Wednesday, November 30, 2011

[Review] Melancholia (2011)



Genre : Drama, Sci-Fi | Pemain : Kirsten Dunst, Charlotte Gainsbourg, Alexander Skarsgard, Kiefer Sutherland, John Hurt, Charlotte Rampling, Stellan Skarsgard | Sutradara : Lars von Trier | Penulis : Lars von Trier | Distributor : Magnolia Pictures | Durasi : 136 menit | MPAA : Rated R for some graphic nudity, sexual content and language

"I just have one thing to say...enjoy it while it lasts."
-Gaby-


Seberapa besar pengaruh adegan pembuka saat anda sedang menonton sebuah film? Kualitas film secara keseluruhan memang tidak mungkin hanya diukur dari menit-menit awalnya saja, namun terkadang sebuah adegan pembuka mampu memberi gambaran sekilas mengenai apa yang akan ditawarkan di menit-menit selanjutnya. Bahkan bukan tidak mungkin jika sebuah adegan pembuka dapat mengatur mood penonton dalam mengapresiasi film yang bersangkutan. Dalam film terbaru besutan salah satu sutradara paling kontroversial, Lars von Trier, yang berjudul Melancholia ini, adegan pembuka adalah salah satu komponen paling kuat dari keseluruhan filmnya. Melalui montase yang dipresentasikan dalam gerak ekstra lambat, serta musik latar yang diambil dari prelude untuk opera Tristan und Isolde gubahan Richard Wagner, Melancholia memperkenalkan dirinya dengan anggun dan mempesona. Delapan menit yang menggoda. Tak diragukan, saya pun dibuat jatuh cinta.

Part 1 - Justine.
Bagian pertama ini mengambil latar waktu di malam pesta pernikahan Justine (Kirsten Dunst) dan Michael (Alexander Skarsgard). Diawali dengan keterlambatan kedua mempelai ke tempat pesta—sebuah rumah megah bagaikan istana milik kakak Justine, Claire (Charlotte Gainsbourg), dan suaminya, John (Kiefer Sutherland)—acara kemudian berlangsung dengan tak semestinya. Ditambah dengan ketegangan antara kedua orangtua Justine (diperankan oleh John Hurt dan Charlotte Rampling), yang tampak sebagai figur orangtua non-ideal, pesta ini semakin memancarkan aura yang tidak menyenangkan. Keadaan ini semakin mempengaruhi kondisi mental Justine hingga meruntuhkan keyakinannya atas keputusan yang telah ia buat untuk menikahi Michael. Seperti judulnya, bagian pertama ini adalah tentang Justine. Seorang anak manusia yang awalnya terlihat bahagia dengan senyum menghiasi wajahnya, namun lama kelamaan kebahagiaan itu hilang tertutup bayangan kelam di wajahnya. Bagaikan bintang Antares yang hilang tertutup sebuah planet asing pembawa malapetaka. Sebuah melankolia.

Part 2 - Claire
Kondisi Justine semakin lama semakin parah. Kerja mental dan fisiknya terganggu. Untuk melakukan aktivitas sederhana saja ia kesulitan. Karena khawatir, akhirnya Claire menampung adik satu-satunya itu di rumahnya. Namun kekhawatiran Claire bukan hanya berpusat pada kondisi Justine semata. Ada satu hal lain yang mulai mengganggunya, yaitu sebuah planet yang diberi nama Melancholia. Planet tersebut dikabarkan kian bergerak mendekati Bumi. Pergerakan yang menghancurkan, diistilahkan dengan "dance of death". Melihat kekhawatiran Claire, John yang seorang astronomer berusaha meyakinkan istrinya tersebut bahwa Melancholia dan Bumi hanya akan saling "berpapasan", tidak akan ada tabrakan seperti yang dikhawatirkan sebelumnya. Kendati begitu, kekhawatiran Claire tetap berlanjut. Ia yang mulanya terlihat tegar, akhirnya mulai goyah diguncang rasa cemas dan ketakutan akan datangnya hari dimana kedua planet saling bertubrukan. Dalam keadaan penuh tekanan ini, anehnya justru Justine yang terlihat lebih tegar. Ia menyikapi kemungkinan terjadinya kiamat itu dengan tenang. Akhir dari sebuah melankolia?


Dengan membagi film ini ke dalam dua bagian, von Trier seolah ingin menunjukan sebuah kontras dari kondisi dua wanita yang dijadikan judul per bagiannya. Di bagian pertama, sang adik yang mulai terserang depresi parah mengkondisikan dirinya sebagai yang lemah, sedangkan sang kakak yang terlihat tegar dan mengambil alih keadaan bertindak sebagai yang kuat. Di bagian kedua, sang adik yang kondisi mental dan fisiknya terlihat parah justru berubah menjadi yang kuat ketika keadaan di luar semakin menekan. Berbanding terbalik dengan sang kakak yang berubah menjadi lemah saat tekanan semakin berat. Ini adalah sebuah studi karakter yang menarik. Walaupun saya tidak begitu mafhum benar dengan kondisi seseorang yang terkena depresi berat, namun apa yang digambarkan von Trier melalui filmnya ini—berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri kala teserang depresi—berhasil meyakinkan saya akan kondisi tersebut. Dan keyakinan tersebut tentunya tidak akan begitu saja terbentuk tanpa peran para pemainnya dalam menghidupkan tiap karakter yang ada. Kehebatan akting Kirsten Dunst di sini ternyata memang bukan hype semata. Juri-juri Cannes memberinya predikat aktris terbaik bukan tanpa sebab. Dia bukan lagi gadis pujaan si friendly neighbourhood berkostum laba-laba. Dunst telah bertransformasi menjadi aktris yang semakin dewasa dan siap dengan peran-peran menantang berikutnya. Lalu jangan lupakan satu aktris lain yang sebelumnya juga pernah bekejasama dengan Lars von Trier dalam filmnya yang menghebohkan (kapan sih dia tidak membuat heboh?), Antichrist. Dialah Charlotte Gainsbourg. Kemampuan aktingnya di sini tidak kalah dengan Dunst. Penghayatannya mengagumkan, terutama di bagian kedua, menjelang akhir film. Akting kuat dari mereka berdua juga ditopang oleh barisan pemain pendukung lain yang semuanya bermain dengan baik.

Seperti yang sudah saya singgung di paragraf awal, opening film ini sangat kuat. Sebuah highlight yang membuat mood untuk menonton film ini semakin naik. Dari awal saja sudah terlihat bahwa film ini akan diisi oleh gambar-gambar cantik nan magis. Dan itu terbukti dengan sinematografi yang efektif dan menawan di sepanjang film. Selain adegan pembuka, adegan di menit-menit menjelang film berakhir pun tidak kalah cantik. Mata ini seolah terpaku ke layar, tak kuasa berpaling dari keindahan yang tersaji. Jika opening-nya mampu membuat saya tertarik untuk mengikuti terus kelanjutan ceritanya, maka ending-nya sukses membuat saya terus mengingat film ini sebagai sebuah sajian kelam namun memukau.

Sebelum ini, karya dari Lars von Trier yang pernah saya tonton hanyalah Dancer In The Dark yang saya akui luar biasa, terutama untuk kemampuannya dalam melibatkan emosi penonton. Melancholia tidak sehebat itu efeknya bagi saya, namun ini tetaplah brilian. Banyak yang mengatakan bahwa film ini adalah karya von Trier yang paling "ramah", mengingat resume film-filmnya selama ini yang terkenal banyak menampilkan materi yang disturbing. Dan menurut saya ini bukan film yang bisa dinikmati semua orang mengingat muatan cerita serta karakter-karakternya yang memang dibuat kental nuansa depresifnya, sehingga kemungkinan akan membuat beberapa orang merasa tidak nyaman saat menontonnya. Walaupun begitu, saya tetap merekomendasikan film ini bagi anda semua para penikmat film. You will be mesmerized all the way through.

Rating : 8/10

No comments:

Post a Comment