Sunday, November 27, 2011

[Review] Another Earth (2011)


Genre : Drama, Sci-Fi | Pemain : Brit Marling, William Mapother, Matthew-Lee Erlbach, DJ Flava | Sutradara : Mike Cahill | Penulis : Brit Marling, Mike Cahill | Distributor : Fox Searchlight Pictures | Durasi : 92 menit | MPAA : PG-13 for disturing images, some sexuality, nudity and brief drug use
"Within our lifetimes, we've marveled as biologists have managed to look at ever smaller and smaller things. And astronomers have looked further and further into the dark night sky, back in time and out in space. But maybe the most mysterious of all is neither the small nor the large: it's us, up close. Could we even recognize ourselves, and if we did, would we know ourselves? What would we really like to see if we could stand outside ourselves and look at us?"
-Richard Berendzen-


Awalnya ia hanya berupa titik kecil yang menghiasi langit, bagaikan bintang yang bersinar, namun berwarna biru. Lama kelamaan, titik biru kecil itu semakin jelas terlihat, menampakan wujud aslinya. Bumi. Semua orang terpesona dengan keindahannya, lantas dibuat bertanya-tanya, bagaimana mungkin mereka bisa melihat bumi di hamparan langit itu sementara mereka sendiri sedang menginjakan kaki di atas bumi. Para ilmuwan pun bertindak, lantas menyimpulkan bahwa benda asing itu memang bumi. Bumi ke-2. Sebuah duplikat bumi yang sama persis. Bukan hanya planetnya, namun juga semua penghuninya. Manusia. Kita. Ya, ada kita yang lain di sana.

Penemuan sebuah planet baru dalam sistem tata surya adalah suatu hal yang cukup menarik. Namun ketika planet tersebut memiliki bentuk fisik, bahkan penghuni yang sama persis dengan bumi dimana kita hidup selama ini, tentu itu jauh lebih menarik lagi. Ide tentang penemuan "parallel earth" ini terdengar menjanjikan untuk dijadikan premis sebuah film sci-fi bukan? Dan ide inilah yang coba dituangkan oleh Mike Cahill melalui film terbarunya yang naskahnya ia tulis bersama koleganya saat kuliah dulu sekaligus aktris utama dalam film ini, Brit Marling. Namun jangan harap anda akan menemukan sebuah kisah yang kental dengan unsur sci-fi, seperti eksplorasi lebih jauh mengenai planet baru tersebut atau kisah yang mengulas konflik antara manusia bumi dengan duplikatnya di planet itu misalnya. Sebaliknya, yang akan anda dapatkan di sini adalah sebuah drama tentang dosa masa lalu, penyesalan, penebusan dosa, dan kisah cinta yang berkembang diantaranya.


Adalah Rhoda Williams (Brit Marling), seorang siswi SMA yang baru saja lulus dan diterima kuliah di MIT, sebuah universitas bergengsi di Cambridge. Setelah asyik berpesta dan pulang dalam keadaan mabuk, ia mendengar berita di radio tentang ditemukannya sebuah planet yang mirip dengan bumi. Teralihkan perhatiannya, tanpa sadar mobilnya melaju kencang dan menabrak mobil lain yang berakibat tewasnya dua dari tiga orang yang berada dalam mobil tersebut. Empat tahun berlalu, diceritakan bahwa Rhoda akhirnya bebas dari hukuman penjara dan kembali tinggal bersama keluarganya. Hasratnya untuk kembali melanjutkan sekolah menurun drastis dan ia malah melamar pekerjaan menjadi tukang bersih-bersih. Suatu hari, tanpa sengaja ia melihat sosok seorang pria, yang kembali mengingatkan ia akan dosa masa lalunya. Pria tersebut adalah John Burroughs (William Mapother), seorang profesor sekaligus komposer yang mesti kehilangan anak dan istrinya karena kecelakaan tragis empat tahun lalu. Dari sini dimulailah usaha Rhoda untuk menata kembali hidupnya dengan berusaha sekeras mungkin memulihkan kondisi mental John, walau tanpa membuka identitas dirinya sebagai penyebab kesengsaraan hidup pria tersebut.


Dari ringkasan cerita di atas, jelas terlihat bahwa film ini lebih menitikberatkan pada bobot dramanya ketimbang sci-fi. Ya, skenario kemunculan planet baru yang dijuluki Earth 2 memang sekilas tampak sebagai tempelan belaka yang berfungsi memberi warna lain pada drama bertempo lambat ini. Maka jangan kaget apalagi marah-marah jika anda penonton yang kritis ataupun pemerhati film-film bertema fiksi ilmiah menemukan beberapa lubang dalam naskahnya. Saya saja yang sama sekali awam mengenai ilmu astrofisika atau apapun itu namanya, merasakan adanya keanehan dengan kemunculan planet duplikat yang semakin lama semakin mendekati bumi itu. Tapi kembali lagi, yang ingin ditonjolkan di sini adalah unsur dramanya, dan untuk itu, film ini cukup berhasil. Malah dengan menyertakan teori "parallel earth" tersebut, film ini jadi memiliki sesuatu yang lebih untuk mengajak penontonnya—dalam hal ini saya—untuk berpikir dan berasumsi. Jika benar bahwa di bumi ke-2 itu ada diri kita yang lain, apakah nasib mereka sama dengan kita? Apakah kejadian buruk yang menimpa kita di masa lalu dialami juga oleh diri kita yang lain di sana? Apa yang akan kita lakukan jika kita memiliki kesempatan untuk bertemu dengan diri kita yang lain? Pertanyaan apa dan kenapa pun bermunculan, yang membuat film ini menjadi menarik dan thought-provoking. Endingnya pun menarik, terbuka, membuat saya kembali berasumsi. Kesimpulannya, pemunculan Earth 2 boleh dibilang cuma tempelan, tapi juga berhasil membuat banyak pemikiran tertempel di benak kita. Imho.


Dalam kapasitasnya sebagai film indie berbujet kecil, film ini masih terbilang cukup baik ketika ditinjau dari segi teknis. Dengan banyak memakai hand-held camera dan close-up shots (maafkan jika istilah yang saya pakai kurang tepat), Mike Cahill berhasil menangkap emosi karakternya dengan baik. Beberapa gambar yang ia ambil juga cukup indah dipandang, terutama ketika kamera membingkai sosok Rhoda saat berjalan menjauhi kamera, mendekati pantai sambil menatap planet yang dikelilingi awan putih berlatar langit biru. Indah dan unik. Berbicara soal unik, adegan ketika John memainkan musik dengan menggunakan gergaji cukup mencengangkan. Belum pernah saya melihat gergaji difungsikan sebagai alat penghasil suara yang bukan hanya unik, tapi juga menghipnotis. Bravo untuk Natalia Paruz—dikenal juga dengan julukan "Saw Lady"—yang berhasil mengubah alat perkakas menjadi sebuah instrumen musik yang bisa dibilang otherworldly.

Berkenaan dengan performa aktor-aktrisnya, saya telah menyaksikan sebuah bakat baru di perfilman Amerika dalam diri seorang Brit Marling. Aktris sekaligus kolega Mike Cahill yang juga pernah bekerjasama dalam memproduksi dokumenter Boxers and Ballerinas (2004) ini sanggup menampilkan karakter yang menarik simpati penonton. Salah satu adegan yang memorable yaitu saat ia menceritakan kisah tentang seorang kosmonot Rusia yang mengalami delusi di angkasa luar. Marling menampilkannya dengan luwes, sedikit jenaka, dan menentramkan. She's the next big thing in Hollywood for sure. William Mapother yang dikenal melalui serial Lost, juga menunjukan performa yang pas sebagai karakter pria yang kehilangan arah pasca kematian keluarganya. Berdua, mereka mengisi durasi film dengan olah peran yang menawan.

Sebagai pemenang penghargaan Alfred P. Sloan Prize dalam Sundance Film Festival awal tahun ini, Another Earth sudah cukup mempunyai daya tarik untuk memikat penonton, khususnya penikmat film indie. Namun tanpa melihat berbagai pujian yang didapat pun, film ini memang masih layak tonton. Dengan mengesampingkan beberapa kekurangan yang ada, ini adalah sebuah sajian drama dengan sedikit bumbu fiksi ilmiah yang cukup sayang untuk dilewatkan.

Rating : 7/10

No comments:

Post a Comment