Thursday, June 16, 2011

Il Mare (2000)


Genre
: Fantasy, Romance, Sci-Fi | Pemain : Jun Ji-hyun, Lee Jung-jae | Sutradara : Lee Hyun-seung | Penulis : Kim Eun-jeong, Yoeh Ji-na | DIstributor : Sidus Pictures | Durasi : 105 menit


"The reason we are suffering is not because the love has ended, but because it still continues. Even after the love is over."
-Eun-joo-

Pernahkah anda merasakan suatu kedekatan tertentu dengan seseorang yang belum pernah anda temui secara langsung? Seseorang yang bisa diajak berbagi, bahkan tentang masalah pribadi anda sekalipun, padahal wajahnya saja belum pernah anda lihat. Interaksi yang kalian lakukan hanya sebatas berbagi tulisan, bukannya saling bertatap muka dan beradu lisan. Saya sendiri pernah mengalami perasaan seperti itu, saat mencurahkan isi hati melalui tulisan kepada seseorang yang belum pernah saya lihat wujudnya secara nyata terasa lebih mudah dan nyaman dibanding berbicara langsung kepada seseorang yang sudah lama saya kenal. Ironis, tapi memang itulah yang terjadi.

Baru-baru ini saya menonton sebuah film Korea berjudul Siworae atau Il Mare (bahasa Italia untuk laut) yang kurang lebih menceritakan tentang dua orang yang sebelumnya tidak saling mengenal, namun kemudian menjalin hubungan yang semakin erat hanya dengan saling berbagi isi hati melalui surat. Selain faktor "klik" diantara mereka berdua, menurut saya kekuatan dari tulisan juga ikut andil disini. Ya, terkadang rangkaian kata dalam sebuah tulisan mampu berbicara lebih lantang dibanding kata-kata yang langsung keluar dari mulut kita. Just my two cents.

Film ini sendiri adalah sebuah drama romantis dengan unsur fantasi di dalamnya. Diceritakan seorang gadis bernama Eun-joo (si cantik Jun Ji-hyun) baru pindah dari sebuah rumah di pinggir pantai yang dijuluki Il Mare. Sebelum pergi, ia meninggalkan surat untuk calon penghuni baru Il Mare nantinya. Sung-hyun (Lee Jung-jae), si penghuni baru, menemukan surat tersebut dan terheran-heran saat membacanya. Si penulis surat menulis tahun 1999 di akhir surat, padahal jelas-jelas ini masih tahun 1997. Ternyata, Sung-hyun sebenarnya adalah penghuni pertama rumah tersebut sebelum ditempati Eun-joo. Setelah beberapa kali bertukar surat, akhirnya diketahui bahwa mereka saling berinteraksi di masa yang berbeda, tepatnya terpaut dua tahun. Kotak surat di Il Mare yang menjadi penghubung mereka.

Dari sini, arah cerita sudah mulai bisa ditebak. Melalui surat-menyurat itulah akhirnya hubungan batin mereka terjalin semakin kuat. Interaksi tak langsung ini bagaikan sebuah eskapisme dari rusaknya hubungan masing-masing dengan orang-orang dalam kehidupan mereka, Eun-joo dengan mantan kekasihnya dan Sung-hyun dengan ayah kandungnya. Dua orang yang merasa terasing ini pada akhirnya seolah saling menopang satu sama lain. Apakah hubungan diantara mereka pada akhirnya akan berlanjut ke tahap yang lebih nyata dibanding hanya saling bertukar surat? Untuk yang merasa familiar dengan premis ceritanya, mungkin anda pernah menonton versi remake-nya yang dibintangi duo Sandra Bullock dan Keanu Reeves dengan judul The Lake House. Jika mau dibandingkan, versi aslinya ini jelas jauh lebih baik. IMHO

Penonton yang kritis mungkin akan menemukan beberapa hal yang tidak masuk akal di sepanjang film ini. Namun seperti kata Agnes Monica, cinta kadang-kadang tak ada logika. *asal nyambung* Saya sendiri tidak terlalu mempedulikan masalah ketidaklogisan tersebut, karena yang ingin ditonjolkan disini adalah feel romantisnya. Dan untuk itu, saya akui film ini berhasil. Dengan setting utama di sebuah rumah pinggir pantai yang tampak terisolasi namun menawan hati, ditambah sinematografi serta musik pengiringnya yang serasi, sudah cukup membangun mood penonton untuk ikut terbawa hawa romantis yang dihembuskan film ini. Untuk anda yang memang menggemari film-film beraroma romantis, film ini sangat saya rekomendasikan.

PS : Jun Ji-hyun imut banget ya... *labil*

Rating : 7.5/10

Saturday, June 11, 2011

5 Centimeters Per Second (2007)


Genre : Animation, Drama, Romance | Pengisi Suara : Kenji Mizuhashi, Yoshimi Kondou, Satomi Hanamura, Ayaka Onoue | Sutradara : Makoto Shinkai | Penulis : Makoto Shinkai | Produksi : CoMix Wave, ADV Films | Durasi : 63 menit

"The speed at which the sakura blossom petals fall... Five centimeters per second."
-Akari-

Salah satu alasan mengapa saya begitu menikmati film animasi produksi Studio Ghibli adalah berkat tampilan animasi tradisionalnya yang memukau. Selain faktor ceritanya yang selalu berhasil menyentuh hati, film-film Studio Ghibli memang kerap pandai memanjakan mata tiap penontonnya. Namun disini, saya tidak akan membahas salah satu film animasi rilisan studio tersebut. Ada satu film animasi Jepang (anime) yang baru-baru ini saya tonton dan sukses membuat sepasang mata ini terbelalak dan mulut ini berdecak kagum dengan kemegahan visualnya. Sebutan banyak orang untuk Makoto Shinkai sebagai "the next Hayao Miyazaki" memang bukan tanpa alasan. Apa yang dicapainya melalui 5 Centimeters Per Second ini memang luar biasa.

Film yang memiliki durasi sekitar satu jam ini menawarkan cerita yang sepertinya sudah umum dipakai dalam film-film drama romantis—tentang dua insan manusia yang saling mencintai namun terpisahkan oleh jarak. Maksud dari judul film ini sendiri bisa dibilang merupakan metafora dari kondisi tersebut. Lima senti per detik, konon itulah kecepatan kelopak bunga sakura saat jatuh dari pohonnya. Layaknya bunga sakura, beberapa orang bisa saja memulai awal kehidupan mereka bersama, namun suatu saat mereka bukan tidak mungkin akan terpisahkan, bagai kelopak bunga yang berguguran, lima senti per detik. In our lives, people come and go. Mungkin itulah yang ingin disampaikan Shinkai melalui film besutannya ini.

Dua insan yang saling mencintai itu adalah Takaki Tono (Kenji Mizuhashi) dan Akari Shinohara (Yoshimi Kondou, Ayaka Onoue). Sejak Akari pindah ke SD yang sama dengan Takaki, keduanya mulai menjalin hubungan yang semakin lama semakin erat berkat kesamaan yang mereka miliki. Hubungan mereka mulai diuji saat Akari dan keluarganya harus pindah ke luar kota yang jaraknya cukup jauh. Namun mereka masih sering berkomunikasi melalui surat menyurat (errr...di sini telepon genggam dan internet belum mewabah). Suatu ketika, Takaki juga harus pindah rumah bersama keluarganya ke kota lain yang ternyata jaraknya semakin jauh dengan tempat tinggal Akari. Sebelum kepindahannya, Takaki memutuskan untuk sekali lagi menemui Akari dan menyatakan perasaannya melalui surat yang ia bawa.

Waktu berlalu, cerita pun bergulir saat Takaki sudah hampir lulus SMA. Jarak dan waktu masih memisahkannya dengan Akari. Namun ia masih terus mengingatnya, hingga tak menyadari bahwa ada gadis lain yang menaruh perhatian padanya. Dialah Kanae Sumida (Satomi Hanamura), teman sekelas Takaki yang mulai menyukainya sejak mereka masih duduk di bangku SMP. Kanae yang masih belum berani menyatakan perasaannya hanya mampu menatap Takaki saat sedang latihan memanah, kemudian menunggunya diam-diam di tempat parkir agar bisa pulang bersama. Suatu malam mereka membicarakan kekhawatiran masing-masing akan masa depan. Dari sinilah Kanae semakin menyadari bahwa Takaki selalu melihat jauh ke depan, kepada sesuatu yang tidak pernah ia ketahui selama ini.

Di babak terakhir, kita diperlihatkan dengan Takaki dan Akari yang sudah tumbuh dewasa. Apakah mereka bersama atau tidak, hanya bisa anda ketahui dengan menonton sendiri film yang bagi saya sangat menyentuh ini. Cerita yang diangkat mungkin bukan barang baru, namun Shinkai mampu merangkainya menjadi sebuah untaian kisah tiga bagian yang begitu puitis dan menyentuh hati. Setiap orang mungkin memiliki cinta pertama yang tak akan pernah mereka lupakan, dan film ini akan membuat mereka kembali mengingatnya. Kisah yang akan terasa personal bagi sebagian orang ini, dipercantik dengan komposisi musiknya yang indah dan visualnya yang menakjubkan. Ya, komponen paling kuat yang ada dalam anime ini adalah gambar-gambar cantik yang disajikan Shinkai di sepanjang film. Bahasa gambar disini sudah berbicara banyak kepada penontonnya tanpa perlu berkata-kata. Silakan tonton sendiri untuk membuktikan kedahsyatan visualnya.

Rating : 8/10

Saturday, June 4, 2011

Ocean Waves (1993)


Genre : Animation, Drama, Romance | Pengisi Suara : Nobuo Tobita, Toshihiko Seki, Yoko Sakamoto | Sutradara : Tomomi Mochizuki | Penulis : Saeko Himuro (novel) | Produksi : Studio Ghibli | Durasi : 72 menit

"The whole thing was starting to feel like a bad soap opera."
-Taku-

Orang bilang, masa SMA adalah masa-masa yang paling indah. Saya bilang, masa SMA adalah masa-masa yang paling labil. Meski sampai sekarang pun terkadang saya masih merasa bingung dengan apa yang benar-benar saya inginkan dalam hidup alias sedang dalam tahap pencarian jati diri, namun di usia SMA-lah pertanyaan-pertanyaan eksistensial (halah!) ini mulai sering hinggap di benak saya, Tapi di luar itu, saya akui masa SMA itu memang mengasyikkan. Pengalaman tiap orang di masa tersebut tentunya berbeda-beda, namun saya yakin mayoritas individu pasti pernah mengalami rasa ini : ketertarikan terhadap individu lain, atau bahasa umumnya—jatuh cinta. Tema tentang romantika masa SMA inilah yang diangkat melalui sebuah film animasi tv produksi Studio Ghibli yang berjudul Ocean Waves (Umi ga kikoeru).

Tokoh utama kita adalah Taku Morisaki (Nobuo Tobita), seorang mahasiswa yang akan menghadiri reuni SMA di kampung halamannya di prefektur Kochi. Sebelum berangkat, ia melihat sosok perempuan yang sekilas tampak tidak asing baginya. Dalam penerbangan ke kampung halamannya, Taku mengingat kembali kenangan yang ia alami semasa SMA. Dari sinilah cerita kemudian bergerak mundur ke dua tahun sebelumnya, saat Taku pertama kali bertatap muka dengan seorang perempuan yang tidak akan pernah ia lupakan. Namanya Rikako Muto (Yoko Sakamoto), seorang siswi pindahan dari Tokyo.

Yutaka Matsuno—sahabat Taku sejak SMP-lah yang mengenalkannya pada Rikako. Melalui beberapa dialog, cukup terlihat bahwa Yutaka menyukai Rikako. Taku sendiri menyimpan rasa kagum terhadap Rikako yang begitu menonjol di bidang akademis. Namun sikap Rikako yang penyendiri dan terkesan angkuh membuatnya dijauhi anak-anak lain. Kedekatan antara Taku dan Rikako mulai muncul saat sekolah mereka mengadakan liburan ke Hawaii. Suatu ketika, tiba-tiba Rikako menghampiri Taku dan mencoba meminjam uang darinya dengan alasan seluruh uang tunai yang dibawanya hilang. Urusan pinjaman inilah yang akhirnya membuat mereka menjadi lebih dekat, meski sempat diwarnai kesalahpahaman.

Dibandingkan dengan animasi Ghibli yang lain, film yang dibuat khusus untuk konsumsi tv ini terkesan kurang sorotan. Saya sendiri sebelumnya sama sekali asing dengan judul film ini. Namun setelah saya coba tonton, ternyata ini lebih dari sekedar sebuah tayangan untuk televisi. Meskipun kesan yang ditimbulkan masih di bawah Whisper Of The Heart—animasi Ghibli lain yang juga menyorot problematika masa remaja, namun film ini juga mampu bersuara lantang dengan muatan yang dikandungnya. Ceritanya memang sederhana, namun begitu membekas. Bahkan bukan tidak mungkin jika film ini berhasil menghadirkan kembali nostalgia saat anda berada di bangku sekolah dulu.

Selain ceritanya yang sederhana, kelebihan utama yang dimiliki film ini adalah karakterisasi tokoh-tokohnya. Taku dan Rikako digambarkan sebagai remaja biasa yang dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari, atau bahkan mungkin mereka adalah refleksi dari diri kita sendiri di masa lalu. Permasalahan yang mereka alami juga disampaikan dengan wajar, tidak mengada-ada. Walaupun apa yang dialami mereka tidak sama persis dengan apa yang pernah saya alami, namun saya masih bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Kedekatan inilah yang membuat Ocean Waves terasa begitu spesial. Jangan harapkan drama melodramatis ala Hollywood yang seringkali memanipulasi emosi penontonnya dengan suguhan yang terlalu dibuat-buat. Film ini tampil apa adanya. Itulah kelebihannya.

Ditutup dengan ending yang manis, film yang disutradarai oleh Tomomi Mochizuki ini berhasil menghangatkan hati saya di malam minggu yang sepi ini. Sebuah kisah coming of age yang subtil dan intim. Highly recommended!

Rating : 8/10