Tuesday, March 22, 2011

Movie Week #02 : Love Is Never Easy

Oke, sebenarnya postingan ini rencananya ingin saya publikasikan lebih dari sebulan yang lalu (bertepatan dengan hari Valentine. D'oh!). Tapi karena satu dan lain hal (yeah, mostly because of the laziness), akhirnya draft ini pun terbengkalai. Mumpung saat ini saya memiliki waktu luang dan cukup bersemangat, saya putuskan untuk menyelesaikan postingan ini. Cukup ironis mengingat semangat saya untuk menulis timbul saat kondisi tubuh ini sedang tidak fit. #curhat

Meskipun saya tidak merayakan dan bahkan tidak menemukan keistimewaan apapun dari sebuah hari bernama Saint Valentine's Day—atau lebih singkatnya Valentine's Day, namun saya masih bisa menemukan suatu kesenangan tersendiri tiap menjelang tanggal 14 Februari. Dengan semakin liarnya pertumbuhan pengguna media jejaring sosial, secara tidak langsung mempengaruhi saya untuk ikut merasakan atmosfer dari hari yang dianggap sakral oleh sebagian orang ini. Ya, menjelang Valentine, begitu banyak orang yang tampaknya terkena hype atau memang sungguh-sungguh menganggap istimewa hari tersebut dengan memajang komentar ataupun status yang penuh dengan nuansa cinta dan romantisme. Walaupun terkadang geli, namun ini adalah suatu hiburan tersendiri yang bisa membuat bibir ini tersenyum. Saya yang sebenarnya tidak berjiwa romantis (entah ini penyangkalan atau memang nyata adanya, saya sendiri masih bingung), jadi sedikit tertular demam Valentine. Belum lagi peran media lain seperti televisi misalnya, yang memanfaatkan momen ini untuk menayangkan film-film bergenre romantis. Saya pun semakin ikut-ikutan terbawa suasana hingga akhirnya berniat mengadakan movie week bertema cinta. Kelima film yang saya saksikan di minggu menjelang Valentine ini cukup menggambarkan pahit manisnya kehidupan cinta yang dijalani umat manusia (meski mayoritas bernada pahit dan cenderung depresif). Yeah, love is never easy, but it's worth fighting for. #eeaa


Never Let Me Go (2010)

Film yang diangkat dari novel berjudul sama karangan Kazuo Ishiguro ini menawarkan cerita yang tragis, depresif, sekaligus menyentuh. Bersetting di sebuah alternative reality (menyerupai Inggris, meski tidak disebut secara spesifik) dimana ilmu medis sudah semakin berkembang, cerita berfokus pada kehidupan tiga tokoh utamanya—Kathy (Carrey Mulligan), Ruth (Keira Knightley), dan Tommy (Andrew Garfield) mulai dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Yang menarik (lebih tepatnya membuat miris), eksistensi mereka di dunia ternyata sudah dirancang sedemikian rupa untuk suatu tujuan. Tanpa membeberkan plotnya lebih jauh, saya hanya ingin mengatakan bahwa walaupun keberadaan serta nasib yang diemban ketiga tokoh utamanya (sepertinya) hanya bisa ditemukan dalam kisah fiksi, namun kisah mereka juga terasa paralel dengan apa yang dialami banyak orang di dunia nyata. Rasa takut akan kematian, rasa cinta, rasa cemburu, sampai pedihnya kehilangan seseorang yang dicintai adalah emosi yang lazim dirasakan oleh umat manusia. Oleh karena itu, apa yang dialami Kathy, Tommy, dan Ruth saya rasa mampu melibatkan emosi para penontonnya. Film ini memang memiliki tone yang muram dan cenderung depresif, namun pesan yang ingin disampaikan jelas positif. Hidup itu singkat, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya karena mungkin kesempatan kedua itu tidak akan pernah ada. That's what I got from this beautifully-made movie.

Rating : 8/10


Love Story (1970)

Kisah yang diangkat melalui film ini sangatlah klasik, tentang si pria kaya yang jatuh cinta pada si gadis miskin. Namun, seklise apapun kisahnya, saya akui ini adalah salah satu film paling romantis yang pernah dibuat. Melihat tahun rilisnya (1970), bisa dibilang film ini adalah pelopor film-film romantis yang melibatkan tragedi dalam alur kisahnya. Tearjerker? Absolutely. Walaupun kemasannya terkesan sederhana dilihat dari berbagai segi, namun hebatnya film ini berhasil memberikan kesan yang cukup mendalam. Ali MacGraw dan Ryan O'Neal memerankan pasangan yang tampak sangat serasi di layar. Interaksi antara mereka berdua seringkali diisi dengan dialog yang pintar, lucu, dan tentunya romantis. "Love means never having to say you're sorry" —salah satu kalimat yang diucapkan oleh keduanya, menjadi salah satu movie quote paling terkenal sampai saat ini. Selain chemistry dua bintang utamanya, yang juga membuat film ini begitu berkesan adalah score yang mengiringinya, simpel namun sangat membangun atmosfer film secara keseluruhan. Pertama mendengar dentingan pianonya, saya mulai merasa familiar dan pada akhirnya terngiang-ngiang terus di kepala. It's a heartbreaking yet romantic piece by Francis Lai. Tidak mengherankan ketika ia berhasil meraih piala Oscar atas komposisi musiknya tersebut. Diluar musik pengiringnya yang memang menghipnotis, sebagai sebuah sajian yang mengedepankan tema cinta antara sepasang insan manusia, Love Story patut dikenang sebagai salah satu film paling romantis sepanjang masa.

Rating : 7/10


Romeo Juliet (2009)

Siapa yang tidak familiar dengan kisah klasik karya pujangga ternama William Shakespeare yang berjudul Romeo And Juliet? Begitu terkenalnya kisah cinta tragis antar dua anak manusia ini hingga menarik perhatian sejumlah sineas untuk mengadaptasinya ke dalam format film layar lebar. Tak terkecuali Andibachtiar Yusuf, seorang sineas dalam negeri yang pernah menelurkan dua film dokumenter yang kental dengan unsur sepakbola. Kali ini, ia mencampurkan subjek favoritnya tersebut dengan kisah cinta terlarang ala Romeo And Juliet. Alih-alih keluarga Montague dan Capulet, yang kita dapat disini adalah perseteruan antara Viking versus The Jak—dua kubu suporter klub sepakbola yang terkenal sebagai musuh abadi. Romeo dan Juliet dalam film ini digambarkan melalui sosok Rangga (Edo Borne) dan Desi (Sissy Priscillia), dua anak muda yang tengah dimabuk cinta namun juga dilanda dilema. Dalam darah mereka mengalir kecintaan yang begitu besar terhadap komunitas masing-masing, namun apa daya hati mereka pun tidak bisa dibohongi. Hubungan mereka tentunya akan semakin memanaskan perseteruan antar kedua kubu. Tragedi pun tak dapat dihindarkan. Ya, serupa dengan kisah aslinya, film ini pun diwarnai dengan perseteruan dan tragedi. Adegan tawuran plus kata-kata makian menghiasi sepanjang film. Namun sayangnya, unsur romantisnya menurut saya kurang terbangun. Hubungan percintaan antara Rangga dan Desi entah kenapa terasa kurang believable. Sebagian dialognya pun masih terasa kaku dan tidak jarang terdengar menggelikan. Tapi pesan mengenai dampak dari fanatisme buta serta rasa dendam yang hanya akan membawa manusia pada kehancuran cukup tersampaikan dengan baik.

Rating : 5/10


Away From Her (2006)

Ini adalah sebuah debut penyutradaraan dari seorang aktris Kanada berbakat, Sarah Polley. Diadaptasi dari cerpen karangan Alice Munro berjudul The Bear Came Over The Mountain, film ini menyoroti kehidupan pasangan berusia senja yang harus menghadapi saat-saat tersulit dalam kehidupan rumah tangga mereka. Grant (Gordon Pinsent)—sang suami, menyadari bahwa istrinya, Fiona (Julie Christie) semakin hari semakin pelupa, yang menunjukkan gejala penyakit Alzheimer's. Setelah memikirkannya matang-matang, akhirnya Fiona setuju untuk dirawat di sebuah fasilitas khusus penderita Alzheimer's. Kesabaran Grant mulai diuji, karena selama 30 hari pertama ia tidak boleh mengunjungi istrinya yang menurut peraturan disana perlu penyesuaian diri dengan lingkungan barunya. Setelah masa penyesuaian itu berakhir, Grant pun harus menerima kenyataan pahit bahwa Fiona sudah tidak mengenali dirinya sebagai sang suami. Dan yang lebih buruk, Fiona tampak mencurahkan perhatiannya pada pasien lain bernama Aubrey (Michael Murphy) yang menderita kelumpuhan. Di titik ini, Grant menghadapi ujian terberatnya. Apakah ia harus terus berusaha membuat Fiona mengingat kembali kenangan-kenangan indah bersamanya dulu sebagai pasangan suami istri bahagia, atau ia harus merelakan istrinya memulai kehidupan baru tanpa dirinya di sisinya. Sebuah kisah yang begitu menyentuh serta memberi makna bahwa mencintai seseorang itu berarti merelakan—rela menyingkirkan ego pribadi dan rela melepaskan orang yang kita cintai, meskipun itu sakit.

Rating : 8/10


Blue Valentine (2010)

Dalam setiap hubungan percintaan, tentunya bukan hanya momen penuh suka cita yang akan ditemui setiap pasangan, namun juga saat-saat sulit yang siap menghadang kelanjutan hubungan mereka. Drama yang mengangkat pasang surut hubungan dua insan manusia dalam ikatan rumah tangga sudah banyak diangkat ke dalam medium film. Dalam film terbarunya, Derek Cianfrance—sineas yang sebelumnya berpengalaman menangani beberapa judul dokumenter ini, kembali mengangkat kisah yang sudah sangat familiar tersebut. Dengan materi yang bisa dibilang sudah bukan barang baru lagi, tantangan bagi Cianfrance adalah menyajikan sebuah tontonan yang memiliki suatu komponen menarik sehingga masih bisa memikat perhatian para penontonnya. Beruntung, Cianfrance bekerjasama dengan dua aktor muda bertalenta yang tampil begitu memukau disini, Ryan Gosling dan Michelle Williams. Memerankan sepasang suami istri yang sedang mencapai titik jenuh dalam hubungan mereka, keduanya sukses menjadikan film ini lebih dari sekedar drama konflik rumah tangga biasa. Mereka sanggup merebut simpati saya dengan pembawaannya masing-masing, sehingga saat momen menyakitkan itu tiba, hati saya pun ikut tercabik. Sungguh pengalaman sinematik yang sangat emosional. Walaupun ada beberapa kejanggalan, seperti transisi dari masa bahagia ke masa suram yang seolah terjadi begitu saja tanpa ada penjelasan mendalam mengenai perubahan masing-masing karakternya, namun penampilan Gosling dan Williams sudah membayar lunas semuanya. Salah satu duet akting terbaik yang pernah saya lihat dalam sebuah film. Sebagai sebuah film, Blue Valentine bukanlah suatu pencapaian yang luar biasa, namun performa dua pemain utamanya jelas luar biasa. Definitely worth watching.

Rating : 7.5/10

That's a wrap!