Wednesday, July 1, 2009

Transformers : Revenge Of The Fallen (2009)

Genre : Action/Adventure/Sci-Fi

Pemain : Shia Labeouf, Megan Fox, John Turturro, Ramon Rodriguez

Sutradara : Michael Bay

Penulis : Roberto Orci, Alex Kurtzman, Ehren Kruger

Distributor : Paramount Pictures

Durasi : 150 menit

MPAA : Rated PG-13 for intense sequences of sci-fi action violence, language, some crude and sexual material, and brief drug material


"Revenge is coming."

Sebelum membahas film ini, saya ingin sedikit menyinggung prekuelnya yang sukses luar biasa (it's a blah, actually). Sebenarnya apa sih yang membuat proyek Transformers bisa begitu sukses—baik dari segi perolehan dolar maupun respon positif dari mayoritas penontonnya? Jika pertanyaan tersebut ditujukan pada saya, maka jawabannya akan sangat sederhana—film ini sungguh menghibur. Apakah faktor hiburan saja bisa membuat jutaan orang berbondong-bondong pergi ke bioskop untuk menyaksikan sebuah film? Ini bukanlah suatu hal yang mustahil karena setahu saya kebanyakan orang menjadikan aktivitas menonton film sebagai sebuah hiburan tersendiri. Bagi saya sendiri, menonton film adalah salah satu sarana eskapisme yang cukup ampuh. Meskipun dalam perkembangannya—saya dan mungkin sebagian orang menganggap film lebih dari sekedar hiburan. Nah, dalam kasus Transformers, film ini tampaknya memang murni dibuat sebagai sebuah hiburan. Cerita yang sangat ringan, ditambah karakter-karakter yang cukup loveable, serta kadar action yang tinggi dibalut dengan special effect yang wah adalah beberapa poin yang coba ditawarkan Michael Bay melalui film ini. Didukung dengan promosi yang gencar—meskipun awalnya sempat menimbulkan kontroversi di kalangan fans mengenai perombakan tampilan robot-robotnya, nyatanya film ini berhasil menuai untung besar dalam peredarannya sekaligus menjungkirbalikan pandangan sinis sebagian orang yang pada akhirnya ikut tercengang dengan apa yang berhasil dicapai oleh seorang Michael Bay—sang spesialis ledakan yang hobi mendramatisir adegan. Seperti kata-kata dalam theme song-nya, Transformers memang more than meets the eye.


Dengan segala kesuksesan yang diraih, kemunculan sebuah sekuel tampaknya merupakan suatu kewajiban yang sulit untuk dicegah. Saya sendiri—yang sangat menikmati film pertamanya, tentu sangat menantikan kehadiran sekuelnya yang saya yakini akan lebih megah dan tentunya memuaskan. Sejak pertama melihat teaser trailer-nya, bayangan akan serunya hasil akhir film ini sudah tertanam di benak saya. Tapi apa yang terjadi? Semakin dekat ke waktu perilisannya, justru antusiasme saya terhadap film calon blockbuster ini semakin menurun. Apalagi setelah melihat final trailer-nya yang membuat saya serasa mengalami deja vu. Aksi baku hantam para robot serta pameran ledakan yang dahsyat benar-benar mengingatkan saya pada film Transformers yang dirilis tahun 2007 lalu. Oh God, will it be a rip-off from its own predecessor? Tapi karena saya ingin berusaha untuk menghargai hasil kerja keras Bay bersama kru-nya, akhirnya saya tonton juga film ini.

Mengenai jalan ceritanya, film ini masih berkisah seputar perseteruan antara para robot dari kubu Decepticon dengan kubu Autobot. Singkat cerita, saat ini pasukan Autobots bekerjasama dengan manusia membentuk sebuah organisasi rahasia bernama NEST (Networked Elements : Supporters and Transformers) yang bertujuan khusus untuk membasmi kaum Decepticon yang masih berusaha mengambil alih bumi. Untuk memperkuat pertahanan mereka, Optimus Prime—sang pemimpin Autobot memanggil rekan-rekan dari planet asalnya untuk turun ke bumi guna mengantisipasi serangan dari kubu Decepticon yang pasukannya juga semakin bertambah. Keadaan semakin ruwet dengan bangkitnya kembali Megatron—sang pemimpin Decepticon yang juga berniat untuk membangkitkan The Fallen, robot dedengkot yang memicu awal mula peperangan abadi antara kaum Autobot dan Decepticon.

Peperangan antar robot ini tidak akan lengkap tanpa kehadiran karakter-karakter manusia. Tokoh sentral di film pertama, Sam Witwicky—yang diceritakan sudah memasuki masa kuliah, masih memegang peranan penting di sekuelnya ini. Sebenarnya, karakter Sam tidak banyak mengalami perubahan dari film pertamanya, tapi untungnya penampilan LaBeouf masih cukup menghibur—terutama saat adegan Sam mendapat "penglihatan" gara-gara All Spark yang masih disimpannya (sumpah, bikin ngakak). Karakter manusia yang kehadirannya tidak kalah penting—terutama buat kaum pria, tentunya adalah sosok Mikaela Banes yang tetap diperankan si seksi Megan Fox. Entah cuma perasaan saya atau memang di film ini si Fox nambah hot aja? Hmmm... so delicious, hehe. Selain dia, kehadiran seorang bombshell baru bernama Isabel Lucas juga cukup membuat saya penasaran. Tapi, setelah melihat langsung di layar, ternyata penampilannya tidak terlalu berkesan, at least for me. Sangat terlihat kalau si Lucas ini berusaha mengeluarkan sex appeal-nya di sepanjang adegan, yang sayangnya masih kalah dengan magma yang ditimbulkan oleh Fox. Akhirnya kemunculan dia jadi terasa kurang penting. Yang berhasil menjadi scene stealer justru karakter Leo Spitz, teman sekamar Sam yang diperankan Ramon Rodriguez. Adegan kesetrum itu loh, biarpun slapstick tapi berhasil membuat semua penonton di bioskop terbahak. Kehadiran kembali John Turturro sebagai Agent Simons—yang kali sudah "turun pangkat", juga berhasil menghidupkan suasana dan anehnya memiliki chemistry yang unik saat berada dalam satu layar dengan Ramon Rodriguez.

Oke lah, untuk urusan cast, film ini masih lumayan. Bahkan orangtua Sam—terutama ibunya yang sangat annoying masih bisa menghibur. Tapi sebenarnya yang ditawarkan film ini bukan itu kan? Dari judulnya saja, jelas-jelas film ini menjual aksi robot-robot yang bisa bertransformasi—yang terbukti ternyata bukan hanya bisa berubah menjadi alat transportasi atau alat elektronik seperti di film pertama. Dengan semakin melubernya robot-robot di film ini, menurut anda kemungkinan apa yang dapat terjadi? Ya benar, semakin banyak aksi dan ledakan yang sangat disukai Michael Bay dan mungkin mayoritas penonton yang turut memberi andil dalam kesuksesan film pertamanya di pasaran. Untuk urusan jualan utamanya ini, saya akui Bay memang jagonya. Kehadiran robot yang lebih beragam serta aksi dengan ledakan yang lebih heboh. Tapi apakah hal tersebut berhasil mengangkat kualitas film ini, atau setidaknya membuat film ini jadi lebih menghibur dibanding film pertamanya? Entah apa pendapat orang, tapi menurut saya jelas tidak. Padahal sebelum nonton, saya sudah mengatur mindset saya agar menganggap bahwa film ini hanyalah sebuah hiburan mengasyikan yang tidak perlu ditelaah lebih jauh. Tapi semakin film berjalan, saya malah semakin bosan dengan aksi ledak-ledakan yang dipamerkan Michael Bay. Sungguh melelahkan melihat adegan-adegan tersebut. Believe it or not, saya bahkan sempat beberapa kali tertidur saat adegan perang di Mesir, padahal sound-nya benar-benar bising. Yang membuat saya bosan adalah karena menurut saya film pertamanya sudah menyajikan segalanya, sehingga tidak ada lagi yang bisa ditampilkan di sekuelnya kecuali pengulangan yang sengaja dibuat lebih meriah. Dan untuk yang mengikuti film-film Michael Bay, ciri khasnya juga masih muncul disini—seperti scene matahari atau orang-orang berjalan beriringan dengan teknik slow motion dan diiringi musik yang sengaja dibuat dramatis. Huft, entah apa lagi yang bisa saya bahas dari film ini, yang pasti menurut saya dari semua summer movie yang sudah beredar, inilah film yang paling lemah dan membosankan. Kebalikan dari prekuelnya, film ini ternyata less than meets the eye.

5/10

No comments:

Post a Comment