Saturday, September 25, 2010

Show Me Love (1998)

Genre : Drama/Comedy/Romance

Pemain : Alexandra Dahlstrom, Rebecka Liljeberg, Erica Carlson, Mathias Rust

Sutradara : Lukas Moodysson

Penulis : Lukas Moodysson

Distributor : Sonet Film

Durasi : 89 menit

Elin : "It makes a lot of chocolate milk. But that doesn't matter."



Show Me Love, sebuah gambaran mengenai kompleksitas masa-masa remaja dengan latar kota kecil di Swedia bernama Amal. Film yang memiliki judul asli Fucking Amal ini adalah debut dari seorang sutradara asal Swedia, Lukas Moodysson. Melalui film pertamanya ini, Moodysson mencoba untuk mengeksplorasi lika-liku kehidupan para remaja yang dikemas dengan begitu jujur dan mengena. Film yang sempat menuai kontroversi berkenaan dengan judulnya ini nyatanya merupakan sebuah sajian yang manis dan berbeda dibanding film remaja tipikal serta akhirnya diakui sebagai karya yang berkualitas terbukti dengan prestasi yang diraih di berbagai ajang penghargaan internasional.

Kisahnya berpusat pada kehidupan dua orang gadis remaja, Elin dan Agnes. Elin (Alexandra Dahlstrom), gadis cantik-populer yang bermimpi untuk menjadi model demi bisa keluar dari Amal, tempat yang ia anggap mengungkungnya selama ini. Kalimat fucking Amal adalah representasi dari rasa frustasinya terhadap kehidupannya yang membosankan dan seolah terisolasi dari perkembangan zaman. Di lain pihak ada Agnes (Rebecka Liljeberg), gadis pindahan yang sulit bersosialisasi dan diam-diam menyimpan perasaan suka terhadap Elin. Dua gadis yang sebelumnya tidak pernah berinteraksi sama sekali ini pada akhirnya mulai mengenal satu sama lain.


Labilnya emosi para remaja digambarkan dengan akurat oleh Moodysson melalui debut feature-nya ini. Dua karakter utamanya merefleksikan sifat remaja kebanyakan—merasa frustasi dan depresi pada satu kesempatan, lalu bisa tiba-tiba berubah menjadi ceria dan kekanak-kanakan. Penggambaran karakter yang bukan tanpa cela ini membuat kisahnya menjadi lebih masuk akal dan enak diikuti serta mungkin akan terasa personal bagi sebagian orang. Karakterisasi yang baik seperti ini tampaknya semakin jarang ditemui di film-film remaja Hollywood belakangan yang terlalu menonjolkan stereotype sehingga terasa semakin membosankan. Keunggulan ini tidak bisa lepas dari performa gemilang dua aktris utamanya—Alexandra Dahlstrom dan Erika Liljeberg, yang membawakan karakter m
asing-masing dengan sangat baik. Mereka berdua dengan mudahnya mencuri perhatian saya. I love them both!

Masa-masa remaja memang merupakan masa yang penuh gejolak. Melalui film ini, kita diajak untuk menelusuri fase tersebut melalui perspektif Elin dan Agnes. Rasa benci dan frustasi yang muncul akibat kekurangan dalam diri serta kebutuhan untuk balas dicintai diwakili oleh sosok Agnes. Sedangkan Elin merupakan sosok yang juga merasa frustasi, tapi lebih diakibatkan karena kebosanan luar biasa—bosan terhadap kota tempat tinggalnya, bosan terhadap dirinya yang ketinggalan trend, bosan terhadap anak lelaki seusianya yang selalu bertindak bodoh. Dan ketika dua individu ini bertemu, timbul percikan yang pada akhirnya akan membawa perubahan dalam kehidupan mereka.

Dari sini, Moodysson mulai mengeksplorasi apa makna cinta bagi para remaja. Kebimbangan dan kecemasan Elin akan perasaannya terhadap Agnes kemudian menggiringnya pada penyangkalan diri yang ia lampiaskan pada sosok Johan (Mathias Rust). Meski isu hubungan sesama jenis dengan jelas diapungkan, tapi hal tersebut tidak lantas diekspos habis-habisan hingga berpotensi mengganggu kenyamanan sebagian penonton. Justru hal tersebut semakin menegaskan bahwa cinta bukanlah masalah orientasinya, tetapi lebih kepada perasaan yang murni muncul dari dalam diri kita terhadap seseorang. Saya memang orang dengan pengalaman cinta yang hampir nol, tapi bukan berarti saya sepenuhnya buta akan hal tersebut. Dan itulah pendapat dari diri saya pribadi, entah anda setuju atau tidak.

Dengan kisah yang berpusat pada kehidupan anak muda, Moodysson juga menggarapnya dengan semangat anak muda. Kumpulan lagu pop-rock khas anak muda yang penuh energi diinjeksikan di setiap adegannya—poin plus untuk Moodysson. Saya rasa ia memiliki insting yang baik mengenai hal ini karena musik yang dihadirkan begitu pas dengan adegan yang ditampilkan. Salah satunya, adegan paling memorable dalam film ini dilatari tembang I Want To Know What Love Is milik Foreigner—sungguh brilian! Tidak lupa tembang manis dari Robyn yang judulnya menginspirasi judul (versi halus) dari film ini—Show Me Love, sebagai penutup kisah ini.

Pujian lain saya berikan untuk adegan klimaks yang juga brilian. Detik-detik mencapai klimaks, saya dibuat harap-harap cemas terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan ketika saat itu akhirnya datang, saya mulai bernafas lega, tersenyum puas, dan merasa begitu gembira. Klimaks ini mendefinisikan coming out of the closet secara kiasan sekaligus harafiah. Sungguh klimaks yang luar biasa. Lalu film ini diakhiri dengan ending yang begitu manis, semanis susu coklat yang dibagi dengan pasangan tercinta (you'll get it after you see it). :D

9/10

No comments:

Post a Comment