Friday, April 1, 2011

The Last House On The Left (1972)


Genre : Horror/Thriller | Pemain : Sandra Cassel, Lucy Grantham, David A. Hess, Fred Lincoln, Jeramie Rain, Marc Sheffler, Gaylord St. James, Cynthia Carr | Sutradara : Wes Craven | Penulis : Wes Craven | Distributor : Hallmark Releasing Corp | Durasi : 84 menit

"Listen to daddy. I want you to take the gun, and I want you to put it in your mouth, and I want you to turn around and blow your brains out."
-Krug-


Saat mendengar nama Wes Craven, yang langsung terlintas di benak saya adalah sebuah film slasher berjudul Scream. Ya, film tersebut adalah perkenalan pertama saya dengan Wes Craven, salah satu maestro film horor Amerika. Dengan naskah yang cerdas serta penuh referensi film-film horor lawas, Scream hadir untuk bersenang-senang sekaligus memberi warna baru pada genre slasher di medio 90-an. Sebuah gebrakan luar biasa dari sang maestro. Namun sebelum kemunculan Scream, beliau juga sudah pernah membuat gebrakan yang mengejutkan dunia perfilman di Amerika melalui debut filmnya yang berjudul The Last House On The Left pada tahun 1972 silam.

Salah satu komponen menarik dari karya pertama Wes Craven ini adalah materi promosinya. Coba saja lihat satu versi posternya yang saya pajang di atas. Dengan ilustrasi yang cukup disturbing, plus tagline atau lebih tepatnya peringatan yang dicantumkan di kanan bawah dengan bunyi, "To avoid fainting keep repeating, it's only a movie...only a movie...", rasa penasaran calon penonton sudah pasti terpancing. Saya sendiri yang memang menyukai film-film bergenre horor, ingin membuktikan seberapa menakutkannya film yang sempat menuai kontroversi berkepanjangan di beberapa negara ini.

Seorang gadis bernama Mari Collingwood (Sandra Cassel) berencana merayakan malam ulang tahunnya yang ke-17 dengan menonton konser sebuah band underground bersama teman barunya Phyllis Stone (Lucy Grantham) di New York. Malam yang semula menyenangkan berubah menjadi petaka ketika mereka bertemu dengan kelompok buronan pimpinan Krug Stillo (David A. Hess). Bersama partnernya, Weasel (Fred Lincoln) dan Sadie (Jeramie Rain), serta anaknya yang drug addict, Junior (Marc Sheffler), Krug menjadikan Mari dan Phyllis sebagai objek kebiadaban mereka. Orangtua Mari yang khawatir karena anak mereka tidak pulang-pulang belum menyadari bahwa sebenarnya keberadaan Mari dan para penculiknya sangatlah dekat dengan kediaman mereka. Kisah ini pun akhirnya berujung pada klimaks berdarah yang menggambarkan bahwa kekerasan hanya akan memancing tindak kekerasan lainnya.

Selesai menonton, saya mengerti mengapa film ini banyak menuai kontroversi hingga beberapa adegannya harus kena pangkas gunting sensor. Muatannya cukup mengganggu untuk disaksikan pada zamannya, bahkan untuk saat ini pun saya rasa film ini masih bisa membuat beberapa orang tidak nyaman ketika menontonnya. Adegan yang menampilkan kebejatan Krug beserta gengnya terhadap Mari dan Phyllis saya jamin akan membuat miris siapapun yang menyaksikannya. Penataan kamera serta gambar yang cenderung grainy membuat film ini tampak menyerupai dokumenter sehingga mempertegas kesan realisme. Inilah yang membuatnya semakin tidak nyaman untuk ditonton karena kita bagaikan disuguhi sebuah dokumentasi nyata kejadian mengerikan ini. Oke, saat ini mungkin banyak film lain yang muatan kekerasannya jauh lebih brutal dibandingkan dengan yang ditampilkan Wes Craven disini. Namun saya rasa kebanyakan masih terasa kepalsuannya, tidak seperti film ini yang memberikan kesan nyata hingga membekas di ingatan.

Ada beberapa poin yang bisa disebut sebagai kekurangan dalam film ini. Pertama, akting para pemainnya yang terlihat amatir serta penempatan karakter yang kurang pas. Kehadiran dua tokoh polisi yang sepertinya diposisikan sebagai karakter comic relief, tampil konyol dan cukup mengganggu. Sandra Cassel dan Lucy Grantham yang berperan sebagai korban, serta David A, Hess yang memerankan tokoh Krug mungkin yang paling lumayan. Poin kedua adalah dimasukkannya musik latar yang bernada ceria dan cenderung komikal, sangat kontradiktif dengan mood filmnya yang gelap. Musik latar tersebut beberapa kali sukses mengalihkan perhatian saya, dan ini bukan dalam artian baik. Poin terakhir adalah komponen yang sejatinya merupakan bagian vital dalam sebuah film, yaitu plotnya sendiri. Plot hole memang hal yang lazim ditemui dalam sebuah film, tak terkecuali film ini yang memuat beberapa adegan tak masuk diakal sampai insiden-insiden yang kesannya terlalu kebetulan. Masih bisa dimaklumi, tapi tetap terasa mengganjal.

Dengan segala kekurangan yang ada, saya tetap menganggap bahwa debut Wes Craven ini adalah sebuah karya penting yang patut ditonton. Konon, film ini juga dimaksudkan sebagai kritik sosial terhadap perang Vietnam yang saat itu sedang memanas. Tiap hari media mengangkat berita mengenai kekejaman perang yang merenggut nyawa banyak orang. Melalui film ini, Wes Craven mengeksplor sejauh mana kemampuan manusia untuk melakukan tindak kekerasan terhadap sesamanya. Dan melalui klimaks sampai ending film, beliau juga ingin memperlihatkan sejauh mana seseorang mampu bertindak saat apa yang paling dicintainya direnggut paksa. Sebuah debut yang mencengangkan dari seorang Wes Craven.

Rating : 7.5/10

No comments:

Post a Comment