Tuesday, December 21, 2010

Compiled Reviews : From Magical Journey To Cyberpunk Realm

Betapa luasnya imajinasi manusia sehingga ia bisa menciptakan sebuah dunia alternatif berisi berbagai hal yang realitasnya tidak mungkin ditemui di dunia nyata. Dari mulai dunia ajaib di balik lemari pakaian ciptaan seekor singa agung, sampai dunia dalam virtual game futuristik karya seorang programmer inovatif. Narnia dan Tron—kedua dunia tersebut adalah bukti betapa kaya buah pikiran manusia saat ia berani bermain dengan imajinasinya. Meskipun kedua dunia tersebut hanya direpresentasikan dalam pita seluloid, namun itu sudah cukup bagi saya untuk merasakan keindahan dan keunikan masing-masing. Sebagai bentuk apresiasi, berikut ini review untuk instalmen terbaru Narnia serta sekuel Tron yang sudah banyak diantisipasi para penikmat film.


The Chronicles Of Narnia : The Voyage Of The Dawn Treader (2010)

Genre : Adventure/Family/Fantasy | Pemain : Georgie Henley, Skandar Keynes, Ben Barnes, Will Poulter, Gary Sweet, Anna Popplewell, William Moseley, Tilda Swinton, Liam Neeson, Simon Pegg | Sutradara : Michael Apted | Penulis : Christopher Markus, Stephen McFeely, Michael Petroni, C.S. Lewis (novel) | Distributor : Twentieth Century Fox Film Corp. | Durasi : 113 menit | MPAA : Rated PG for some frightening images and sequences of fantasy action

"You have returned
for a reason. Your adventure begins now."

-Aslan-

The Chronicles of Narnia karya C.S. Lewis adalah salah satu seri literatur klasik yang paling dikenal dan cukup memberi pengaruh bagi karya-karya lain. Adaptasinya pun sudah beberapa kali dibuat ke dalam berbagai media, mulai dari drama radio, drama panggung, film televisi, sampai film layar lebar. Invasi seri ini ke layar lebar dimulai pada tahun 2005, saat The Lion, The Witch, And The Wardrobe yang disutradarai Andrew Adamson (dwilogi Shrek) dirilis di bioskop-bioskop seluruh dunia. Adaptasi ini tergolong sukses baik dari sisi kualitas maupun kuantitas dolar yang didulang. Sebuah awal yang menjanjikan bagi kelangsungan franchise ini.

Menurut saya pribadi, film pertamanya memang berhasil menerjemahkan esensi yang terkandung dalam novelnya dengan cukup baik. Lalu tiga tahun kemudian muncul adaptasi novel keduanya yang dengan sub-judul Prince Caspian. Sekuel ini dikemas lebih gelap namun masih terbilang aman untuk dikonsumsi anak-anak. Sialnya, entah kenapa kali ini seri Narnia seolah kehilangan daya magisnya. Spirit petualangan serta sense of wonder-nya tertutupi kadar action yang tampak lebih dikedepankan. Secara keseluruhan memang masih menghibur, namun tidak memberi impresi lebih.

Perombakan besar dilakukan di seri ketiganya yang melibatkan penggantian posisi sutradara (Andrew Adamson to Michael Apted) serta studio yang mendistribusikannya (Walt Disney to Twentieth Century Fox). Perubahan ini tentunya diharapkan mampu membawa franchise ini ke arah yang lebih baik. Berhasilkah?

Tidak seperti dua pendahulunya, kali ini hanya dua bersaudara Pevensie yang berkesempatan mengunjungi kembali tanah Narnia, yaitu Edmund (Skandar Keynes) dan Lucy (Georgie Henley). Oh ya, tambah satu lagi sepupu mereka, si manja sok pintar Eustace Scrubb (Will Poulter) yang ikut terseret ke dalam petualangan mereka untuk membantu King Caspian (Ben Barnes) guna mencari tujuh lord yang dahulu hilang saat rezim pamannya—Miraz merajalela. Bersama awak kapal Dawn Treader lainnya, mereka berlayar menyeberangi samudera luas serta menjamah pulau-pulau misterius nan magis demi menuntaskan misi tersebut.

Di luar perkiraan, ternyata film ini tidak seburuk yang saya bayangkan. Skeptisisme penilaian awal terhadap kualitas film ini muncul karena pendapat beberapa teman saya serta kritikus-kritikus luar yang mencap film ini lemah (jika tidak mau dibilang buruk). Secara keseluruhan, ternyata saya masih bisa menikmatinya. Spirit petualangan yang saya nantikan kembali muncul di seri terbaru ini. Kali ini, saya bisa merasakan kembali daya magis dari sebuah negeri ajaib bernama Narnia.

Daya magis yang dihembuskan sayangnya tidak sanggup mengangkat kualitas film ini secara keseluruhan. Pencarian tujuh raja yang hilang beserta pedang magisnya di berbagai pelosok Narnia memang cukup menarik. Berbagai lokasi yang ada digambarkan dengan cukup menarik, terutama pulau tempat tinggal para Dufflepud yang indah dan memanjakan mata. Namun misi pencarian ini lama-kelamaan terkesan episodik. Polanya klise dan mudah ditebak sehingga terasa sedikit membosankan.

Dari segi teknis, efek CGI yang digunakan cenderung medioker. Menarik, namun tidak spesial. Sinematografinya juga belum mampu membuat saya berdecak kagum layaknya yang dilakukan Eduardo Serra melalui seri terbaru Harry Potter baru-baru ini (ups! bukan bermaksud membanding-bandingkan ya). Set design-nya digarap dengan apik, namun entah mengapa tampilan Dawn Treader agak terkesan kekanakan (menurut pandangan pribadi saya). Komposisi musik dari David Arnold setidaknya cukup mendukung tiap-tiap adegannya.

Georgie Henley dan Skandar Keynes—dua pemain utama yang konsisten bermain dari mulai seri awalnya cukup mengalami peningkatan akting, terutama Henley yang tampil memikat sebagai si bungsu Lucy. Namun yang paling menarik perhatian justru karakter baru—Eustace Scrubb yang diperankan oleh Will Poulter. Sifat serta tingkahnya yang menyebalkan tidak jarang mengundang tawa. Layar pun semakin hidup saat ia berinteraksi dengan Reepicheep (disuarakan oleh Simon Pegg), tikus ksatria yang begitu loveable dengan gesture dan celotehannya. Tokoh Reepicheep jugalah yang sanggup memainkan emosi penonton (saya lebih tepatnya) menjelang akhir film.

Menurut saya, adegan menjelang akhir film memang bagian yang paling menarik. Semua kekurangan di sepanjang durasi dibayar dengan ending yang memikat. Mengikuti pola dua film sebelumnya, bagian akhir film kembali mempertemukan para tokoh utamanya dengan Aslan sang singa agung. Dengan mengambil setting yang begitu memanjakan mata, adegan ini semakin terasa bermakna. Saat itu pula saya kembali tersadar bahwa Narnia adalah karya yang sarat dengan simbol-simbol religius sekaligus pesan moral. Adegan perpisahan terasa begitu menyentuh. Sebuah alegori yang indah dalam menggambarkan proses perpindahan dari alam fana menuju kekekalan.

Kesimpulannya, Narnia terbaru ini menawarkan kisah petualangan memikat namun masih terasa memiliki banyak kelemahan sebagai satu film utuh. Setidaknya ending-nya dieksekusi dengan menawan dan penuh makna.

Rating : 6/10



Tron : Legacy (2010)


Genre : Action/Adventure/Sci-Fi | Pemain : Jeff Bridges, Garrett Hedlund, Olivia Wilde, Bruce Boxleitner, Beau Garrett, Michael Sheen | Sutradara : Joseph Kosinski | Penulis : Edward Kitsis, Adam Horowitz | Distributor : Walt Disney Studios Motion Pictures | Durasi : 127 menit | MPAA : Rated PG for sequences of sci-fi action violence and brief mild language

"The
Grid. A digital Frontier. I tried to picture clusters of information as they
traveled through the computer. Ships, motorcycles. With the circuits like
freeways. I kept dreaming of a world I thought I'd never see. And then, one
day... I got in."

-Kevin Flynn-


Saat ini, perfilman Hollywood tampaknya sudah semakin menyadari potensi dari sebuah teknologi bernama 3D. Sebuah film dengan presentasi 3D tentunya menawarkan sensasi menonton yang berbeda dibanding dengan film berformat biasa. Jika dimanfaatkan secara maksimal, hasilnya akan terlihat mengagumkan secara visual, layaknya yang dilakukan James Cameron melalui Avatar tempo hari. Namun, pencapaian Avatar urung diikuti oleh film-film lain yang diberi embel-embel 3D. Mayoritas film 3D akhir-akhir ini hanya mengandalkan hasil konversi yang hasilnya jelas-jelas mengecewakan. Hal ini tidak lain karena sepertinya para produser Hollywood memanfaatkan potensi teknologi ini bukan sebagai penghasil visual yang memukau, melainkan sebagai mesin pengeruk uang semata. Just my thought.

Akhir Desember ini, penonton kembali disuguhkan sajian 3D terbaru yang merupakan sebuah sekuel dari cult classic produksi Disney tahun 1982 berjudul Tron. Dengan tambahan kata Legacy, sekuel ini tampaknya dimaksudkan untuk mengenalkan dunia futuristik Tron kepada generasi masa kini sekaligus melahirkan sebuah franchise raksasa potensial. Dengan buzz yang semakin kencang menjelang perilisannya di bioskop, film ini memang sangat berpotensi meraih pasar mainstream sekaligus fans film orisinilnya. Dari materi promosinya, saya cukup optimis bahwa kreatornya memanfaatkan teknologi 3D sebagai komponen yang integral dengan isi filmnya, bukan hanya gimmick semata.

Dari segi cerita, Legacy sebenarnya tidak menawarkan sesuatu yang istimewa. Pengejaran kesempurnaan yang berujung pada kehancuran, itulah garis besar cerita yang bisa saya tangkap disini. Kevin Flynn (Jeff Bridges), seorang progammer sekaligus pemilik perusahaan Encom yang terkenal dengan game kreasinya—Tron, dinyatakan menghilang. Dua puluh tahun kemudian, Sam (Garrett Hedlund), anak satu-satunya, mendapat sebuah pesan yang menggiringnya masuk ke dalam dunia di balik virtual game ciptaan Kevin, The Grid. Di sana, Sam menemukan kebenaran di balik menghilangnya sang ayah selain harus terjebak dalam pertempuran layaknya gladiator rancangan Clu, kloning ayahnya yang memberontak dan memiliki agenda tersendiri. Bersama ayahnya dan dibantu Quorra (Olivia Wilde)—murid sang ayah, Sam berusaha menghindar dari kejaran Clu dan keluar dari Grid.

Film ini memiliki komponen yang lazim muncul dalam film bergenre cyberpunk, seperti setting near future dalam keadaan distopia (tergambar pada Grid), pembauran antara manusia sungguhan dengan "manusia" artifisial (dianalogikan melalui user dan program), sampai gaya visual yang cenderung gelap dibalut kekontrasan warna neon. Visual inilah yang menjadi kekuatan Legacy. Dari mulai kostum hingga adegan aksi yang melibatkan balapan light cycle serta disc battle, semuanya begitu memukau mata. Tidak salah jika film ini ditampilkan dalam format 3D, walaupun masih belum bisa menandingi kehebatan visual Avatar (menurut saya). Selain itu, jiwa film ini juga terletak pada musik yang melatarinya. Duo Daft Punk benar-benar patut diberi kredit tersendiri atas komposisi musik yang berhasil menghembuskan jiwa pada film yang sebetulnya dingin dalam hal emosi ini. Mata dan telinga saya begitu dimanjakan selama dua jam.

Sebagai sebuah hiburan mendekati akhir tahun, persembahan terbaru Disney ini lumayan menghibur dengan jualan utamanya yang outstanding (yeah, I'm talking about the audio and visual—including the beautiful Olivia Wilde). Meski naskahnya lemah dengan dialog datar yang bahkan aktor sekaliber Jeff Bridges pun tidak sanggup membuatnya menjadi lebih baik, namun secara keseluruhan saya nilai Tron : Legacy sebagai sebuah sajian yang nikmat. Saya rekomendasikan bagi calon penonton yang menginginkan sajian menghibur dengan bobot cerita yang ringan. And I think it's better to watch it in 3D.

Rating : 6/10