Sunday, October 31, 2010

Movie Week #01 : When October Nearly Hits The End

Oktober. Bulan ke-10 menurut hitungan kalender Masehi. Lalu, apa sih yang menarik dari bulan ini? Adakah event yang membuat bulan ini terasa lebih istimewa dibanding bulan-bulan lainnya? Ya, saya tahu anda pasti akan menjawab satu kata itu—Halloween. Oke, mungkin anda mulai menganggap saya si sok tahu yang sedang meracau, namun tidak dapat dipungkiri bahwa bulan Oktober memang lekat dengan kata Halloween. Meski perayaan tahunan ini tidak begitu berarti bagi saya pribadi, namun hype-nya tidak bisa diabaikan begitu saja. Jauh sebelum Oktober menginjak tanggal 31, nuansa Halloween sudah bisa saya rasakan. Peran media cukup membantu dalam membangun atmosfer mistik ataupun horor yang lekat dengan event ini. Saya memang tidak merayakan Halloween, namun saya menyukai feel yang dihembuskannya. Kegemaran saya akan hal-hal berbau horor (film, lebih tepatnya) semakin memuncak saat memasuki bulan Oktober, terutama saat mendekati akhir bulan. Dan secara tiba-tiba saya bagai dirasuki roh orang hamil yang sedang ngidam nonton film horor. Akhirnya, saya memutuskan untuk menggelar movie week kecil-kecilan dengan menonton film-film horor selama lima hari berturut-turut di minggu terakhir Oktober ini. Mengapa hanya lima film? Karena keterbatasan koleksi film dan terutama—karena saya orang sibuk. D'oh! *ditimpuk pisau dapur* Oke, tanpa berbasa-basi lagi, inilah kelima film yang saya tonton dalam rangka menyambut Halloween tahun ini.


When A Fake Found Footage Seems So Convincing
The Blair Witch Project (1999)

Mungkin ini adalah salah satu film paling pintar (atau licik?) dalam urusan marketing. Film yang bercerita mengenai tiga orang pelajar yang hilang di tengah hutan saat sedang membuat proyek film dokumenter tentang legenda Blair Witch ini ditengarai sebagai rekaman asli yang ditemukan sekitar setahun setelah kejadian. Dengan promosi sedemikian rupa, hype-nya semakin memuncak dan akhirnya film ini pun meraih kesuksesan luar biasa di tangga box-office sekaligus mencatat rekor sebagai salah satu film indie paling laris. Fakta bahwa film ini hanyalah sebuah rekayasa mungkin akan membuat sebagian orang merasa dibodohi. Dan menurut saya, tanpa ditambahi isu based-on-real-event-bullshit itu pun sebenarnya film ini memang sangat layak untuk disaksikan terutama oleh para penikmat film horor. Dengan gaya mockumentary yang saat itu masih jarang dieksplor, duo sutradara Daniel Myrick dan Eduardo Sanchez berhasil menyajikan ketegangan yang dibangun secara perlahan dan semakin memuncak hingga mencapai klimaks di akhir film. Pujian juga patut diberikan pada ketiga aktornya yang bermain dengan sangat meyakinkan, terutama Heather Donahue. Adegan menjelang ending saat ia membuat video "permintaan maaf" dengan shot extreme close up setengah wajah terasa begitu mencekam sekaligus emosional. Sungguh pengalaman menonton yang sangat berkesan. Perfect movie to start this movie week.

Rating : 8/10


When Ultra Cheesy Horror Movie Turned Out To Be Entertaining
Malam Satu Suro (1988)

Suzzanna. Siapakah dia? Bohong jika anda mengaku tidak mengenal nama almarhum sang legenda perfilman horor Indonesia ini. Ya, beliau memang terkenal dengan peran-perannya sebagai makhluk halus di film-film yang dibintanginya. Bukan hanya di dunia film, konon kehidupan pribadinya pun penuh dengan aura mistik (kebiasaannya mengkonsumsi bunga melati? Sungguh inspiratif). Dalam film ini, beliau kembali memerankan sesosok hantu yang lebih dikenal sebagai sundel bolong bernama Suketi. Diceritakan bahwa Suketi dibangkitkan dari kuburnya oleh seorang dukun untuk kemudian dijadikan anak angkatnya. Aneh ya? Tunggu sebentar. Kemudian ada seorang pemuda bernama Bardo yang kebetulan bertemu Suketi di tengah hutan. Dalam waktu singkat, ia pun jatuh cinta dan memutuskan untuk melamar Suketi. Sedikit aneh? Memang. Tahun-tahun berlalu, diceritakan mereka sudah memiliki dua orang anak hasil perkawinan mereka. Wtf? Semakin aneh? Ya, saya tahu. Konflik mulai muncul yang kemudian menyebabkan Suketi kembali ke wujud aslinya sebagai sundel bolong. Bagaimana kelanjutan kisah si sundel bolong yang sempat malih rupa menjadi manusia bahkan bisa bereproduksi ini? Memang banyak sekali hal-hal tidak masuk akal dan super konyol di sepanjang film ini, namun hey, ini horor 80an loh. Tolong ya. Justru dengan segala keanehan dan kadar cheesy yang over dosis, film ini jadi begitu menghibur. Film ini juga memiliki keunikan tersendiri karena mencoba menggabungkan cerita horor dengan unsur romantis. Penghormatan untuk almarhum tante Suzzanna, beliau sangat menghibur disini. Dari sosok yang sangat pendiam di awal, menjadi sosok lelembut yang doyan melontarkan joke-joke dan aksi menggelitik. Coba tengok tingkahnya saat makan bakpao dengan gaya akrobatik. Selain itu, kapan lagi anda bisa melihat sundel bolong menggali kuburan atau bermain egrang sambil goyang dangdut? Ya, anda harus menonton film ini dengan catatan anda tidak gengsi untuk menyaksikan sesuatu yang mungkin disebut norak oleh sebagian orang.

Rating : 6/10


When Raimi Regenerated His Own Masterpiece
Evil Dead 2 (1978)

The Evil Dead adalah sebuah karya monumental dari seorang Sam Raimi. Film tersebut sampai saat ini banyak mendapat pujian dari kalangan kritikus maupun penonton awam dan telah mencapai status cult. Saya sendiri belum lama ini menonton film tersebut dan memang sangat terhibur dengan penyajiannya. Adegan gore yang over the top, dialog super cheesy, serta performa pemainnya yang gila (noraknya) jadi nilai hiburan tersendiri yang membuat saya benar-benar puas setelah menyaksikannya. Dan kini, saatnya saya menyaksikan kelanjutan dari kegilaan ini melalui sekuelnya—Evil Dead 2. Film ini tidak langsung melanjutkan adegan dari ending film sebelumnya, namun justru malah memadatkan apa yang ada di prekuelnya tersebut dalam 10 menit pertama. Setelah itu, baru dimulailah lanjutan dari kisah Ash (Bruce Campbell) yang terjebak dalam kabin di tengah hutan sekaligus menghadapi serangan para arwah yang bangkit kembali akibat mantra dalam Book of the Dead. Disini juga ditambahkan 4 tokoh baru untuk semakin memperluas cakupan cerita. Secara teknis, film ini digarap dengan lebih baik dibanding film sebelumnya. Kadar hiburannya masih kental, ditunjang dengan permainan dari Bruce Campbell yang semakin gila. Muncratan darah serta potongan daging masih bertebaran layaknya di film pertama. Secara keseluruhan, film ini sedikit di atas kualitas film pertamanya (imo). Dengan ending yang terbuka, saya semakin penasaran dengan kelanjutan dari seri ini—Army Of Darkness.

Rating : 8/10


When A Vampire Tale Seems So Deeply Haunting Yet Heartwarming
Let The Right One In (2008)

Saya pertama kali menyaksikan film ini sekitar 2 tahun lalu, sebulan sebelum film vampir lain yang digilai remaja putri dan ibu-ibu (Twilight, of course) menancapkan taringnya di bioskop-bioskop dunia dan menodai kesucian mitos dunia vampir dengan tubuh kelap-kelip Edward Cullen (lebaaaaay). Film Swedia yang diangkat dari novel berjudul sama buah karya John Ajvide Lindqvist ini memang kalah gaungnya dibanding film remaja menje-menje itu (eh, saya bukan Twi-hater ya. Catat). Namun untuk kelas festival, film ini sudah menjadi bahan perbincangan dimana-mana. Berbagai pujian yang disematkan pada film ini memang pantas didapat. Dengan memasang 2 tokoh utamanya yang masih berumur 12 tahun (salah satunya 12 tahun dan stuck disitu), film ini mencoba menyelami sisi gelap masa kanak-kanak. Persahabatan antara Oskar (Kare Hedebrant)—bocah penyendiri korban bullying, dengan seorang gadis vampir bernama Eli (Lina Leandersson) terasa begitu manis sekaligus mengerikan. Ingat bagaimana nasihat Eli pada Oskar untuk membalas anak yang sering mem-bully dirinya. Lalu adegan Eli mendadak menjadi buas saat melihat darah Oskar. Dan puncaknya, saat menjelang akhir film dengan setting di kolam renang—sunyi sekaligus brutal. Adegan ini menggambarkan betapa kuatnya ikatan persahabatan antara mereka berdua. Setting di daerah bersalju yang sepi dan terkesan dingin, membuat atmosfer mencekam dari film ini semakin terasa. Saya suka sinematografinya yang enak dipandang dan juga music score-nya yang terdengar begitu emosional. Ini adalah sebuah kisah mengenai persahabatan serta tema coming of age dengan balutan nuansa horor yang sangat patut untuk ditonton. Mengutip komentar dari salah satu kritikus yang dipajang di cover DVD-nya : "Best Vampire Movie. Ever"

Ra
ting : 9/10


When A Masked Psycho Marks His First Memorable Appearance
Halloween (1978)

Inilah film terakhir yang saya tonton di movie week bernuansa horor ini. Sebuah penutup yang sempurna, sangat tepat untuk menyambut perayaan Halloween. Meski berjudul Halloween, film ini bukanlah sebuah horor tentang mitos yang berhubungan dengan perayaan tersebut. Halloween hanya digunakan sebagai backdrop cerita dan sepertinya juga untuk semakin menguatkan suasana mencekam yang dihadirkan. Opening film ini diisi dengan main theme gubahan Carpenter sendiri—moody dan sangat memorable. Setelah opening credit, Carpenter menggunakan teknik first person view melalui sudut pandang Michael Myers kecil (Will Sandin)—the soon-to-be psychotic killer, salah satu ikon horor klasik paling dikenal. Scene ini begitu berkesan karena seolah mengajak penonton untuk ikut memasuki pikiran seorang Michael Myers. Lalu, alur cerita melompat ke 15 tahun kemudian. Diceritakan Michael (Nick Castle) berhasil kabur dari institusi dimana ia diisolasi selama ini, dan sekarang ia menuju ke Haddonfield—kampung halamannya tercinta. Disana, ia menemukan target baru—seorang remaja kutu buku bernama Laurie (Jamie Lee Curtis). Maka, teror pun dimulai. Sebagai sebuah slasher film, secara mengejutkan film ini minim adegan berdarah. Namun itu tidak berpengaruh banyak terhadap intensitas ketegangannya. Dengan penataan kamera yang efektif, score yang kuat, serta karakter villain yang memorable (kemunculan Michael Myers tidak terlalu diumbar sehingga kemisteriusan karakter ini tetap terjaga), Carpenter telah berhasil menghasilkan horor yang efektif dan berkesan. Tidak salah jika film ini memberikan banyak influence terhadap film-film horor lain yang dirilis kemudian. Saya sangat menikmatinya, dan juga tidak ragu memberikan nilai tinggi untuk film ini.

Rating : 9/10



Oke, secara keseluruhan semua film yang saya tonton seminggu ini cukup berkesan dan sangat menghibur. Lain waktu, saya akan mengadakan lagi movie week kecil-kecilan dengan tema yang berbeda. Penontonnya? Tentu saja saya sendiri. Semoga anda berkenan dengan review borongan ini. :D

Sunday, October 24, 2010

The Hole (2001)

Genre : Drama/Mystery/Thriller

Pemain : Thora Birch, Keira Knightley, Desmond Harrington, Laurence Fox, Daniel Brocklebank, Embeth Davidtz

Sutradara : Nick Hamm

Penulis : Guy Burt (novel), Ben Court & Caroline Ip (screenplay)

Distributor : Pathe Distribution

Durasi : 102 menit

MPAA : Rated R for pervasive language, some violence, sexuality/nudity and drug use


"When you're convinced of your own absolute superiority, you don't need help from mere mortals like me. You can fuck things up all by yourself."
-Martyn-

Ketertarikan saya terhadap film ini muncul tiba-tiba, karena sebelumnya saya sama sekali asing dengan judul film produksi Inggris ini. Saat itu saya sedang berada di salah satu rental home video paling keren di Jakarta (no joke), dan tanpa sengaja saya melihat cover DVD film berjudul The Hole. Yang membuat saya tertarik, ada wajah Keira Knightley disitu. Penampilan Knightley pra kesuksesan trilogi Pirates of the Caribbean? So tempting! Dan yang semakin menarik atensi saya adalah genre yang ditawarkan film ini—mystery/thriller. Tanpa pikir panjang, saya langsung membawa film ini ke kasir. Ekspektasi saya tidak terlalu besar karena film ini tampak seperti film thriller indie biasa dengan premis cerita sederhana. Yang ingin saya lihat adalah si cantik Keira Knightley yang katanya tampil cukup "berani" disini dalam usianya yang masih 16 tahun. Sounds pervert? Whatever.

Film dibuka dengan adegan seorang gadis berjalan sempoyongan di sepanjang jalanan sepi yang di sekelilingnya penuh pamflet berita orang hilang. Gadis tersebut terlihat tergesa-gesa memasuki suatu kompleks sekolah-asrama. Sesampainya di dalam, ia terjatuh lemas setelah menjerit meminta bantuan. Kemudian diketahui bahwa ia adalah salah satu murid di sekolah tersebut yang diberitakan hilang 18 hari sebelumnya. Seorang psikolog dari kepolisian—Dr. Philippa Horwood (Embeth Davidtz) bertugas menggali informasi dari gadis bernama Liz (Thora Birch) tersebut. Lalu Liz mulai menceritakan kejadian yang dialaminya saat ia diberitakan hilang. Melalui cerita yang dipaparkannya, terkuak bahwa Liz bersama 3 orang lainnya—Frankie (Keira Knightley), Mike (Desmond Harrington), dan Geoff (Laurence Fox) disekap dalam sebuah bunker peninggalan zaman perang di hutan sekitar sekolahnya. Dan pelakunya adalah Martyn (Daniel Brocklebank), teman Liz sendiri.

Saat misteri hilangnya Liz beserta tiga orang lainnya mulai terkuak, misteri baru timbul saat polisi menginterogasi Martyn, sang tersangka. Versi yang diceritakan Martyn jauh berbeda dengan apa yang disampaikan Liz sebelumnya. Dari sini, cerita mulai bergerak lebih menarik. Versi pertama (dari sudut pandang Liz) tergambar bahwa Liz adalah remaja biasa yang jauh dari kata populer, sahabat karib Martyn, dan tergila-gila pada Mike. Akibat niat jahat Martyn, Liz beserta tiga orang lainnya—Frankie, Geoff, dan juga Mike terkurung dalam sebuah bunker bawah tanah di tengah hutan. Mereka disekap disana tanpa ada seorang pun yang mengetahui keberadaan mereka selain Martyn. Versi kedua (dari sudut pandang Martyn), Liz adalah gadis bitchy, sahabat karib Frankie, dan juga tergila-gila pada Mike. Dalam usahanya merebut hati Mike, Liz berencana menghabiskan akhir pekan dengan berpesta di sebuah bunker terpencil yang dulu pernah ditunjukkan Martyn padanya. Jelas terlihat bahwa Martyn bukanlah orang yang bertanggungjawab atas menghilangnya keempat remaja tersebut.

Cukup menarik untuk menebak-nebak siapa yang menceritakan fakta sebenarnya diantara mereka berdua. Paruh awal film sedikit membosankan karena minim konflik dan cenderung datar. Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, film mulai beranjak lebih menarik saat adegan Martyn diinterogasi. Cerita versi Martyn ditimpali pula dengan adegan-adegan yang timbul dari kilasan memori Liz. Saya pun semakin tertarik untuk mengikuti kelanjutan ceritanya. Namun saat memasuki satu jam durasi, saya sudah bisa menebak kemana arah film ini. Saya tetap bertahan untuk terus menonton demi bisa mengetahui akhir kisahnya agar bisa dengan puas berkata : "sudah kuduga". Ya, siapa pemicu masalah sebenarnya serta motif yang melatarinya ternyata memang sesuai dugaan saya. Walaupun cukup predictable dan banyak plot hole disana-sini, namun secara keseluruhan ceritanya masih enak diikuti.

Semua pemainnya bermain dengan kadar cukup, tidak terlalu menonjol. Thora Birch lah yang cukup menarik perhatian saya dengan aksen British-nya yang meyakinkan (menurut telinga saya). Lalu bagaimana dengan Keira Knightley yang tampil berani (baca : pamer dada) disini? Lumayan oke lah, meskipun saya tidak sampai berteriak "ten out of ten!" seperti Desmond Harrington (cuma sedetik sih, jadinya kurang berkesan). Di luar itu, Knightley memang terlihat mempunyai potensi untuk menjadi aktris besar, dan saat ini ia sudah berhasil membuktikannya.

Untuk penyuka film thriller yang lebih menekankan sisi psikologis dibanding adegan gore yang tidak perlu, saya merekomendasikan The Hole sebagai alternatif tontonan. Film ini juga mengeksplor sejauh mana seseorang mampu bertindak demi mendapatkan apa yang ia inginkan. Obsesi memang bisa membutakan—membuat seseorang terjerat dalam hawa nafsunya sendiri sehingga tidak peka lagi terhadap lingkungan sekitar. Tanpa bermaksud memberikan spoiler, menurut saya ending film ini akan membuat sebagian penonton kesal setengah mati. Just my thought.

Rating : 6/10

Wednesday, October 20, 2010

Heathers (1989)

Genre : Comedy/Crime

Pemain : Winona Ryder, Christian Slater, Shannen Doherty, Lisanne Falk, Kim Walker

Sutradara : Michael Lehmann

Penulis : Daniel Waters

Distributor : New World Pictures

Durasi : 103 menit

MPAA : Rated R for violence, sexual references, and language


"Betty Finn was a true friend and I sold her out for a bunch of Swatch dogs and Diet Coke heads. Killing Heather would be like offing the wicked witch of the west... wait, east. West! God! I sound like a fucking psycho."
-Veronica-

Kalimat di atas adalah satu dari sekian banyak quote menggelitik yang bertebaran di sepanjang durasi film ini. Heathers, sebuah potret kehidupan para remaja dalam balutan dark comedy yang tajam, penuh sindiran, sekaligus cerdas. Judul film ini sendiri diambil dari nama sebuah kelompok (mungkin lebih dikenal dengan sebutan geng) yang terdiri dari tiga siswi populer bernama depan sama—Heather Chandler (Kim Walker), Heather Duke (Shannen Doherty), dan Heather McNamara (Lisanne Falk). Layaknya film-film remaja kebanyakan, clique yang terdiri dari gadis-gadis paling populer di sekolah otomatis memiliki otoritas penuh dalam hal pergaulan. Mereka seolah berada di tempat tertinggi dalam stratifikasi sosial di lingkungan sekolahnya. Dari scene awalnya saja, sudah tergambar seberapa berpengaruhnya eksistensi para Heather ini. Ah, saya jadi teringat lagu Que Sera Sera.

Veronica Sawyer (Winona Ryder)—gadis cerdas dengan selera humor sarkastik, adalah anggota keempat di geng Heathers. Wait, a non-Heather in Heathers? How could that be? Ya, meski tidak dijelaskan bagaimana awal mula Veronica bisa diterima di geng tersebut (yang tampak sudah sempurna sebagai trio), namun jelas bahwa ia memiliki sesuatu yang menarik perhatian para Heather. Tidak seperti Duke dan McNamara yang tampak agak segan terhadap pemimpin mereka—Heather Chandler, Veronica justru cenderung lebih santai saat berada di dekatnya. Sosok Veronica adalah cerminan seorang remaja yang ingin diterima dalam pergaulan dengan bergabung bersama geng populer, tidak peduli bahwa justru sebenarnya ia membenci geng tersebut. Seperti kalimat yang diucapkannya, "Well, it's just like - they're people I work with, and our job is being popular and shit." Jelas tergambar bahwa ia terpaksa bergaul dengan para Heather demi status sosial. Sebagai Veronica, Winona Ryder tampak begitu mempesona di setiap kemunculannya.

Kehadiran sosok Jason "J.D." Dean (Christian Slater)—murid pindahan bergaya cool dan misterius, semakin membuat Veronica tersadar. Kebencian terhadap Heather yang selama ini hanya ia tuangkan dalam diary, mulai diwujudkan dalam tindakan nyata. Namun, keisengan yang ia lakukan bersama J.D. pada akhirnya malah berbuah malapetaka. Sosok J.D. seolah memicu munculnya sisi gelap dalam diri Veronica. Saat bersama J.D., ia seperti kehilangan kendali atas dirinya. Mampukah Veronica terbebas dari pesona gelap J.D. yang bagai magnet bagi dirinya? Tokoh J.D. diperankan dengan sempurna oleh Christian Slater—charming sekaligus psychotic. Cukup mengherankan melihat karirnya sekarang yang tidak berkembang, padahal jelas-jelas ia bisa berakting. Dan chemistry-nya dengan Winona Ryder sungguh mengagumkan. Pasangan mematikan yang mempesona. Love them both!

Heathers mengeksplor sisi gelap kehidupan para remaja di sekolah menengah. Stereotype anak sekolahan, obsesi terhadap popularitas, sampai fenomena bunuh diri di kalangan remaja dijadikan bahan komedi satir dalam film ini. Untuk yang memiliki selera humor sarkastik, dipastikan akan sangat terhibur dengan lontaran kalimat pedas dari tiap karakternya di sepanjang film. Skrip buatan Daniel Waters ini memang cerdas dan luar biasa menghibur dengan segala kesinisannya. Tiap tokohnya diberi kedalaman yang pas, dengan pembubuhan simbolisasi untuk mempertegas sifat karakter masing-masing (misalnya warna bola kriket Heathers). Beberapa adegan terkesan agak berlebihan—terutama pada paruh akhir menjelang ending, namun secara keseluruhan apa yang ingin disampaikan film ini cukup tepat sasaran. Tingkah laku remaja yang semakin brutal dan destruktif serta blow-up media yang membuat hal-hal negatif jadi terlihat keren disampaikan dengan jelas.

Jujur, saya sangat menikmati film ini dari awal sampai akhir. Gaya humornya sangat mengena dan benar-benar menghibur. Ini adalah salah satu film remaja terbaik yang pernah saya tonton. Sedikit mengingatkan pada Mean Girls yang sudah lebih dahulu saya tonton, namun Heathers jelas lebih baik sekaligus memorable. Film ini tidak cukup hanya ditonton sekali karena setelah menonton untuk kedua kalinya, saya menemukan beberapa detail yang sempat terlewat saat pertama kali menonton. Dan yang terpenting, saya semakin jatuh cinta dengan film ini. Ini bukan berlebihan, hanya sekedar ungkapan perasaan saya saja sebagai penonton. Tidak lebih.

Now, can someone bring me a chainsaw?

Rating : 9/10

Wednesday, October 13, 2010

Lilja 4-ever (2002)

Genre : Crime/Drama

Pemain : Oksana Akinshina, Artyom Bogucharsky, Pavel Ponomaryov

Sutradara : Lukas Moodysson

Penulis : Lukas Moodysson

Distributor : Sonet Film

Durasi : 109 menit

MPAA : Rated R for strong sexual content, a rape scene, drug use and language



"I'm not your property. Think you can buy me? You can't buy me. You can't buy my heart and soul."

-Lilja-

Lilja 4-ever adalah feature film ketiga dari salah seorang sineas handal asal Swedia, Lukas Moodysson. Tidak seperti dua filmnya terdahulu—Show Me Love dan Together yang bernuansa ceria, kali ini Moodysson membuat perubahan drastis dengan menghadirkan cerita yang kelam dan depresif. Konon, skrip yang ditulis Moodysson terinspirasi dari kejadian nyata mengenai seorang gadis remaja asal Lithuania bernama Danguole Rasalaite yang menjadi korban sindikat perdagangan manusia. Kisah tragis ini sempat menjadi headline di Swedia tahun 2000. Meski tidak mengangkat langsung kisah hidup Rasalaite, Moodysson mencoba untuk menggambarkan betapa kejamnya isu human trafficking melalui sudut pandang si korban dalam film ini.

Opening scene-nya memperlihatkan seorang gadis dengan wajah penuh luka memar berlari di jalanan dalam keadaan panik. Dengan diiringi lagu Mein Herz brennt dari Rammstein, ketakutan yang dialami gadis tersebut semakin terasa. Kemudian setting berpindah ke tiga bulan sebelumnya, di sebuah negara yang merupakan bagian dari former Soviet Union. Diceritakan bahwa gadis tadi bernama Lilja. Kala itu, kegembiraannya sedang memuncak karena ia akan pindah ke Amerika bersama ibunya yang telah memiliki kekasih baru. Namun impiannya seolah direnggut saat ibunya memutuskan untuk tidak mengajak Lilja. Ibunya menjanjikan bahwa Lilja bisa menyusul nanti. Dari sini, pertanda buruk sudah mulai terlihat. Adegan perpisahan Lilja dengan ibunya adalah salah satu adegan paling memilukan dalam film ini. Tangis histeris Lilja, serta sekilas ekspresi ibunya yang tampak tidak tega tapi dengan egoisnya tetap pergi meninggalkan anaknya. Damn! It's so heartbreaking.


Sepeninggal ibunya, Lilja dititipkan pada bibinya yang cenderung a
patis. Ia dipaksa pindah dari tempat tinggalnya ke sebuah flat kumuh. Tanpa pengawasan orang dewasa, ia bebas berpesta bersama teman-temannya disana. Namun kesenangan itu hanya sesaat, karena ia masih merasakan kekosongan di hatinya yang dahulu diisi oleh sosok sang ibu. Sudah dapat diduga, ibunya memang benar-benar berniat untuk selamanya pergi dari kehidupan Lilja. Nasib Lilja tidak bertambah baik saat teman dekatnya tiba-tiba menyebarkan berita bohong tentang dirinya. Hal ini membuatnya menjadi bahan cemoohan di lingkungannya. Satu-satunya orang yang tetap setia menemaninya hanyalah Volodja (Artyom Bogucharsky) , bocah lelaki yang sering ditindas ayahnya sendiri. Berdua, mereka saling menopang satu sama lain demi bisa bertahan di dunia yang sangat tidak bersahabat ini.

Kehidupan yang keras sempat membuat Lilja terjerumus dalam lembah prostitusi. Dirinya seolah terselamatkan saat bertemu dengan sosok bak malaikat dalam diri seorang pria bernama Andrei (Pavel Ponomaryov). Perkenalan yang awalnya tidak disengaja akhirnya membuat mereka semakin akrab. Kemudian Andrei pun memberikan harapan indah pada Lilja. Ia menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi Lilja di Swedia. Kesempatan tersebut tentu membuat Lilja senang tak terkira karena akhirnya ia bisa terbebas dari tempat yang telah menorehkan kenangan buruk padanya selama ini. Namun apakah Andrei benar-benar memiliki niatan tulus untuk menolong Lilja? Ataukah itu hanya siasat untuk menjebak Lilja? Dari sini, film semakin menyakitkan untuk ditonton. Dari awal sampai lebih dari setengah film, penonton dipaksa menjadi saksi betapa malangnya nasib Lilja. Sepertiga akhir film adalah puncak ketragisan kisahnya. Dan inilah yang membuat saya semakin muak terhadap orang-orang bejat yang terlibat dalam bisnis terkutuk berjuluk human trafficking.


Melalui sosok Lilja yang diperankan dengan gemilang oleh Oksana Akinshina, saya dibawa menyelami kepedihan seseorang yang ditinggalkan, dikhianati, dan dijerumuskan. Akinshina membuat sosok Lilja terasa begitu nyata. Sangat menyakitkan melihat senyumnya yang tulus dan ceria direnggut paksa oleh pihak yang begitu egois dan tidak bermoral. Sekali lagi, Moodysson menunjukkan kepiawaiannya dalam hal karakterisasi. Lilja adalah salah satu karakter yang paling melibatkan emosi saya saat menonton sebuah film. Karakternya mengingatkan saya bahwa di luar sana banyak orang yang nasibnya kurang beruntung, sementara terkadang saya sendiri masih sering menggerutu dengan apa yang saya miliki. Lalu melalui karakter Volodja, saya juga diingatkan bahwa dibalik semua tragedi yang menimpa seseorang, akan selalu ada cahaya menemani untuk menerangi jalan serta menegaskan bahwa harapan itu ada.

Secara keseluruhan, film ini bukanlah tipe tontonan eskapisme yang bisa dinikmati oleh semua orang. Menurut saya film ini memang bukan untuk dinikmati, melainkan untuk dimaknai. Kandungan di dalamnya mampu membangkitkan rasa kemanusiaan serta membuka mata kita untuk lebih peduli terhadap sesama. Itulah yang membuat film ini sangat layak untuk ditonton. Highly recommended!

Rating : 9/10

Saturday, October 9, 2010

The Girl Who Leapt Through Time (2006)

Genre : Animation/Comedy/Drama/Romance

Pengisi Suara : Riisa Naka, Takuya Ishida, Mitsutaka Itakura

Sutradara : Mamoru Hosoda

Penulis : Yasutaka Tsutsui (novel), Satoko Okudera (screenplay)

Distributor : Kadokawa Herald Pictures

Durasi : 98 menit




Yuri Hayakawa : "Makoto! Time waits for no one."

Apa yang akan anda lakukan jika anda memiliki kemampuan untuk memutar waktu? Berusaha mengubah kejadian buruk di masa lalu agar menjadi lebih baik segera terlintas di benak saya—dan mungkin juga sebagian orang. Lantas, apakah dengan mengubah masa lalu maka otomatis keadaan saat ini akan menjadi lebih baik? Tidak ada jawaban yang pasti, karena saya yakin segala sesuatu akan ada konsekuensinya. Mengubah hal sekecil apapun bisa membawa dampak pada hal lain. Hukum sebab-akibat tentunya tidak bisa diabaikan. Konsep tersebut ditampilkan melalui film yang dalam bahasa aslinya berjudul Toki o Kakeru Shojo ini. Terinspirasi dari novel berjudul sama karangan Yasutaka Tsutsui, film ini mencoba menggabungkan romantika kehidupan remaja dengan elemen fiksi ilmiah.


Tokoh utama dalam film ini bernama Makoto Konno (Riisa Naka), gadis tomboy yang cenderung urakan dan ceroboh. Kegiatan rutinnya sepulang sekolah diisi dengan bermain baseball bersama dua orang t
emannya, Chiaki Mamiya (Takuya Ishida) dan Kosuke Tsuda (Mitsutaka Itakura). Suatu hari saat berada dalam lab di sekolah, ia mengalami kejadian aneh. Seolah-olah ia terbang melintasi waktu sebelum akhirnya ia terjerembab di lantai dalam keadaan setengah sadar. Awalnya ia tidak terlalu menganggap serius keanehan tersebut sampai akhirnya terjadi insiden yang mulai membuatnya yakin bahwa ia bisa "melompati" waktu. Setelah insiden tersebut, ia berkonsultasi dengan bibinya, Kazuko Yoshiyama (sang tokoh protagonis dalam novel aslinya—diisisuarakan oleh Sachie Hara). Tanpa benar-benar menceritakan pengalamannya sendiri dalam melompati waktu, bibi Kazuko kemudian menjadi figur seorang penasihat bagi Makoto.

Proses melompati waktu yang awalnya terjadi karena ketidaksengajaan pada akhirnya bisa dikontrol oleh Makoto. Bagaimana caranya? Dengan melakukan lompatan (literally) jauh a la kijang, dan ia pun bisa mundur kembali ke waktu yang diinginkannya. Kemampuan barunya ini ia manfaatkan untuk kepentingan dirinya sendiri yang cenderung sepele, seperti mengulang ujian di sekolah sampai karaoke berjam-jam tanpa membayar lebih. Makoto menganggap kemampuan barunya ini bagaikan sebuah hiburan, tanpa menyadari bahwa ada konsekuensi dibalik itu semua. Keadaan menjadi lebih serius saat Chiaki menyatakan perasaannya pada Makoto. Makoto yang tidak mau persahabatannya rusak karena masalah percintaan lalu melakukan lompatan waktu berkali-kali hanya untuk membatalkan pernyataan Chiaki. Dan Makoto juga menggunakan lompatan waktu untuk menjodohkan Kosuke dengan seorang gadis yang menyukainya. Apakah semua perbuatannya ini dapat mengubah keadaan menjadi lebih baik? Ataukah justru ia akan menyesal seumur hidup atas perbuatannya tersebut?

Cerita mengenai time travel seperti ini memang sudah sering diangkat ke berbagai media, termasuk film. Namun bukan berarti tema tersebut sudah basi untuk diangkat. Hal ini tergantung pada penggarapannya juga, apakah masih sanggup menyajikan sesuatu yang menarik hingga layak ditonton. Tokikake (singkatan untuk judul aslinya) adalah salah satu contoh bagaimana tema mengenai time travel atau time leapt ini masih bisa dikemas dengan baik dan menarik. Tokikake pada dasarnya adalah coming of age story bergenre drama komedi. Di sini diperlihatkan bagaimana sikap seorang remaja biasa saat diberi kemampuan lebih. Kemampuan yang akan membawa sang pemilik pada konsekuensi mengerikan saat digunakan dengan seenaknya, tapi di sisi lain juga dapat menumbuhkan kedewasaan dalam dirinya. Hubungan persahabatan yang berkembang menjadi rasa cinta dihadirkan dengan manis, getir, sekaligus lucu. Untuk melengkapi itu semua, maka ditambahkan elemen fiksi ilmiah bertajuk time leapt. Elemen ini hadir untuk memberi impact lebih kepada para penontonnya.

Film ini diproduksi oleh Madhouse—salah satu studio animasi terkenal di Jepang yang sudah sering menelurkan anime baik untuk format televisi maupun layar lebar, diantaranya karya-karya dari almarhum Satoshi Kon (Tokyo Godfathers, Paprika). Animasi yang ditampilkan disini menurut saya cukup halus dan menawan, tidak kalah dengan animasi produksi Ghibli yang kaya warna—sungguh memanjakan mata. Desain karakternya dibuat khas anime konvensional, dengan tampilan fisik yang kadang tidak proporsional serta ekspresi wajah komikal dalam beberapa adegan—I love it! Desain lingkungannya juga digambarkan dengan baik dan mendetail. Salah satu lokasi yang paling sering disorot adalah sebuah sungai yang menghadap langsung ke flyover. Dengan sudut pengambilan gambar serta komposisi warna yang pas, adegan yang ditampilkan terasa semakin kuat dan memorable.


Komponen lain yang tidak kalah menarik adalah musik latarnya yang ikut andil dalam membangun mood film dari awal sampai akhir. Dari adegan lucu sampai momen yang menguras emosi berhasil disampaikan melalui score gubahan Kiyoshi Yoshida ini. Dengan segala keunggulan teknis serta muatan ceritanya yang menarik, tanpa ragu saya berani menyebut film ini sebagai salah satu anime terbaik yang pernah saya tonton. Apakah masih terlalu prematur untuk mengatakan bahwa Mamoru Hosoda adalah the next Hayao Miyazaki? Tanpa perlu membandingkan pun, saya yakin bahwa sineas satu ini memiliki talenta besar dalam membuat film animasi berkualitas. Patut ditunggu karya-karya beliau selanjutnya. Sebelum itu, biarkan saya kembali menyaksikan serunya aksi Makoto sang "pelompat" waktu. Yeah, it's definitely worth multiple watching.

Rating : 8/10

Saturday, October 2, 2010

Together (2000)

Genre : Comedy/Drama

Pemain : Lisa Lindgren, Michael Nyqvist, Gustaf Hammarsten, Emma Samuelsson, Sam Kessel

Sutradara : Lukas Moodysson

Penulis : Lukas Moodysson

Distributor : Sonet Film

Durasi : 106 menit

MPAA : Rated R for nudity/sexuality and language


Birger : "There's strength in being alone - that's just bullshit. Only thing worth anything is being together."

Stockholm, Swedia 1975. Pada periode 70-an ini, di Swedia mulai banyak bermunculan komune—sekelompok orang yang memutuskan untuk tinggal bersama dalam suatu tempat dengan saling berbagi properti sampai pendapatan dari usaha yang dikelola bersama. Melalui film ini, Moodysson menyorot kehidupan sekelompok hippies yang tergabung dalam satu komune dengan nama "Together" atau "Tillsammans" dalam bahasa Swedianya. Mereka adalah Goran (Gustaf Hammarsten) bersama kekasihnya, Lena (Anja Lundqvist); Lasse (Ola Norell) dengan mantan istrinya, Anna (Jessica Liedberg) beserta putra tunggal mereka Tet (Axel Zuber); Klas (Shanti Roney); Erik (Olle Sarri); dan terakhir ada pasangan suami istri beserta putranya (saya lupa nama mereka). Dengan watak masing-masing yang berbeda, mereka tidak pernah lepas dari perdebatan tiap harinya. Satu contoh saat mereka berdebat mengenai giliran siapa untuk mencuci piring, dan di satu sisi mereka juga berargumen apakah kegiatan mencuci ini terlalu "burjois" untuk dilakukan. Ya, percakapan seperti ini adalah makanan mereka sehari-hari.

Komunitas kacau ini kemudian mendapat kejutan yang berpotensi memecah-belah mereka—kehadiran tiga pendatang baru di rumah mereka. Elisabeth (Lisa Lindgren), kakak kandung Goran memutuskan untuk pindah sementara ke rumah tersebut bersama kedua anaknya, Eva (Emma Samuelsson) dan Stefan (Sam Kessel) diakibatkan perlakuan kasar dari suaminya yang alkoholik, Rolf (Michael Nyqvist). Selain mereka bertiga, penghuni lama tentunya juga harus bisa saling menyesuaikan diri. Idealisme mereka dipertaruhkan. Siapa yang tidak tahan, dia yang harus keluar. Tapi yang paling terkena dampak dari kepindahan ini adalah Eva dan Stefan. Merasa sebagai outsider di lingkungan sekolah, kini mereka semakin merasa terasing dengan berada di tempat baru tersebut. Pertengkaran orang tua serta lingkungan yang tidak kondusif semakin membuat mereka frustasi. Namun lama kelamaan keadaan pun membaik saat seorang anak lelaki tetangga tertarik kepada Eva sehingga ia pun bisa mulai menerima keadaannya. Stefan pun pada akhirnya mulai bisa beradaptasi dengan tempat tinggal barunya sembari sebisa mungkin tetap berhubungan dengan ayahnya.

Dalam proses penyatuan dua kelompok yang berbeda ini (idealist hippies dengan broken family), akhirnya harus ada beberapa orang yang keluar demi mempertahankan idealismenya. Prinsip penghuni lama untuk menghindari gaya hidup masyarakat modern, seperti menolak adanya televisi atau larangan mengonsumsi daging pada akhirnya mulai longgar. Menurut saya ini bukanlah wujud dari keegoisan satu pihak yang menyebabkan terkekangnya kebebasan berprinsip dari pihak lain, melainkan lebih kepada rasa toleransi dari kedua belah pihak demi terjalinnya kebersamaan yang lebih harmonis. Karena perbedaan itu ada justru agar kita bisa lebih memahami serta mengembangkan sikap toleransi terhadap sesama. Dengan memahami perbedaan yang ada dalam diri orang lain maka akan semakin memperkaya diri kita sebagai seorang individu. Ya, perbedaan itu memang indah. :)

Inti yang bisa saya tangkap dari film ini adalah tentang kebersamaan, yang sudah jelas tersirat melalui judulnya. Isu tersebut tentunya tidak akan lengkap jika tidak menyinggung isu lainnya yang berlawanan, yaitu tentang kesendirian. Keadaan ini digambarkan melalui tokoh Rolf. Sifatnya yang temperamen serta hobinya mabuk-mabukan membuat ia dicampakkan istri dan kedua anaknya. Sepeninggal keluarganya, ia mulai merasakan arti kesendirian. Ia membagi rasa kesepiannya dengan seorang kakek yang merasakan hal yang sama sepeninggal istrinya. Dari percakapan mereka tergambar bahwa kesendirian itu menyakitkan. Bahwa hal yang terpenting adalah kebersamaan.

"You could say that we are like porridge. First we're like small oat flakes - small, dry, fragile, alone. But then we're cooked with the other oat flakes and become soft. We join so that one flake can't be told apart from another. We're almost dissolved. Together we become a big porridge that's warm, tasty, and nutritious and yes, quite beautiful, too. So we are no longer small and isolated but we have become warm. soft, and joined together. Part of something bigger than ourselves. Sometimes life feels like an enormous porridge, don't you think? Sorry, I'm standing around dreaming." Wow, metafora yang brilian! Let's say, life is like a bowl of porridge. Did you ever hear that somewhere? Hahaha. Kalimat yang diucapkan Goran tersebut sudah merangkum apa yang ingin disampaikan melalui film ini.

Dengan jumlah tokoh yang banyak, tentunya agak sulit untuk memberikan pengembangan yang baik bagi tiap karakternya. Tapi, menurut saya Moodysson cukup berhasil untuk membuat tiap karakternya terlihat menonjol walaupun dengan screentime yang terbatas. Dan semua karakter disini terasa nyata, bukan hanya karakter dua dimensi tanpa nyawa yang hanya bertindak sebagai pelengkap saja. Semua memiliki peran masing-masing, dengan karakterisasi yang unik, Kredit tentunya juga patut diberikan untuk para aktor aktrisnya yang mampu membawakan tiap karakternya dengan baik. Nice ensemble cast!

Gambar yang ditampilkan cenderung grainy, hampir sama seperti film Moodysson sebelumnya, Show Me Love. Uniknya, hal ini justru jadi lebih menambah kesan realisme yang hendak disampaikan. Itulah keunggulan karya-karya Moodysson—apa yang ditampilkan di layar terasa nyata, terutama karakterisasi tokoh-tokohnya. Dengan segala keunggulan tersebut, dua film pertamanya secara resmi ikut mengisi daftar panjang film-film favorit saya. Sekarang saya pun semakin penasaran dengan karya berikutnya dari seorang Lukas Moodysson.

8/10