Monday, November 15, 2010

Winter's Bone (2010)

Genre : Drama/Mystery/Thriller

Pemain : Jennifer Lawrence, John Hawkes, Garret Dillahunt, Lauren Sweetser, Dale Dickey, Shelley Waggener

Sutradara : Debra Granik

Penulis : Debra Granik & Anne Rosellini (screenplay), Daniel Woodrell (novel)

Distributor : Roadside Attractions

Durasi : 100 menit

MPAA : Rated R for some drug material, language and violent content


"I got two kids that can't feed themselves yet. My mom's sick, and she's always gonna be sick. Pretty soon the laws are coming and taking our house... and throwing us out to live in the field like dogs."
-Ree-

Ketika seseorang dihadapkan pada kondisi serba tertekan, terkadang secara tak terduga ia akan mengeluarkan potensi dalam dirinya yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Saya sendiri juga pernah mengalami kejadian seperti itu. Misalnya tahun lalu, saat saya berada di penghujung semester akhir perkuliahan dimana tekanan untuk menyelesaikan tugas akhir semakin bertubi-tubi. Dengan waktu yang semakin sempit (berbanding terbalik dengan bertumpuknya materi yang masih perlu diselesaikan), tentunya saya terpacu untuk secepat mungkin menyelesaikan tugas tersebut. Dan ajaibnya, hanya dalam waktu beberapa hari semua dapat terselesaikan. Meskipun tidak aneh jika hasilnya mungkin kurang maksimal. Yang penting kan beres, soal banyaknya revisi mah urusan nanti (pola pikir mahasiswa pemalas). Maaf jika ini jadi terkesan seperti ajang curhat dengan sampel yang tidak patut ditiru. Poinnya, setiap orang memiliki potensi terpendam dan besar kemungkinan semua itu akan benar-benar tampak saat ia berada dalam situasi sulit, imo.

Korelasi antara ocehan saya di atas dengan film berjudul Winter's Bone ini yaitu situasi serba sulit yang juga dialami oleh tokoh utamanya, Ree Dolly (Jennifer Lawrence). Ree adalah seorang gadis remaja 17 tahun yang hidup di lingkungan terpencil di pegunungan Ozark, Missouri. Dengan usianya yang masih belia, ia harus menjadi tulang punggung bagi kedua adiknya yang masih kecil dan juga ibunya yang tidak bisa berbuat apa-apa dengan kondisi mentalnya. Tunggu, kemana perginya sang ayah yang seharusnya bertindak sebagai kepala keluarga? Itulah pemicu rentetan masalah yang akan dihadapi Ree nanti. Ayahnya—Jessup Dolly, dikenal sebagai "peracik" methamphetamine (sejenis drugs) yang saat ini sedang menjadi buronan pihak kepolisian. Parahnya, ia menjadikan rumah dan semua aset miliknya sebagai jaminan. Jika ia tidak muncul dalam persidangan di minggu berikutnya, keluarganya terpaksa harus kehilangan tempat tinggal. Demi kelangsungan hidup keluarganya, Ree bertekad menemukan sang ayah walau seberat apapun resiko yang mesti ditanggungnya kelak.

Pencarian yang dilakukan Ree tentu tidaklah mudah. Dengan lingkungan yang masih menganut paham patriarki serta ikatan kelompok yang kuat, keingintahuan Ree justru memposisikan dirinya serta keluarganya dalam bahaya. Ree mendatangi setiap orang yang ia yakini pernah berhubungan dengan ayahnya, dan ini tentu saja membuat dirinya seolah hadir sebagai pengganggu. Ekstrimnya, pencarian yang ia lakukan bagaikan sebuah misi bunuh diri yang sudah jelas hasil akhirnya. Namun dengan modal keberanian dan kegigihannya, apakah masih ada harapan bagi Ree untuk dapat menemukan ayahnya? Dalam melalui kesulitan ini, untungnya dia tidak sendiri. Masih ada Gail (Lauren Sweetser), sahabat karibnya yang selalu mendukungnya. Selain itu masih ada pamannya, Teardrop (John Hawkes)—drug-addict yang awalnya menentang Ree untuk ikut campur dalam urusan yang seharusnya ditangani sendiri oleh ayahnya. Namun, pada akhirnya ia pun bersedia membantu mencari informasi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa aura yang dibawa film ini begitu kelam dan cenderung depresif. Dengan setting di daerah terpencil yang tampak seperti area post-catastrophe, mood film ini memang dijaga agar tetap terasa kekelamannya. Michael McDonough—sang cinematographer, juga ikut andil dalam membangun mood film dengan gambar-gambar yang cenderung ber-tone gelap. Terkesan dingin, namun indah untuk dipandang. Sepanjang film, adegan-adegannya sepi dari musik latar. Namun bukan berarti film ini total mengabaikan musik pengiring. Meskipun kemunculannya minim, namun score garapan Dickon Hinchliffe mampu mengisi tiap adegannya dengan baik. Jangan lupakan sisipan lagu-lagu beraliran bluegrass dengan vokal menawan dari Marideth Sisco yang ikut muncul dalam salah satu adegan. Kehadiran lagu-lagu yang menyejukkan hati ini mengimbangi kelamnya tone film.

Debra Granik—sang sutradara sekaligus penulis naskahnya (bersama Anne Rosellini), berhasil mengadaptasi novel karya Daniel Woodrell menjadi sebuah film yang memikat—mencekam namun sekaligus memancarkan optimisme. Granik patut diberi kredit tersendiri berkaitan dengan keseriusannya dalam mengerjakan proyek ini. Konon ia menghabiskan waktu sekitar dua tahun untuk mengobservasi kehidupan masyarakat di Ozark demi keotentikan film ini nantinya. Dan kerja kerasnya terbukti membuahkan hasil yang maksimal. Meskipun saya tidak pernah tinggal di Ozark (bahkan nama daerah ini pun baru saya dengar melalui film ini), namun saya cukup yakin bahwa apa yang ditampilkan Granik disini adalah gambaran dari realita yang ada. Potret kehidupan masyarakat miskin di pinggiran Amerika ini mampu melibatkan emosi saya sebagai penonton tanpa terkesan manipulatif. Semuanya tampak natural.

Kesan realisme yang timbul juga tidak lepas dari peran para aktor dan aktrisnya yang berhasil menghidupkan masing-masing karakternya dengan meyakinkan. Sebagai Teardrop—paman Ree yang pecandu obat dan temperamental, John Hawkes sukses menampilkan permainan memukau. Ia mampu mengesankan sifat antagonis di awal kemunculannya yang pada akhirnya berubah simpatik. Selain Hawkes, pemeran pendukung lainnya juga menampilkan performa yang meyakinkan, mulai dari Dale Dickey, Lauren Sweetser, sampai pemeran kedua adik Ree yang membawa keceriaan tersendiri melalui kepolosan mereka. Namun tentu saja bintang dalam keseluruhan film ini adalah Jennifer Lawrence sebagai Ree Dolly, sang tokoh utama penggerak cerita. Lawrence memancarkan pesona natural yang membuat kehadirannya di layar begitu mencuri perhatian. Kekuatan dan keberanian seorang gadis remaja dalam menghadapi berbagai kesulitan nampak jelas melalui karakternya, namun di sisi lain ia juga rapuh. Salah satu scene di tengah hutan saat Ree meminta nasehat pada ibunya sangatlah emosional. Di titik ini penonton dibuat tersadar bahwa dibalik sosok tegar itu, Ree tetaplah seorang remaja yang membutuhkan topangan. Lebih jelasnya, ia membutuhkan figur orangtua yang layak. Tidak diragukan lagi, ini adalah peran yang akan meroketkan nama Jennifer Lawrence dan membuatnya menjadi salah satu komoditi panas di kancah perfilman Hollywood.

Kesuksesan feature film kedua arahan Debra Granik ini di event Sundance Film Festival beberapa waktu lalu tidaklah mengherankan mengingat kualitasnya yang sangat prima. Tidak mengherankan juga jika film ini nantinya menjadi primadona di ajang penghargaan paling bergengsi di Hollywood—Academy Awards. Jennifer Lawrence jelas harus mendapatkan setidaknya nominasi sebagai Aktris Terbaik. Di luar potensinya dalam menarik perhatian berbagai ajang penghargaan, film ini memang sangat patut diapresiasi oleh para penikmat film. Salah satu drama terbaik yang menggambarkan realita kehidupan dengan jujur dan apa adanya. Definitely worth watching!

Rating : 9/10

No comments:

Post a Comment