Wednesday, September 9, 2009

Bandslam (2009)

Genre : Drama/Comedy/Family/Music/Romance

Pemain : Gaelan Connell, Vanessa Hudgens, A
ly Michalka, Lisa Kudrow

Sutradara : Todd Graff

Penulis : Josh A. Cagan, Todd Graff


Distributor : Summit Entertainment

Durasi : 111 menit

MPAA : Rated PG for some thematic elements and mild language


Will Burton : "School today was like Guantanamo with a lunch period."


Awalnya, saya kira film ini bakal menjadi the next High School Musical dengan sedikit sentuhan School Of Rock, secara dua bintang utamanya—Aly Michalka dan Vanessa Hudgens adalah "produk" keluaran Disney. Bukan berarti saya membenci High School Musical—bahkan saya cukup enjoy saat menonton sekuel teranyarnya, tapi film model begini sepertinya hanya akan menjadi pengulangan dari film-film sejenis. Plot setipis kertas, jajaran pemain muda dengan fisik rupawan, dan berbagai hal-hal klise yang sering muncul dalam film-film remaja Hollywood sepertinya akan saya temui juga dalam film ini. Namun, seketika saya bagai dihajar oleh para kritikus luar yang mayoritas memberi tanggapan positif terhadap film ini. Hmm, akhirnya saya merasa bahwa film ini cukup worth watching. Memang review kritikus bukanlah segalanya, tapi setidaknya bisa dijadikan referensi. Jarang-jarang kan ada film remaja yang mendapat tanggapan sebagus ini. Dan akhirnya niat saya menonton pun semakin bertambah dengan kemurahan hati salah satu jaringan bioskop lokal yang bersedia mengimpor film ini, bahkan merilisnya di waktu yang hampir bersamaan dengan waktu perilisan di negara asalnya.

The story is about a misfit teenager finding his moment in a right place through his passion of music (kira-kira begitu lah). And that misfit teenager is Will Burton (Gaelan Connell), objek penderita bagi teman-teman di sekolahnya yang menganggapnya tidak lebih dari seorang nerd dengan panggilan Dewey. Selain iPod, sarana eskapisme dari realita hidupnya adalah dengan menulis e-mail yang seperti jurnal harian kepada musisi idolanya, David Bowie. Hidupnya seakan menjadi lebih cerah saat ibunya (Lisa Kudrow) memutuskan untuk pindah ke New Jersey karena mendapat pekerjaan baru yang lebih menjanjikan. Tapi seketika Will menyadari bahwa kepindahan itu tidak akan terlalu berpengaruh pada nasibnya, karena yang baru hanyalah lingkungannya, bukan dirinya. Ia akan tetap menjadi Dewey si aneh dari Cincinnati.

And then, seperti yang sudah dapat diduga, nasib Will tidaklah seburuk yang ia pikirkan sebelumnya. Hari pertama di Van Buren—SMA barunya, ia berkenalan dengan Sa5m (baca: Sam—the 5 silent, diperankan Vanessa Hudgens) cewek penyendiri yang menjadi rekannya dalam suatu proyek kelas. Tidak lama, ia juga bertemu dengan Charlotte (Aly Michalka), cewek keren extrovert yang tiba-tiba "memaksanya" untuk menjadi sukarelawan di tempat penitipan anak dan memperkenalkan Will pada band bentukannya. Pengetahuan dan insting musik Will yang sangat baik membuat Charlotte mengangkatnya menjadi manajer band. Band tersebut sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi Bandslam—kontes band lokal tahunan dimana pemenangnya akan mendapat kontrak rekaman dari label ternama. DI luar itu, Charlotte mempunyai tujuan lain, yaitu untuk mengalahkan band mantan pacarnya—Ben Wheatley (Scott Porter) yang dulu pernah tergabung dalam satu band dengannya. Lalu, dimulailah usaha Will untuk melatih band yang ia namai "I Can't Go On, I'll Go On" ini sekaligus menghadapi gejolak asmara yang mulai ia rasakan terhadap Sa5m.

Dengan mengusung tema yang sudah sangat familiar, secara mengejutan film ini mampu tampil fresh dan sangat menyenangkan untuk ditonton. Jangan tertipu dengan strategi marketing yang seolah menggambarkan bahwa ini adalah another High School Musical clone, because it's definitely not. Di sini tidak ada sekumpulan remaja yang menyanyi dan menari saat mereka jatuh cinta atau saat ada masalah menghadang layaknya di film-film Bollywood. Segera setelah menyaksikan film ini saya merasa bahwa High School Musical trilogy sangatlah lebay dan tampak terlalu menyepelekan persoalan. Ya, sebenarnya dalam film ini juga ada beberapa hal yang sepertinya too good to be true in real life, tapi secara keseluruhan tidak terasa mengganggu dan masih terkesan wajar.

Salah satu kelebihan yang dimiliki film ini adalah karakterisasi dan akting para pemainnya yang baik (not exceptional, but quite descent). Semuanya tampak wajar dengan porsi peran yang pas. Gaelan Connell—newcomer yang memerankan Will berhasil membawakan perannya sebagai seorang nerd dengan pas, tidak berlebihan sekaligus berkharisma. Dengan tampilan fisiknya yang memang cukup mendukung perannya, aktingnya yang natural cukup menarik perhatian. Aly Michalka sebagai ex-cheerleader yang berubah haluan menjadi frontrunner band juga tampil menawan (she's hot!). Vanessa Hudgens? She's very cute here. Bukan cute lebay ala Gabriella Montez, tapi memang real cute yang tidak dibuat-buat. Dengan intonasi suara datar dan style yang cenderung gelap, ia cukup berhasil melepas imej bright student with sunny smile yang melekat pada dirinya selama ini. Dengan pesonanya, adegan finale di atas panggung jadi makin bersinar. Satu lagi penampilan yang mengejutkan datang dari Lisa Kudrow. Perannya sebagai single mother yang khawatir dengan perkembangan anaknya yang terasa begitu cepat dibawakannya dengan meyakinkan, tanpa memperlihatkan histeria berlebihan.

Untuk ukuran film remaja, dialog yang ditampilkan cukup berbobot bahkan bisa dibilang cerdas, tanpa perlu mengumbar kata umpatan maupun humor vulgar. Yang pasti film ini cukup aman untuk dikonsumsi oleh anak kecil sekalipun (no wonder lah, secara nama Walden Media ada di belakang proyek ini). Humor yang ditawarkan tidak berlebihan, menggelitik sekaligus menggemaskan. Masih terbayang bagaimana Will yang benar-benar buta soal cewek diajari Charlotte trik-trik mencium cewek, dan puncak kelucuan adalah saat ia mencoba mempraktekannya pada Sa5m. Sumpah, adegan ini sangat sangat lucu—simply adorable. Film ini juga sedikit mengingatkan saya pada Nick & Norah's Infinite Playlist, terutama saat Will dan Sa5m menghabiskan waktu bersama sambil mengunjungi empat-tempat favorit mereka. Yang paling seru adalah saat mereka berhasil menyelinap masuk ke CBGB—klub musik legendaris yang bisa dikatakan sebagai tempat lahirnya komunitas punk di Amerika. Selain momen-momen menyenangkan tersebut, film ini tidak lupa menghadirkan momen-momen emosional yang cukup mengena.

Jangan lupa bahwa film ini juga tentang musik, malah lebih tepatnya musik adalah salah satu jualan utama film ini. Tipe film seperti ini tentunya harus memuat musik yang appealing bukan? Dan untungnya jualan utamanya tersebut ditampilkan dengan sangat segar dan mengasyikkan untuk disimak. Semua pemainnya tampak sangat nyaman saat menampilkan kemahiran mereka dalam bermusik yang membuat penonton merasa ikut senang saat menyaksikannya. Adegan finale-nya sangat School Of Rock, tapi tidak menjadi masalah berarti dan masih dapat dimaklumi. Setelah selesai menonton, saya merasa wajib untuk memiliki soundtrack-nya yang diisi David Bowie, Velvet Underground, sampai Wilco, dan tak lupa dari jajaran cast-nya juga seperti Aly Michalka, Vanessa Hudgens sampai band fiktif (atau asli?) I Can't Go On, I'll Go On.

Dengan semua aspek positif yang dimiliki, sebenarnya film ini berpotensi menjadi sleeper hit di akhir summer. Sayangnya, promosi yang buruk serta hype film-film lain yang lebih besar seperti G.I. Joe dan District 9 cukup menenggelamkan eksistensi film ini yang seolah dilirik pun tidak, terbukti dengan raihan dollar yang sangat minim di minggu pertama perilisannya. Walaupun tergolong underrated di kalangan penonton umum, tidak dapat dipungkiri bahwa film ini adalah sebuah kejutan manis di penghujung summer yang seharusnya bisa mendapatkan sambutan yang lebih baik.

7.5/10

No comments:

Post a Comment