![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiq0Us_oyxplOBq74tFsWBg8PHd_DdZXyC0t7Aw7XlnGrIoJkIloXStd0pPwovMlytCFrrRW9YbimI9gQ-2heVIYtl9SZAn4ZkvD_4q3JFivumuxnQoQuWcjp7omj_1pTlMQGdoxo-dfNz/s320/the+brood.jpg)
Pemain : Art Hindle, Samantha Eggar, Oliver Reed, Cindy Hinds, Nuala Fitzgerald, Harry Beckman
Sutradara : David Cronenberg
Penulis : David Cronenberg
Distributor : New World Pictures
Durasi : 92 menit
"Thirty seconds after you're born you have a past and sixty seconds after that you begin to lie to yourself about it."
-Juliana-
David Cronenberg. Mendengar nama itu, tiba-tiba langsung terlintas di benak saya poster film Eastern Promises. Kenapa harus film itu? Karena itulah satu-satunya film beliau yang familiar bagi saya, padahal saya sendiri pun belum sempat menontonnya (I'm not kidding). Anyway, posternya keren, maka dari itu image-nya masih melekat di benak saya. Oke, saya tidak akan membahas film tersebut lebih lanjut, melainkan karya Cronenberg di paruh awal karirnya. Cronenberg dikenal sebagai salah satu sutradara penghasil film-film yang memiliki istilah body horror ataupun biological horror. Sesuai namanya, film jenis ini menempatkan tubuh (manusia) sebagai pemicu nuansa horornya. Virus, mutasi, sampai peletakan anggota tubuh yang abnormal adalah beberapa contoh isu yang diangkat dalam sebuah body horror.
Sekilas dari premisnya, The Brood tampak seperti sebuah film horor yang memasang sosok anak kecil sebagai penebar terornya. Cukup dengan premis seperti itu, saya langsung tertarik untuk menyantap film ini. Entah mengapa, film horor dengan tema evil child atau disturbed child seperti ini memiliki daya tarik tersendiri bagi saya. The Omen dan Orphan adalah 2 contoh film yang menawarkan tema tersebut dan berhasil memikat atensi saya. Bahkan film busuk berjudul Case 39 pun terasa cukup menghibur berkat performa apik Jodelle Ferland—satu-satunya aktris dengan akting paling meyakinkan disitu (sorry Zellweger, this time you suck).
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYsnV1pb2R1lNgWYJu87rpeoC6r4SGB5Dos1P3Q4tw7SS0NCcBtLY42qLF5Vdfj8Oz50T5p58kydH2onXk8NgrorJ5sy3PD-myBGUFQlYkFfJmEjNVWkaPSHPjYStI06TgVdYP_CLd5T_q/s400/Brood_1.jpg)
Psychoplasmic—sebuah metode terapi yang begitu asing di telinga saya. Entah memang nyata atau hanya fiksi belaka, dalam film ini digambarkan bahwa metode tersebut adalah sebuah jalan bagi seseorang (pasien) untuk mengeluarkan semua emosi negatif yang ia pendam dengan efek samping berupa timbulnya suatu bekas pada tubuhnya (semacam luka, bisul, ataupun "jejak-jejak" lainnya). Dr. Hal Raglan (Oliver Reed)—seorang psikiater sekaligus penulis buku The Shape Of Rage yang menerapkan metode tersebut pada pasiennya. Salah seorang pasiennya bernama Nola Carveth (Samantha Eggar) yang sedang melalui masa-masa sulit pasca perpisahan dengan suaminya, Frank (Art Hindle) dan juga putri semata wayangnya, Candice (Cindy Hinds). Bermula dari kecurigaan Frank terhadap Nola yang diyakini pernah menyakiti Candice secara fisik, berbagai pembunuhan sadis mulai terjadi di sekitarnya. Diketahui kemudian bahwa pelakunya adalah sesosok makhluk kecil bertudung. Sementara itu, Frank tetap bersikeras mempertahankan putrinya dan menjauhkannya dari Nola sekaligus mengungkap misteri yang ada di tubuh Somafree—institusi psychoplasmic milik Dr. Raglan.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhD7SFjE_xXaTNVECcvMv8ghyphenhyphen3x4sXrYRiWP4M5wsRs0Uze3_A9XKYDE7y7EYjZBmgPY9IXr4MsvON4ZLZ8HXkpVoi5HCdsCEZknbjB0ih7Hu5RvZNm3T6HTFGFGigqR3-J7fTH28bv3EtF/s400/Brood_2.jpg)
Sebagai sebuah film horor, saya akui film ini berhasil memberikan aura mencekam secara efektif. Beberapa adegannya sempat membuat bulu kuduk saya berdiri, terutama adegan menjelang akhir film yang cukup mencengangkan. It's one of the best "what the fuck moments" I've ever seen. Adegan apa? Saya tidak akan mengobral spoiler, thanks. Feel horor yang ada semakin dipertegas dengan music score garapan Howard Shore—komposer peraih Oscar melalui karya fenomenalnya dalam trilogi The Lord Of The Rings. The Brood menjadi awal dari kerjasama berkelanjutan antara Howard Shore dengan David Cronenberg. Setelah film ini, semua film Cronenberg diisi dengan music score gubahan Shore, kecuali satu film berjudul The Dead Zone.
Dengan semua komponennya yang menarik, mulai dari naskah, deretan pemain, sampai berbagai hal teknisnya, film ini berhasil masuk ke dalam list film-film favorit saya. Walaupun alurnya cenderung lambat, semuanya dibayar tuntas dengan eksekusinya yang berkesan secara keseluruhan. Highly recommended.
Rating : 8/10
No comments:
Post a Comment