bedanya dengan menonton film-film adventure kebanyakan seperti franchise The Mummy, Tomb Raider, ataupun National Treasure. Mungkin ini karena saya belum familiar dengan franchise Indy sehingga tidak ada keterkaitan emosi antara saya dengan kisahnya di film ini. Lain halnya dengan penonton yang sudah mengikuti sepak terjangnya dari awal yang mungkin akan merasakan nostalgia dengan kehadiran seri terbaru ini. Saya masih sedikit berharap, jika Spielberg merencanakan untuk membuat kelanjutannya semoga ia bisa menemukan naskah yang lebih segar dan bisa dinikmati oleh penonton baru sekalipun.

5/10

Sunday, April 6, 2008

Film Ter- di Tahun 2007

Selain menyusun list film-film terfavorit, saya juga punya list film-film ter- versi saya sendiri. Mungkin kategorinya rada-rada aneh dan sedikit maksa. But hey, I just wanna have fun guys!

1. Film Ter-Heboh : Transformers

Inilah satu-satunya film bioskop rilisan tahun kemarin yang sanggup membuat saya melongo saking kagumnya. Gila, efeknya super cool dengan detail yang mengagumkan terutama penggambaran transformasi robot-robotnya. Semua adegan action-nya benar-benar heboh plus berisik. Khas film-filmnya Michael Bay, heboh di action tapi minus di cerita. Tapi khusus untuk film ini sih sepertinya tidak perlu repot-repot mengkritik plotnya yang dangkal atau akting pemainnya yang biasa saja. Just grab your popcorn & enjoy this mindless blockbuster flick.

2. Film Ter-Ceria : Enchanted

Film yang cocok ditonton semua kalangan tanpa batasan usia dengan menghadirkan atmosfer ceria sepanjang film yang dijamin bakal terbawa sampai penonton keluar dari gedung bioskop. Film ini sekaligus menghadirkan nostalgia bagi penonton yang merindukan film-film animasi Disney klasik seperti Snow White, Cinderella, dll. Sang pemeran utama, Amy Adams, berhasil menghidupkan seorang tokoh kartun dan membawanya ke dunia nyata dengan gesture meyakinkan serta suaranya yang memikat. Ceritanya yang orisinil dan endingnya yang tidak biasa membuat film ini cukup berbeda dengan film-film Disney sebelumnya. Anda sedang stress? Coba tonton film ini.


3. Film Ter-Artistik : Across The Universe

Film yang berjasa membuat saya menjadi fans The Beatles. Memuat lagu-lagu The Beatles yang dinyanyikan ulang oleh para pemainnya hingga terdengar lebih fresh. Di luar itu, aspek yang cukup menonjol dari film ini adalah tata artistiknya yang jempolan. Menonton film ini bagaikan menyaksikan keindahan sebuah karya seni yang tak ternilai. Sungguh pengalaman luar biasa yang jarang saya dapatkan dari film lain. Meskipun plot yang ditawarkan cenderung biasa, tapi penggarapan yang apik dan faktor lagu The Beatles tadi membuat film ini begitu sayang untuk dilewatkan.

4. Film Ter-Tegang : No Country For Old Men

Inilah film yang sukses membangun tensi ketegangan dari awal sampai film berakhir. Hebatnya, film ini sama sekali tidak membubuhkan musik latar di sepanjang adegannya. Ketegangan yang dibangun murni muncul dari suasana yang dibangun, karakterisasi, serta alur cerita yang berjalan cepat. Javier Bardem, sang pemeran Anton Chigurh sukses besar menampilkan sosok antagonis yang sanggup meneror penonton hanya dengan ekspresi wajah dan aksinya yang spontan. Salut untuk Coen Brothers yang berhasil menerjemahkan novel karya Cormack McCarthy ini menjadi film yang luar biasa. Tapi sayang, endingnya yang terlalu tiba-tiba cukup membuat saya terganggu. Mungkin ini merupakan salah satu trademark Coen Brothers yang notabene karya-karyanya belum akrab di mata saya.

5. Film Ter-Seram : Norbit

Sungguh, tidak ada yang lebih menyeramkan di tahun kemarin selain menyaksikan Eddie Murphy dalam 3 wujud yang berbeda. Oke lah, dia sempat tampil gemilang di Dreamgirls kemarin. Tapi dengan tololnya, dia seolah mencoreng prestasinya tersebut dengan membintangi film ini. What the hell is he thinking? Tidak ada satupun aspek yang terpuji dalam film ini. Ceritanya yang memang hancur, ditambah karakter-karakternya yang buruk luar-dalam membuat film ini bagaikan horor bagi penggemar komedi berkualitas dan juga penonton pada umumnya.

6. Film Ter-Maksa bin Garing : Epic Movie

Satu hal yang membuat saya salut dengan film ini adalah keaktualitasan film-film yang dijadikan bahan parodi. Dari mulai Pirates Of The Caribbean, Superman Returns, sampai Harry Potter pun tak luput jadi bahan olok-olok di film ini. Tapi apakah hal tersebut cukup untuk membuat film ini memiliki kualitas lebih? Of course NOT. Film yang sangat jauh dari kata epic ini betul-betul ngaco dalam segala aspek. Cerita yang amburadul dan maksa plus humor-humornya yang garing cukup untuk membuat film ini dijauhi penonton. Tapi kenyataan berkata sebaliknya, banyak penonton yang masih hobi menyaksikan film seperti ini. Sangat menyedihkan.

7. Film Ter-Kutuk (not so) : The Golden Compass

Walaupun sudah didukung faktor kesuksesan novelnya ditambah keterlibatan nama-nama besar dalam proyek ini, entah kenapa film ini hancur lebur di tangga Box Office Amerika. Padahal menurut saya filmnya tidaklah jelek. Apa mungkin ini akibat kutukan Eragon yang sama-sama dirilis di bulan Desember? Memang setelah kasus kegagalan Eragon, banyak film fantasi yang mengalami nasib serupa termasuk film ini. Benar tidaknya masalah kutukan itu, yang pasti film ini masih layak tonton bagi penggemar film-film fantasi khususnya yang sudah akrab dengan novelnya. Tapi setidaknya film ini masih terbilang beruntung terbukti dengan penghasilan yang lumayan di luar Amerika dan juga perolehan 1 Piala Oscar di bidang spesial efek. Nice!

Wednesday, April 2, 2008

Most Favourite Movies In 2007

Biarpun sudah agak telat, tapi gatal rasanya kalau saya tidak membuat list film-film favorit di tahun 2007 kemarin. Sebenarnya masih banyak film rilisan tahun kemarin yang belum sempat saya tonton. Tapi setidaknya kelima film ini bisa mewakili. So, here they are :

1. Juno

Synopsis
Menyadari bahwa dirinya hamil, seorang remaja 16 tahun bernama Juno MacGuff (Ellen Page) memutuskan untuk mengaborsi kandungannya. Tapi kemudian ia berubah pikiran, dan dengan dukungan sahabatnya (Olivia Thirlby) serta orangtuanya (J.K. Simmons dan Allison Janney) ia berusaha mencari pasangan suami istri yang akan mengadopsi anaknya kelak. Pilihan jatuh pada pasangan Mark dan Vanessa Loring (Jason Bateman dan Jennifer Garner). Rencana Juno yang semula berjalan sempurna akhirnya malah menimbulkan masalah menjelang kelahiran anaknya.

Comment
Oh God, I love this movie! Naskah yang sederhana tapi brilian serta penampilan para pemainnya yang keren, terutama Ellen Page (love her!) adalah kekuatan utama film ini. Temanya yang down-to-earth membuat film ini mudah diterima siapa saja. Dialognya smart dengan bumbu sarcasm yang sangat menghibur. Tidak salah kalau film ini berhasil masuk nominasi Best Picture Oscar. Satu lagi yang membuat saya terpesona dengan film ini adalah soundtracknya. Walaupun perlu adaptasi karena telinga saya yang tidak terbiasa dengan musik semacam ini, tapi pada akhirnya saya benar-benar menyukainya. Terutama track Anyone Else But You, baik versi Michael Cera & Ellen Page maupun versi The Moldy Peaches, dua-duanya sama-sama adorable. Salut untuk semua pihak yang terlibat di film ini karena berhasil membuat sebuah sajian yang cerdas dan loveable .

2. Once

Synopsis
Seorang pria (Glen Hansard) berprofesi sebagai pemusik jalanan sekaligus tukang service vacuum cleaner di toko milik ayahnya. Suatu malam ia bertemu dengan seorang wanita (Marketa Irglova) yang tertarik dengan musiknya dan kebetulan ingin memperbaiki vacuum cleaner-nya yang rusak. Pertemuan yang seolah sudah ditakdirkan tersebut membawa mereka pada sebuah pengalaman tak terlupakan dalam upaya menggapai impian mereka sekaligus menghadapi masalah pribadi masing-masing.

Comment
Film yang sangat menyenangkan untuk ditonton. Tipe film you have to see it to believe it. Jangan pesimis dulu karena ini cuma film kecil dengan premis cerita yang sederhana. Justru karena kesederhanaannya itulah film ini jadi terasa spesial. Terutama musiknya yang terasa sangat emosional saat dilantunkan oleh para pemainnya yang notabene memang musisi asli. Sangat terasa bahwa film ini dibuat dengan hati. Sehabis nonton film ini saya benar-benar merasa feeling good, dan saya yakin orang lain yang sudah menonton juga merasakan hal yang sama. Jangan lupa untuk menyimak soundtrack-nya yang sangat menjiwai filmnya.

3. Gone Baby Gone

Synopsis
Bersettingkan di Dorchester, Boston, dikisahkan seorang anak berusia 4 tahun hilang di daerah tersebut. Seorang detektif swasta, Patrick Kenzie (Casey Affleck) beserta kekasihnya Angie Gennaro (Michelle Monaghan) disewa untuk menyelidiki kasus ini. Penyelidikan ini memaksa mereka untuk memasuki sisi lain dari daerah tersebut yang penuh dengan kebusukan. Dan pada akhirnya Patrick harus menghadapi kenyataan yang mengejutkan di balik kasus tersebut.

Comment
Tanpa disangka-sangka, saya bisa begitu menikmati film seserius dan se-moody ini. Ceritanya yang kuat ditambah ensemble cast-nya yang solid sangat menghidupkan film ini. Kasus yang diangkat di film ini ternyata tidak sesederhana yang saya kira. Di film ini, benar dan salah menjadi bias. Bahkan sampai film beres pun, saya masih bertanya-tanya apakah keputusan yang diambil oleh tokoh utama di film ini benar atau salah. Yang pasti banyak yang bisa kita renungkan sehabis menonton film ini. Penghargaan tertinggi patut didapatkan Ben Affleck yang berani banting setir jadi sutradara dan terbukti sukses menggarap sbuah film yang berkualitas. Daripada meneruskan karir aktingnya yang makin lama makin gak karuan, mending konsisten di bidang penyutradaraan dan penulisan naskah. Siapa tahu kesuksesan Good Will Hunting dulu bisa terulang.

4. The Mist

Synopsis
Badai besar melanda sebuah kota kecil. Keesokan harinya, seorang pelukis, David Drayton (Thomas Jane) mendapati studionya hancur berantakan. Lalu, bersama anaknya dan tetangganya ia pergi ke supermarket di tengah kota untuk membeli peralatan dan persediaan makanan. Beberapa saat kemudian muncul kabut yang mengelilingi supermarket tersebut. David dan beberapa pengunjung lain menyadari ada keanehan di balik kabut itu. Dalam keadaan terisolasi mereka semua harus bekerjasama menghadapi sesuatu yang berada di luar dan berusaha untuk bertahan hidup.

Comment
Inilah film horor/suspense terbaik di tahun 2007, imho. Dengan ruang gerak yang sempit sutradara film ini berhasil meneror penontonnya bukan hanya dengan misteri di balik kabut tersebut, tetapi juga dengan interaksi para tokohnya. Ketika bahaya di luar supermarket sudah jelas terlihat, provokasi salah satu tokohnya yang diperankan dengan brilian oleh Marcia Gay Harden membawa teror baru. Aura yang dibangun sepanjang film membuat film ini begitu nikmat disantap para penggemar film horor. Ditambah endingnya yang cukup provokatif dan jawdropping abis. Salah satu adaptasi novel Stephen King terbaik yang patut ditonton.

5. Harry Potter And The Order Of The Phoenix

Synopsis
Setelah melalui insiden yang hampir membuatnya dikeluarkan, Harry Potter (Daniel Radcliffe) kembali ke Hogwarts di tahun kelimanya. Ternyata keadaan disana tidak bertambah baik. Perlakuan murid-murid lain yang seolah mengucilkannya ditambah kedatangan seorang guru baru yang menyebalkan semakin membuat Harry menderita. Sikap Kementrian Sihir yang seolah menutup mata atas kembalinya Lord Voldemort membuat Harry serta 2 sahabat setianya—Ron dan Hermione berinisiatif membentuk sebuah pasukan yang terdiri dari murid-murid Hogwarts untuk mengantisipasi serangan Voldemort.

Comment
Novel Harry Potter yang paling tebal secara menakjubkan berhasil disulap menjadi sebuah film yang durasinya paling pendek dibandingkan keempat film sebelumnya. Keberanian sang penulis naskah untuk memotong berbagai sub-plot yang kurang penting di bukunya patut diberi kredit tersendiri. Hasilnya, film ini berjalan cepat tanpa terkesan terburu-buru dan berhasil keluar dari bayang-bayang novelnya yang terlalu bertele-tele. Gaya penyutradaraan David Yates juga sukses membuat seri terbaru Harry Potter ini menjadi lebih kelam dan dewasa sesuai dengan penggambaran di bukunya. Akting para pemainnya juga semakin matang terutama Daniel Radcliffe yang mampu menampilkan emosi Harry Potter dengan pas. Can't wait to see the next installment.

Thursday, March 13, 2008

Vantage Point (2008)

Genre : Drama/Thriller

Pemain : Dennis Quaid, Matthew Fox, William Hurt, Forest Whitaker, Sigourney Weaver

Sutradara : Pete Travis

Penulis : Barry Levy

Produser : Neil H. Moritz

Distributor : Sony Pictures Releasing

Durasi : 90 menit
.
.
Premis film ini cukup menarik, ditambah faktor para pemainnya yang cukup menjanjikan. Cara penyampaian dan tema ceritanya mau tidak mau mengingatkan saya pada serial TV 24, meskipun cukup berbeda.

Bercerita tentang Presiden Amerika Serikat (William Hurt) yang berkunjung ke Salamanca, Spanyol untuk menghadiri konferensi anti teroris. Saat naik ke podium, tiba-tiba presiden tertembak dan diikuti dengan ledakan bom beberapa saat kemudian. Opening scene ini disampaikan melalui sudut pandang seorang produser televisi, Rex Brooks (Sigourney Weaver) bersama para krunya yang sedang meliput konferensi tersebut. Saat Rex dan krunya menyaksikan kejadian penembakan tersebut, tiba-tiba adegan di-rewind dan kembali ke kejadian sebelum presiden ditembak. Dan uniknya, diceritakan melalui sudut pandang yang berbeda.

Selama setengah jam, film ini asyik me-rewind adegan sampai ke saat sebelum penembakan presiden melalui perspektif beberapa tokohnya. Setelah Rex Brooks, berlanjut ke perspektif dari seorang agen secret service, Thomas Barnes (Dennis Quaid) yang bertugas untuk melindungi Presiden. Lalu ada juga seorang polisi lokal, Enrique (Eduardo Noriega), dan seorang turis Amerika, Howard Lewis (Forest Whitaker). Dan terakhir dari sudut pandang Presiden sendiri.
Opening scene-nya adalah adegan yang paling efektif dari film ini. Soal playback scene-nya yang berlangsung tiap kira-kira 15 menit sebenarnya cukup brilian tapi juga berpotensi membuat penonton bosan. Saat adegan presiden ditembak untuk yang ke tiga kalinya, ada penonton di depan saya yang nyeletuk : "pasti balik lagi deh!". Kedua-tiga kalinya sih mungkin masih oke. Tapi lama-lama cukup melelahkan juga menyaksikan kejadian yang kita sudah tahu juntrungannya. Jadinya film ini tampak berputar-putar terus di tempat.

Meski begitu, saya tetap excited untuk menyaksikan film ini sampai beres. Ada beberapa hal yang cukup mengejutkan dan tidak saya duga sebelumnya. Sosok penembak sang presiden sebenarnya sudah bisa ditebak di pertengahan film, tapi tetap menarik untuk diikuti. Adegan klimaksnya juga tampak keren (waktu ambulansnya mau tabrakan, terus wajah pemainnya di close-up satu per satu). Walaupun bermuatan politik, saya rasa film ini tidak terlalu berat dan tetap menghibur dengan kadar action yang seru serta penyajian yang cukup unik.

7/10

Friday, March 7, 2008

10.000 BC (2008)

Genre : Action/Adventure/Drama

Pemain : Steven Strait, Camilla Belle, Cliff Curtis, Omar Sharif

Sutradara : Roland Emmerich

Penulis : Harald Kloser, Roland Emmerich

Produser : Michael Wimer, Roland Emmerich


Distributor : Warner Bros.


Durasi : 109 menit



D'Leh : [in the pit, after deciding to not kill the Saber-tooth] "Do not eat me when I save your life!"


Film ini saya tonton tanpa ekspektasi yang berlebihan. Apalagi sih yang diharapkan dari seorang Emmerich selain efek CGI yang mendominasi? Dari trailer-nya hal itu sudah terlihat dan membuat saya cukup excited untuk menonton filmnya. Tapi lama-kelamaan, saya punya firasat kalau film ini bakal punya kualitas semenjana. Dan ternyata itu memang terbukti.

Sesuai judulnya, film ini mengambil setting ribuan abad sebelum masehi, dimana manusia masih hidup berdampingan dengan makhluk-makhluk pra-sejarah semacam mammoth dan kawan-kawannya. Di sebuah pegunungan terpencil hidup suatu suku bernama suku Yagahl. Suatu malam, salah seorang penduduknya membawa seorang gadis kecil dari suku lain yang desanya baru diserang oleh suatu suku yang disebut "setan berkaki empat". Sang "ibu tua" dari suku Yagahl meramalkan bahwa gadis tersebut, yang bernama Evolet, suatu saat akan memegang peranan penting terhadap kelangsungan suku tersebut. Evolet lalu berkenalan dengan seorang anak bernama D'Leh. Merasa cocok satu sama lain, hubungan mereka semakin dekat dan akhirnya saling jatuh cinta.
Saat beranjak dewasa, hubungan mereka diuji ketika daerah tempat tinggal mereka diserang suku yang dulu pernah menghancurkan desa Evolet. Suku tersebut menculik Evolet dan sebagian penduduk lain. Melihat hal ini, D'Leh tidak tinggal diam dan berniat membawa kembali Evolet dengan bantuan teman dekat ayahnya, Tic Tic, juga Ka'Ren dan Baku, bocah yang diam-diam mengikuti mereka.

Di tengah perjalanan, mereka sempat terpisah dan harus menghadapi keganasan alam dan hewan-hewan buas. Lalu D'Leh dan Tic Tic bertemu dengan suatu suku yang menganggap D'Leh adalah orang yang selama ini mereka tunggu berdasarkan suatu ramalan. Dan akhirnya suku tersebut mau membantu D'Leh untuk menyelamatkan Evolet dan penduduk lainnya. Dengan pasukan barunya, D'Leh mengejar para penculik Evolet yang membawa mereka pada sebuah peradaban yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Mereka mendapati sebuah piramid yang menjulang tinggi, tempat kekuasaan seorang "dewa" yang gemar memperbudak rakyatnya. Demi menyelamatkan sukunya, D'Leh berusaha untuk melawan sang "dewa" beserta pasukannya.

Sebagai sebuah epik kolosal, film ini cukup berhasil menampilkan adegan action menarik dengan setting yang megah. Efek CGI-nya juga terbilang cukup mulus, terutama untuk penggambaran makhluk-makhluk pra-sejarahnya. Tapi sayang, plotnya sangat dangkal, so predictable and flat. Ditambah penampilan para pemainnya yang jauh dari kesan bagus, terutama sang pemeran utamanya—Steven Strait yang tidak berkharisma sebagai seorang pemimpin suku. Sangat jauh jika dibandingkan dengan penampilan Gerard Butler di 300.

Ada juga beberapa hal yang janggal dan cukup mengganggu jalan cerita film ini. Misalnya saja setting piramid yang terlalu megah, it's so over the top, IMHO. Terus Camilla Belle yang terlalu cantik sebagai seorang wanita jaman purba, walaupun mukanya dibuat sekotor apapun. Ditambah dengan penamaan karakter-karakternya yang mungkin wajar saja bagi Emmerich, tapi di telinga saya terdengar begitu konyol. Selain itu, ada beberapa dialog yang misplace. Banyak penonton yang tertawa saat sebenarnya tidak ada yang perlu ditertawakan. And suddenly, I feel that this movie turns into a joke.

Terakhir yang ingin saya komentari adalah penampilan main villain-nya. Kalah jauh dengan penampilan Xerxes di 300 yang biarpun "banci dandan" tapi setidaknya masih punya aura jahat. Di film ini, sang villain alias "dewa" benar-benar membuat saya kesal. Bukan karena saking jahatnya atau karena pemerannya sangat brilian sehingga berhasil membuat penonton geregetan dengan aktingnya. Melainkan lebih karena dia tampak tidak punya kualitas apapun untuk disebut sebagai dewa. Tampilannya yang sok misterius bukannya memberi kesan keagungan seorang dewa, malah membuat ia tampak seperti seorang pesakitan. Momen terbaik selama menonton film ini adalah ketika lampu bioskop mulai menyala—tanda bahwa kekonyolan ini sudah berakhir. Thank God!

3/10

Tuesday, March 4, 2008

Perempuan Punya Cerita (2008)

Genre : Drama

Pemain : Shanty, Sarah Sechan, Susan Bachtiar, Rieke Dyah Pitaloka, Rachel Maryam, Kirana Larasati, Fauzi Baadila

Sutradara : Nia Dinata, Upi Avianto, Fatimah Rony, Lasja F. Susatyo

Penulis : Vivian Idris, Melissa Karim

Produser : Nia Dinata

Distributor : Kalyana Shira Film

Durasi : 105 menit



Akhirnya saya mendapat kesempatan untuk menonton film yang tampaknya cepat sekali menghilang dari peredaran ini. Gratis dan uncensored pula. Thanks buat teman saya Ajeng yang sukses membujuk saya untuk datang ke Q! Film Festival. Buat yang belum tahu, Q! Film Festival itu merupakan festival film yang selalu menayangkan film-film bertema hubungan sesama jenis, juga isu HIV/AIDS. Film Perempuan Punya Cerita ini diputar di hari terakhir, Sabtu kemarin di CCF Bandung. Dan seperti dugaan saya, kursi penonton penuh sesak.

Film ini merupakan sebuah anthology atau gabungan dari 4 film pendek yang dibuat oleh 4 sutradara wanita yang bercerita tentang wanita juga. Diproduseri oleh Nia Dinata yang pernah memproduksi film Arisan! dan Berbagi Suami, nampaknya film ini bakalan punya kualitas yang tidak perlu diragukan lagi.

Cerita Pulau
Segmen pertama ini bercerita tentang Sumantri (Rieke Dyah Pitaloka), bidan yang bekerja di sebuah pulau tak jauh dari Jakarta. Ia divonis kanker dan harus dirawat di Jakarta. Penderitaannya semakin bertambah ketika seorang gadis yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri, Wulan (Rachel Maryam) diperkosa oleh sekelompok pemuda setempat. Sumantri berusaha untuk memperjuangkan kasus perkosaan tersebut, walaupun cukup berat karena sang pemerkosa adalah putra dari seseorang yang cukup berpengaruh. Entah mengapa, segmen cerita ini terasa kurang mengena. Endingnya juga kurang memuaskan. Tapi satu hal yang pasti, uang masih lebih berbicara banyak dibanding suara seorang perempuan yang berusaha memperjuangkan hak sesamanya. What a shame!

Cerita Jogja

Segmen cerita yang menurut saya paling berani. Menampilkan realita pergaulan bebas para pelajar di Jogja. Jay (Fauzi Baadilla), seorang jurnalis dari Jakarta, berniat untuk menulis artikel tentang pergaulan remaja di Jogja. Hal ini membawanya kepada sosok Safina (Kirana Larasati) beserta kawan-kawannya yang sudah tidak aneh lagi dengan yang namanya pergaulan bebas. Safina yang sebenarnya naif, akhirnya terjebak rayuan Jay yang membuat masa depannya rusak. Cerita ini benar-benar membuka mata saya akan pergaulan remaja yang terjadi sekarang ini. Sungguh miris (sekaligus membuat saya terbahak) saat adegan dua orang teman Safina melakukan hubungan badan, sementara ibunya mau pergi ke pengajian. So ironic!


Cerita Cibinong

Esi (Shanty), seorang wanita yang bekerja di klab malam sebagai pembersih WC. Ia banting tulang untuk membiayai sekolah putri satu-satunya, Maesaroh. Suatu malam, Esi membawa kabur Maesaroh saat ia memergoki kekasihnya, Narto berbuat tidak senonoh terhadap anaknya tersebut. Esi akhirnya menumpang di rumah Cicih (Sarah Sechan), PSK di klab malam tempatnya bekerja yang bermimpi ingin menjadi penyanyi dangdut. Konflik berlanjut saat Cicih membawa Maesaroh ke Jakarta tanpa sepengetahuan Esi. Parahnya, orang yang dipercaya Cicih sebagai produser yang ingin mengorbitkan dirinya ternyata seorang sindikat perdagangan perempuan yang ingin menjual Maesaroh. Yang paling menghibur di cerita ini, bahkan filmnya secara keseluruhan tentunya adalah the one and only Sarah Sechan. Nyunda banget, keren lah pokoknya.

Cerita Jakarta
Cerita terakhir yang menurut saya paling mengharukan. Laksmi (Susan Bachtiar), seorang janda beranak satu yang baru ditinggal mati suaminya karena penyakit AIDS. Bahkan ia pun tertular penyakit tersebut. Keadaannya diperparah dengan hak asuh putrinya, Belinda, yang ingin direbut oleh ibu mertuanya. Sebagai seorang ibu ia berusaha mati-matian untuk mempertahankan putrinya, walaupun akhirnya dengan kondisi fisiknya yang semakin lemah ia rela membuat sebuah keputusan besar, yang walaupun menyakitkan harus tetap ia ambil demi kebaikan putrinya. Akting Susan Bachtiar patut diacungi jempol—bikin terharu, tapi tidak cengeng.

Kesimpulannya, film ini sangatlah menggugah. Biarpun masih ada beberapa kekurangan, but it's ok. Secara durasinya sendiri hanya kurang dari 2 jam, tapi harus memuat 4 cerita, tentunya cukup sulit kan. Tapi menurut saya cukup berhasil. Yang pasti, film ini menggambarkan bagaimana perjuangan para perempuan Indonesia dalam menghadapi cobaan yang begitu berat, malah cenderung ekstrim. Walaupun ceritanya mengangkat segala problematika tentang perempuan, tapi bukan berarti film ini tidak dapat dinikmati oleh kaum pria. Tanpa memandang gender, menurut saya film ini perlu ditonton agar kita bisa lebih menghormati kaum perempuan yang ternyata masih sering diremehkan walaupun isu emansipasi sudah berkumandang dimana-mana.

7/10

Ayat - Ayat Cinta (2008)

Genre : Drama/Romance/Religious

Pemain : Fedi Nuril, Rianti Cartwright, Carissa Putri, Melanie Putria, Zaskia Adya Mecca

Sutradara : Hanung Bramantyo

Penulis : Retna Ginatri S. Noor, Salman Aristo, Habiburrahman El Shirazy (novel)

Produser : Dhamoo Punjabi, Manoj Punjabi

Distributor : MD Pictures

Durasi : 120 menit



Inilah film yang sudah saya tunggu-tunggu sejak lama. Entah kenapa, saya begitu tertarik untuk menonton film ini. Padahal novelnya pun belum pernah saya baca. Saya hanya sempat mendengar sedikit alur ceritanya yang memang cukup menarik. Dan yang pasti penantian selama berbulan-bulan ternyata tidak sia-sia.

Bercerita tentang seorang pemuda Indonesia bernama Fahri (Fedi Nuril) yang menuntut ilmu di Al-Azhar, Mesir. Fahri terkenal sebagai pemuda yang religius. Dan ternyata, tanpa disadarinya banyak perempuan yang mengaguminya. Diantaranya Maria Girgis (Carissa Putri), tetangga satu flat Fahri. Sayangnya, Maria adalah seorang penganut Kristen Koptik, walaupun sebenarnya Fahri sangat mengagumi Maria karena ketertarikannya pada agama Islam. Lalu ada Nurul (Melanie Putria), putri seorang kyai terkenal yang sejak lama ingin melamar Fahri. Terakhir Noura (Zaskia Adya Mecca), gadis yang selalu didzalimi ayahnya, yang diam-diam menaruh hati pada Fahri sejak pertama bertemu.

Sebenarnya, Fahri juga memiliki target untuk segera menikah. Namun, ia belum juga menemukan wanita yang tepat. Fahri percaya bahwa setiap orang memiliki jodohnya masing-masing. Hingga suatu hari, di dalam kereta, Fahri menolong seorang wanita muslim yang hampir diamuk seorang pria hanya karena wanita tersebut memberikan kursinya untuk orang Amerika yang dianggap kafir. Wanita tersebut bernama Aisha (Rianti Cartwright), seorang warga negara Jerman. Pertemuan singkat tersebut cukup membuat Fahri tertarik pada Aisha.

Beberapa hari kemudian, salah seorang ustadznya menawarkan pada Fahri untuk melakukan ta'aruf (perkenalan) dengan seorang gadis yang merupakan keponakan salah seorang temannya. Fahri yang mulanya cukup ragu akhirnya, walaupun ia belum pernah bertemu dengan gadis tersebut. Setelah bertemu, Fahri terkejut karena gadis tersebut ternyata Aisha. Akhirnya Fahri benar-benar yakin bahwa Aisha adalah jodohnya. Nah, konflik yang sebenarnya baru muncul setelah pernikahan Fahri dan Aisha.

Oke lah, banyak yang bilang kalau film ini tidak sesuai dengan penggambaran di novelnya. But, who cares? Yang penting penggarapannya bagus dan feel-nya dapet. Mamang, film based on novel biasanya (atau selalu?) memiliki perbedaan dengan media sumbernya tersebut. Tapi sebenarnya novel dan film tidak perlu dibanding-bandingkan karena ada beberapa aspek yang memang tidak bisa disamakan antara novel dan film, yang membuat kedua media tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.

Film ini menurut saya sangat menyentuh. Adegan-adegannya mengalun dengan indah (halah). Dasar ceritanya memang sudah bagus. Settingnya cantik, walaupun terkadang monoton plus ada beberapa gambar yang tampak kotor. Mengenai performa para pemainnya, menurut saya lumayan bagus. Chemistry yang terbangun antara Fahri-Maria-Aisha cukup berkesan. Pemeran pendukungnya juga pas, terutama Zaskya Adya Mecca yang memerankan tokoh Noura. Penonton bisa dibuat sebel dengan kelakuannya, sekaligus merasa simpati pada akhirnya. Tapi yang paling berkesan tentunya adalah karakter teman satu sel Fahri (saya lupa namanya, atau memang tidak pernah disebut?). Sangat menghibur. Layak dapat penghargaan tuh.

Sangat jarang saat saya menonton sebuah film, saya merasa terhibur sekaligus mendapatkan pengalaman spiritual yang luar biasa. Adegan yang paling saya suka adalah saat teman satu sel Fahri bercerita tentang kisah Nabi Yusuf AS lalu menasehati Fahri agar ikhlas dan sabar menghadapi cobaan. Benar-benar menggedor hati dan berhasil membuat saya merinding selama beberapa menit. Adegan "pengorbanan" yang dilakukan Aisha demi keselamatan Maria juga cukup menyentuh. Khususnya untuk para wanita yang sudah menikah pasti kena banget emosinya. Semua karakternya sangat manusiawi, terutama Fahri. Walaupun digambarkan sebagai pemuda yang taat beragama, tapi ia tetap manusia biasa yang memiliki kekurangan.

Overall, film ini 100% wajib tonton, untuk yang sudah membaca novelnya ataupun belum. Buang jauh-jauh pikiran skeptis anda cuma gara-gara filmnya tidak sesuai dengan novelnya (katanya). Menurut saya, inilah film Indonesia terbaik tahun ini.

8/10