Monday, January 31, 2011

10 Movies Of 2010 : The Way They Make Me Feel

Salah satu faktor yang membuat saya begitu mencintai film adalah emosi serta sensasi yang saya rasakan selama dan setelah menontonnya. Dengan waktu putar yang rata-rata hanya sekitar 2 jam, sebuah film bisa memberikan pengalaman yang beragam, bahkan tidak jarang mampu mengubah cara pandang saya terhadap berbagai hal. Setiap film memiliki cara bertutur masing-masing dan tentunya memberi efek yang berbeda terhadap saya sebagai penonton, apakah itu membuat saya terbahak sampai mulas dengan kelucuannya atau membuat jiwa saya tercabik (halah!) dengan kegetirannya. Di tahun 2010, saya sudah menonton berbagai jenis film yang memberi kesan tersendiri. Berikut ini adalah 10 film paling saya ingat yang memberikan berbagai kesan di tahun 2010 silam.


Makes Me Shivering Just By The Presence Of Its Main Antagonist
Rumah Dara

Ranah perfilman Indonesia, khususnya dalam genre horor, seolah mendapat transfusi darah segar melalui kemunculan Rumah Dara garapan duo sutradara muda, The Mo Brothers. Di tengah gempuran horor busuk yang mayoritas mengeksploitasi unsur sensualitas sebagai faktor pemikat (maunya si produser), film ini memang terasa begitu segar sekaligus mendobrak kelesuan yang semakin menjadi. Di luar plotnya yang sangat klise serta beberapa adegan yang mirip dengan slasher buatan luar, film yang merupakan pengembangan dari sebuah film pendek berjudul Dara ini berhasil menghadirkan cita rasa lokal yang begitu kentara. Dan yang pasti, kekuatan utama film ini juga terletak pada karakterisasi tokoh antagonisnya, Ibu Dara. Tokoh yang diperankan Shareefa Daanish ini begitu menakutkannya sampai membuat saya bergidik hanya dengan kemunculannya di layar. Tatapan matanya, gaya bicaranya (yang anehnya banyak mendapat kritikan), bahkan aura yang dibawanya begitu membekas sehingga resmi menasbihkannya sebagai tokoh horor ikonik. Cukup sulit dipercaya bahwa karakter penuh horor ini dibawakan oleh si waitress konyol dari sitcom Coffee Bean. Bravo Daanish!


Makes Me Believe That Dreamworks Animation Is The Real Deal
How To Train Your Dragon

Jujur, film-film animasi produksi Dreamworks menurut saya memiliki kualitas yang cenderung biasa. Terhitung hanya Shrek (1 & 2) serta Kung Fu Panda yang cukup membuat saya terkesan dengan muatan yang dikandungnya. Sisanya, walaupun mayoritas menawarkan komedi yang sanggup memancing tawa, namun secara keseluruhan tidak meninggalkan kesan berarti. Saat produksi terbaru mereka yang berjudul How To Train Your Dragon hendak dirilis, antusiasme saya hampir nol. Sekilas, saya merasa tidak ada yang menarik sama sekali dari animasi yang juga dirilis dalam format 3D ini. What a sceptical me! Tapi, berhubung saya sedang keranjingan film dengan kemasan 3D, plus ada nama Dean DeBlois dan Chris Sanders—duo yang pernah sukses menggarap Lilo & Stitch, saya pun menyempatkan diri untuk menonton film ini. Dan apa yang terjadi? Saya sangat menyesal sempat menganggap remeh film ini, karena hasilnya ternyata luar biasa. Animasinya begitu halus dan memanjakan mata dengan penggunaan efek 3D yang maksimal. Namun yang paling utama adalah alur ceritanya yang penuh makna dan berbobot. Kadar humornya pas, seimbang dengan muatan dramanya. Film ini terkesan lebih dewasa dalam bertutur dibanding mayoritas animasi Dreamworks sebelumnya, yang semakin tergambar melalui endingnya yang sempat membuat mata saya berair. Sekarang patut saya akui bahwa eksistensi Dreamworks dalam industri film animasi sangat patut diperhitungkan. Watch out, Pixar!


Makes Me Go "Hoaaaahemmm" And Then "Zzzzzzzz"
Alice In Wonderland

Sebuah reka ulang cerita klasik Alice In Wonderland akan ditangani oleh Tim Burton? Am I dreaming? Hit me! Yeah, betapa girangnya saya saat pertama kali mendengar berita tersebut. Saya memang menyukai teknik penceritaan Burton serta gaya visualnya yang bernuansa gothic dalam film-film garapannya sebelumnya. Alhasil, proyek terbarunya bersama Disney ini sangat saya antisipasi. Dengan semua materi promo yang membuat rasa penasaran ini semakin membuncah, perilisan filmnya di bulan Maret pun saya sambut dengan penuh antusias. Saya percaya bahwa film ini akan begitu menyenangkan untuk disantap. Namun apa daya, sekeras apapun saya mencoba untuk menyukai film ini, pada kenyataannya justru kebosanan dan rasa kantuk yang saya dapatkan. Visualnya saya akui memang luar biasa unik dan imajinatif. Namun keunggulan visual saja tidak mampu menyelamatkan keseluruhan film yang alurnya bisa dibilang membosankan. Ditambah dengan akting para pemainnya yang kurang berkesan (kecuali Helena Bonham Carter yang cukup berhasil menjadi scene stealer), mata ini pun semakin berat untuk terus terbuka. Tertidur di bioskop walau hanya sekejap adalah hal yang sangat saya hindari, dan sayangnya film ini tidak mampu membuat saya menghindarinya. *sigh*


Makes Me Want To Hug Everyone Involved In This Project
Toy Story 3

Tidak terasa, sudah 15 tahun berlalu sejak Pixar menelurkan animasi panjang pertama mereka yang berjudul Toy Story. Film ini banyak disebut sebagai pelopor animasi CGI dengan teknik yang luar biasa di masanya dan berhasil memikat hati banyak orang dari berbagai usia. Karakter Woody dan kawan-kawan mainan lainnya begitu membekas sehingga petualangan mereka di instalmen terbaru Toy Story tentunya disambut antusias oleh berbagai kalangan. Saya sendiri yang bisa dibilang tumbuh bersama Andy dan mainan-mainannya tentu tidak akan melewatkan momen menyenangkan ini. Toy Story 3 bagaikan ajang reuni saya dengan teman-teman yang sudah lama tidak saya temui. Saat pertama kali melihat trailernya, dimana tokoh Andy digambarkan sudah beranjak remaja, saya mulai merasakan bahwa ini akan menjadi sebuah pengalaman sinematik yang begitu emosional. Setelah menyaksikan filmnya secara utuh, memang itulah yang saya rasakan. Makna yang terkandung sangatlah dalam dan menyentuh. Di sepanjang film, emosi saya dibuat naik-turun dan semuanya bermuara di penghujung film. Ini adalah salah satu ending film terbaik sepanjang masa. Sebuah penutup yang sempurna bagi para mainan yang sudah mengisi tempat di hati orang banyak. Congratulations Pixar! This is one of the best things human ever created. *big hug*


Makes Me Amazed With Its Amazing Concept And Execution
Inception

Christopher Nolan adalah salah satu sutradara yang selalu berhasil memuaskan saya dengan film-film besutannya. Setelah meraih kesuksesan luar biasa melalui sekuel sang manusia kelelawar—The Dark Knight, Nolan kembali membuat saya cenat-cenut dengan karya terbarunya, Inception. Detail plot film yang ditutup rapat, buzz dari berbagai media, sampai teaser trailernya yang membuat saya penasaran sampai susah makan dan tidur (lebaaay), menjadikan Inception sebagai salah satu film yang paling saya nantikan di tahun 2010. Bulan Juli lalu, rasa penasaran saya pun terjawab tuntas. Dan wow, saya begitu terkesima dengan apa yang dicapai Nolan melalui film ini. Konsep yang sudah ia pikirkan selama bertahun-tahun berhasil dituangkan ke dalam sebuah sajian sinematik yang membius. Jika mau dipikirkan lebih lanjut, ceritanya terbilang sederhana saja. Namun eksekusi yang disajikan Nolan membuat film ini jauh dari kata sederhana. Sebuah film blockbuster yang tidak hanya menjual aksi dan efek visual semata, namun juga ikut mengajak penontonnya untuk berpikir. Saya tunggu karya anda selanjutnya, Nolan!


Makes Me Wonder Why Miley Cyrus Has F*ckloads Of Worshippers
The Last Song

Sebenarnya saya agak malas untuk membagi apa yang saya rasakan setelah menonton satu lagi film yang diadaptasi dari novel karya Nicholas Sparks berjudul The Last Song ini. Namun apa daya, film ini menimbulkan kembali pertanyaan yang sudah sejak lama bergelayut di benak saya. Apa sih yang membuat seorang Miley Cyrus memiliki begitu banyak penggemar fanatik? Oke, perlu diakui bahwa saya sempat menonton beberapa episode Hannah Montana serta mendengarkan lagu-lagu yang dilantukan oleh Miley. Kesan yang ditimbulkan juga tidak buruk. Tapi saya berpendapat bahwa apa yang ia tampilkan di dunia hiburan tidaklah seluar biasa itu sampai begitu banyak orang (errrr...mungkin lebih tepatnya mayoritas remaja tanggung) yang mengidolakannya. But wait, I'm not one of those haters. I'm just curious. Pertanyaan ini semakin menjadi setelah saya menyaksikan The Last Song. Perannya di Hannah Montana mungkin sedikit punya nilai hibur walaupun intensitas cengirannya kadang menakutkan. Tapi dalam film terbarunya ini, saya benar-benar dibuat kesal dengan performanya yang tampak begitu amatir. Pembawaan karakternya sangat tidak meyakinkan. Film yang pada dasarnya memang biasa ini akhirnya semakin tercemar dengan penampilan sang aktris utama yang tidak berkesan sama sekali. Wahai para penggila Miley Cyrus, tolong jawab pertanyaan saya. #pertanyaanpenting #jangandiabaikan


Makes Me Go "What The F*ck?!!" Again And Again
Splice

Oh.My.God. Ini adalah sebuah sajian yang aneh, unik, menarik, aneh, dan aneh. Dari opening creditnya saja sudah tergambar akan seperti apa keseluruhan film ini nantinya. Tema tentang rekayasa genetika memang sudah banyak diangkat ke dalam media film. Melalui karya terbarunya ini, Vincenzo Natali meramu unsur fiksi ilmiah tersebut dengan kadar absurditas tinggi. Dari mulai penampakan Ginger—makhluk kreasi awal dua ilmuwan muda yang diperankan Sarah Polley dan Adrien Brody, sampai tampilan serta tingkah polah Dren (Delphine Chaneac)—makhluk hibrida hasil campuran DNA berbagai hewan plus DNA manusia, semuanya tampak begitu absurd. Beberapa adegannya pun sukses membuat saya ternganga sambil melontarkan kalimat "what the f*ck" berkali-kali. Bahkan saya sempat bergidik saking anehnya adegan yang ditampilkan di layar. Dengan segala keanehan tersebut, bukan berarti ini adalah sebuah tontonan yang buruk. Idenya sebenarnya menarik, ditunjang dengan tata teknis yang baik dan permainan akting yang cukup meyakinkan. Secara keseluruhan, ini adalah sebuah film sci-fi yang lumayan. Namun, saya akan tetap mengingat Splice sebagai sebuah film dengan muatan absurditas yang sukses membuat mulut ini ternganga.


Makes Me Forcing My Mouth To Be The Most Productive Swear Words Maker
Skyline

Sinyal kebobrokan film ini sebenarnya sudah mulai terbaca saat mengetahui nama sutradara yang menanganinya, The Brother Strause. Dua bersaudara ini pernah sukses mencermakan dua franchise besar yang masing-masing memiliki fanbase kuat melalui Aliens vs Predator : Requiem. Mungkin saya terdengar begitu sinis karena langsung mencap buruk karya terbaru mereka hanya berdasarkan kegagalan mereka sebelumnya. Namun review negatif yang dilayangkan oleh banyak kritikus film dan juga para penonton pada umumnya cukup membuat saya antipati terhadap kemunculan film berjudul Skyline ini. Dan berkat suatu kejadian yang tidak perlu saya jabarkan lebih jauh, akhirnya saya pun melangkahkan kaki ke dalam gedung bioskop untuk menjadi saksi seberapa buruknya film ini. Dan ternyata, filmnya lebih buruk dibanding apa yang saya bayangkan sebelumnya. Plotnya datar dengan berbagai elemen yang tampak dicomot dari beberapa film lain. Dan ya ampun, semua karakternya sangat dua dimensi dengan kadar annoying tingkat tinggi. Efek visualnya juga tidaklah mengagumkan walaupun patut dimaklumi karena bujet yang digunakan memang minim. Ditutup dengan ending yang maksa, bodoh, dan menyebalkan, akhirnya saya keluar gedung bioskop dengan penuh amarah sambil buru-buru mencari wastafel untuk mencuci mulut (literally).


Makes Me Want To Explore Anything About Street Art
Exit Through The Gift Shop

Ini adalah sebuah dokumenter (walaupun banyak pihak yang mempertanyakan keotentikannya) mengenai seluk beluk pergerakan street art. Melalui kamera milik Thierry Guetta—seorang pemilik distro yang hobi (cenderung terobsesi) merekam apapun di sekitarnya, penonton diajak untuk menyaksikan aksi para street artist dalam mengekspresikan diri melalui graffiti. Berawal dari ketertarikannya untuk mendokumentasikan aktivitas sepupunya yang seorang street artist berjuluk Space Invader, akhirnya Thierry mulai masuk lebih jauh ke dalam dunia "seni bawah tanah" ini. Perjalanan bersama kameranya ini akhirnya mempertemukan Thierry dengan Banksy, seorang graffiti artist yang terkenal dengan karya-karya graffiti stencil-nya yang seringkali memuat kritik sosial maupun politik. Dokumentasi yang ditampilkan disini saya akui sangatlah menghibur dan berhasil membangkitkan ketertarikan saya terhadap street art. Evolusi Thierry Guetta dari seorang filmmaker amatir sampai menjadi seorang street artist fenomenal dengan nickname Mr. Brainwash bisa dibilang cukup mengagumkan. Sebagai informasi, dialah yang mengerjakan cover art album Celebration milik Madonna. Selesai menyaksikan film ini, gatal rasanya tangan saya untuk kembali mengguratkan pensil di atas sketch book yang sudah lama tak tersentuh itu.


Makes Me Confused Yet Lulled With Its Beautiful Storytelling
Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives

Jujur, bagi saya ini adalah sebuah film yang tidak mudah dipahami hanya dalam sekali tonton. Walau sedikit bingung dengan eksekusi yang ditampilkan, namun saya akui bahwa film ini begitu menghipnotis dengan segala keindahannya. Alurnya berjalan dengan santai tetapi tidak membosankan. Gaya penceritaannya yang tenang didukung dengan sinematografi yang menyejukkan mata. Film ini juga minim dialog dan tanpa musik pengiring. Efek suara yang terdengar muncul dari bunyi-bunyian alam seperti suara jangkrik, desiran angin, sampai gemericik air terjun. Semua elemen itu cukup membuat saya terbuai dan dengan senang hati mengikuti perjalanan paman Boonmee di saat-saat terakhir hidupnya ini. Perjalanan ini sungguh unik, penuh aroma mistik, sekaligus menggugah hati. Yang pasti, saya tidak akan ragu untuk mengunjungi kembali paman Boonmee demi lebih memahami makna yang terkandung dalam kisah menawan ini.

No comments:

Post a Comment