Wednesday, September 29, 2010

The Evil Dead (1981)

Genre : Horror

Pemain : Bruce Campbell, Ellen Sandweiss, Richard DeManincor, Betsy Baker, Theresa Tilly

Sutradara : Sam Raimi

Penulis : Sam Raimi

Distributor : New Line Cinema

Durasi : 85 menit

MPAA : Rated NC-17 for substantial graphic horror violence and gore



Linda : "We're going to get you. We're going to get you. Not another peep. Time to go to sleep."


Era 80-an diakui sebagai bagian dari golden age of horror. Masa dimana lahirnya film-film horor yang saat ini sudah mencapai status cult. The Evil Dead adalah salah satu diantaranya. Film horor berbujet rendah ini pada awal perilisannya menimbulkan banyak kontroversi berkaitan dengan muatannya yang saat itu dianggap terlalu ekstrim. Setelah pada akhirnya mendapat jadwal tayang resmi pada tahun 1981, nyatanya film ini cukup sukses dalam peredarannya. Dan lama kelamaan fanbase-nya semakin kuat hingga akhirnya diakui sebagai cult movie. Film ini juga berjasa mengangkat nama sutradaranya, Sam Raimi. Merasa familiar? Tentu saja, karena dialah orang dibalik keberhasilan salah satu trilogi paling sukses sepanjang sejarah, Spider-Man. Jauh sebelum ia meraih popularitas berkat franchise sang manusia laba-laba tersebut, Raimi lebih dahulu dikenal sebagai pencipta salah satu cult horror paling berpengaruh ini.

Formula yang digunakan di sini sangat tipikal film horor. Lima orang mahasiswa menghabiskan akhir pekan di sebuah kabin terpencil di tengah hutan. Dari tampak luarnya saja sudah jelas terlihat bahwa ada yang tidak beres dengan tempat tersebut. Keanehan tersebut tentunya tidak begitu mereka pedulikan pada awalnya. Lama kelamaan, keanehan semakin menjadi terutama setelah mereka menemukan sebuah buku dan kaset rekaman misterius. Akhir dari rekaman tersebut berisi semacam mantra yang tanpa mereka sadari ternyata membangkitkan iblis yang terkubur di hutan tersebut. Malam mereka yang tadinya menyenangkan seketika berubah menjadi malam penuh teror berdarah. Tidak ada jalan keluar. Kini, mereka harus berjuang mati-matian demi bisa bertahan hidup dan memusnahkan para iblis tersebut.

Brutal dan absurd, itulah kesan yang saya dapat setelah menonton film ini. Tidak heran jika saat perilisan awalnya film ini tidak lepas dari kontroversi dan sempat dilarang edar di beberapa negara. Muatan kekerasan yang ada memang bisa dibilang cukup eksplisit dengan menampilkan potongan tubuh manusia dan muncratan darah dimana-dimana. Mayoritas adegannya terasa absurd bagi saya bahkan ada beberapa adegan yang terasa menggelikan. Tapi semua keabsurdan tersebut justru menjadi nilai hiburan tersendiri. Dimulai dari adegan setelah mantra dalam kaset rekaman terdengar, film yang awalnya terasa sedikit membosankan ini segera mengeluarkan energinya. Dari adegan kerasukan sampai adegan pembantaian terus menerus membombardir penonton. Sangat menghibur.

Menurut saya, apa yang ditampilkan Raimi di sini bisa dibilang spektakuler pada zamannya. Efek serta makeup yang digunakan terlihat mengagumkan. Berbeda dengan film produksi sekarang yang sudah didukung dengan perkembangan teknologi, film ini tampil maksimal dalam kesederhanaannya. Justru efek dalam film ini berhasil membuat saya terkagum-kagum. Wajah orang yang kerasukan tampak begitu mengerikan, walaupun memang ada beberapa yang terasa berlebihan. Musik latar yang ditampilkan menurut saya agak heboh dan berisik, tapi masih bisa dinikmati dan cukup membantu dalam beberapa adegan. Secara keseluruhan, aspek teknisnya digarap dengan baik sehingga semakin memperkuat atmosfer film.

Berbicara mengenai para pemainnya, saya rasa mereka tampil biasa, tidak istimewa namun juga tidak begitu mengganggu. Kadang mereka tampak agak kaku, kadang berlebihan, tapi juga bisa menarik simpati. Beberapa dialog cheesy yang mereka ucapkan anehnya jadi tidak terasa begitu konyol. Menurut saya Raimi mengambil keputusan yang tepat untuk memakai aktor aktris yang kurang populer.


Bagi para penggemar film horor, saya sangat merekomendasikan film ini untuk ditonton. Setelah menonton film ini, mungkin anda akan mengerti mengapa film ini bisa mendapat status cult dengan fanbase yang sangat kuat. Karena film inilah, saya jadi tertarik untuk berburu film-film horor yang diproduksi di masa kejayaannya, jauh sebelum horor-horor kacangan dengan ide daur ulang menginvasi bioskop-bioskop sekarang.

7/10

Sunday, September 26, 2010

Frozen (2010)

Genre : Drama/Thriller

Pemain : Emma Bell, Shawn Ashmore, Kevin Zegers

Sutradara : Adam Green

Penulis : Adam Green

Distributor : Anchor Bay Entertainment

Durasi : 93 menit

MPAA : Rated R for some disturbing images and language


"No one knows you're up there."


Pernahkah anda membayangkan bagaimana rasanya terjebak dalam situasi serba genting yang membahayakan nyawa anda? Sempat terpikirkah bahwa sebuah miskomunikasi dapat berakibat fatal bagi keselamatan orang lain? Gagasan itulah yang coba dituangkan Adam Green melalui naskah film terbarunya, Frozen. Naskah tersebut kemudian dieksekusi menjadi sebuah film thriller efektif yang berpusat di satu tempat dengan jumlah tokoh yang minim. Badai salju, tempat terisolir, ketinggian 50 kaki, serta kawanan serigala adalah beberapa elemen yang menghadirkan teror dalam film tentang pilihan antara hidup dan mati ini.

Tiga orang mahasiswa yang terdiri dari sepasang kekasih—Dan (Kevin Zegers) dan Parker (Emma Bell), serta sahabat Dan, Joe (Shawn Ashmore), menghabiskan akhir pekan mereka di sebuah ski resort. Setelah bermain ski sepanjang hari, mereka memutuskan untuk meluncur sekali lagi sebelum pulang. Dengan membujuk operatornya, mereka pun akhirnya diperbolehkan naik ski lift untuk kali terakhir karena resort akan segera ditutup berkenaan dengan cuaca yang semakin memburuk. Akibat sebuah kesalahpahaman, saat mereka bertiga sedang di tengah perjalanan menuju puncak pegunungan, ski lift tiba-tiba berhenti. Kekhawatiran mulai timbul saat semua lampu mendadak padam. Mereka menyadari bahwa resort telah ditutup, dan fakta bahwa tempat tersebut baru akan dibuka kembali 5 hari kemudian membuat kepanikan semakin melanda. Teror datang dalam berbagai bentuk, membuat mereka harus segera mengambil keputusan demi tetap bertahan hidup.


Dengan plot yang sangat sederhana bahkan berpotensi membosankan, hebatnya Green mampu menjadikan film ini menjadi sebuah sajian yang menarik. Dengan memanfaatkan setting yang terbatas, ia berhasil menyajikan ketegangan yang begitu intens. Semua adegan yang tampak di layar begitu meyakinkan, hal ini tidak lepas dari penampilan ketiga pemainnya. Bell, Ashmore, dan Zegers membawakan peran masing-masing dengan baik. Karakterisasinya mungkin tidak mendalam, tetapi dengan ruang gerak yang sempit itu mereka berhasil tampil natural. Hal ini membuat saya peduli terhadap nasib mereka bertiga serta ikut merasakan ketegangan yang mereka alami. Sangat jarang sebuah film thriller bisa membuat saya begitu bersimpati terhadap tokoh protagonisnya.

Plotnya memang memiliki beberapa lubang, tapi sekali lagi berkat penyajiannya yang meyakinkan, hal ini tidak begitu kentara. Bagi sebagian orang, dialog yang ada juga mungkin terasa tidak penting karena banyak membicarakan hal-hal sepele yang pernah dialami tokoh-tokohnya. Tapi jika mau dipikirkan lagi, percakapan yang dihadirkan sangatlah wajar. Saat seseorang dihadapkan pada situasi sulit seperti ini, berbagi obrolan kecil dengan orang yang sedang mengalami situasi serupa akan sangat membantu. Pengalaman sekonyol apapun akan terasa berarti saat dibagi, menyadarkan kita bahwa kita tidak sendiri, bahwa masih ada harapan bagi kita untuk bertahan hidup. Jadi, absennya dialog dengan tingkat intelejensia tinggi tidak patut dipermasalahkan. Bahkan akan terasa sangat bodoh jika kita mengharapkannya muncul disini.

Plot, karakter, serta dialog yang mampu melibatkan emosi penonton ditimpali dengan musik latar yang disajikan. Score arahan Andy Garfield ini mampu menyatu dengan mood film. Sunyi, mencekam, sekaligus mengharukan. Emosi penonton berhasil diaduk-aduk di sepanjang film. Hal teknis lain seperti efek spesial maupun sinematografinya memang tidak begitu menonjol, tetapi juga tidak mengganggu film secara keseluruhan karena fokus utamanya bukan ke arah sana. Keutamaan dari film ini adalah atmosfer tegang yang dihadirkan serta alur cerita dan karakter yang mampu menarik simpati penonton. Sebagai sebuah drama-thriller produksi baru, saya akui film ini adalah salah satu dari yang terbaik di genrenya.

8/10

Saturday, September 25, 2010

Show Me Love (1998)

Genre : Drama/Comedy/Romance

Pemain : Alexandra Dahlstrom, Rebecka Liljeberg, Erica Carlson, Mathias Rust

Sutradara : Lukas Moodysson

Penulis : Lukas Moodysson

Distributor : Sonet Film

Durasi : 89 menit

Elin : "It makes a lot of chocolate milk. But that doesn't matter."



Show Me Love, sebuah gambaran mengenai kompleksitas masa-masa remaja dengan latar kota kecil di Swedia bernama Amal. Film yang memiliki judul asli Fucking Amal ini adalah debut dari seorang sutradara asal Swedia, Lukas Moodysson. Melalui film pertamanya ini, Moodysson mencoba untuk mengeksplorasi lika-liku kehidupan para remaja yang dikemas dengan begitu jujur dan mengena. Film yang sempat menuai kontroversi berkenaan dengan judulnya ini nyatanya merupakan sebuah sajian yang manis dan berbeda dibanding film remaja tipikal serta akhirnya diakui sebagai karya yang berkualitas terbukti dengan prestasi yang diraih di berbagai ajang penghargaan internasional.

Kisahnya berpusat pada kehidupan dua orang gadis remaja, Elin dan Agnes. Elin (Alexandra Dahlstrom), gadis cantik-populer yang bermimpi untuk menjadi model demi bisa keluar dari Amal, tempat yang ia anggap mengungkungnya selama ini. Kalimat fucking Amal adalah representasi dari rasa frustasinya terhadap kehidupannya yang membosankan dan seolah terisolasi dari perkembangan zaman. Di lain pihak ada Agnes (Rebecka Liljeberg), gadis pindahan yang sulit bersosialisasi dan diam-diam menyimpan perasaan suka terhadap Elin. Dua gadis yang sebelumnya tidak pernah berinteraksi sama sekali ini pada akhirnya mulai mengenal satu sama lain.


Labilnya emosi para remaja digambarkan dengan akurat oleh Moodysson melalui debut feature-nya ini. Dua karakter utamanya merefleksikan sifat remaja kebanyakan—merasa frustasi dan depresi pada satu kesempatan, lalu bisa tiba-tiba berubah menjadi ceria dan kekanak-kanakan. Penggambaran karakter yang bukan tanpa cela ini membuat kisahnya menjadi lebih masuk akal dan enak diikuti serta mungkin akan terasa personal bagi sebagian orang. Karakterisasi yang baik seperti ini tampaknya semakin jarang ditemui di film-film remaja Hollywood belakangan yang terlalu menonjolkan stereotype sehingga terasa semakin membosankan. Keunggulan ini tidak bisa lepas dari performa gemilang dua aktris utamanya—Alexandra Dahlstrom dan Erika Liljeberg, yang membawakan karakter m
asing-masing dengan sangat baik. Mereka berdua dengan mudahnya mencuri perhatian saya. I love them both!

Masa-masa remaja memang merupakan masa yang penuh gejolak. Melalui film ini, kita diajak untuk menelusuri fase tersebut melalui perspektif Elin dan Agnes. Rasa benci dan frustasi yang muncul akibat kekurangan dalam diri serta kebutuhan untuk balas dicintai diwakili oleh sosok Agnes. Sedangkan Elin merupakan sosok yang juga merasa frustasi, tapi lebih diakibatkan karena kebosanan luar biasa—bosan terhadap kota tempat tinggalnya, bosan terhadap dirinya yang ketinggalan trend, bosan terhadap anak lelaki seusianya yang selalu bertindak bodoh. Dan ketika dua individu ini bertemu, timbul percikan yang pada akhirnya akan membawa perubahan dalam kehidupan mereka.

Dari sini, Moodysson mulai mengeksplorasi apa makna cinta bagi para remaja. Kebimbangan dan kecemasan Elin akan perasaannya terhadap Agnes kemudian menggiringnya pada penyangkalan diri yang ia lampiaskan pada sosok Johan (Mathias Rust). Meski isu hubungan sesama jenis dengan jelas diapungkan, tapi hal tersebut tidak lantas diekspos habis-habisan hingga berpotensi mengganggu kenyamanan sebagian penonton. Justru hal tersebut semakin menegaskan bahwa cinta bukanlah masalah orientasinya, tetapi lebih kepada perasaan yang murni muncul dari dalam diri kita terhadap seseorang. Saya memang orang dengan pengalaman cinta yang hampir nol, tapi bukan berarti saya sepenuhnya buta akan hal tersebut. Dan itulah pendapat dari diri saya pribadi, entah anda setuju atau tidak.

Dengan kisah yang berpusat pada kehidupan anak muda, Moodysson juga menggarapnya dengan semangat anak muda. Kumpulan lagu pop-rock khas anak muda yang penuh energi diinjeksikan di setiap adegannya—poin plus untuk Moodysson. Saya rasa ia memiliki insting yang baik mengenai hal ini karena musik yang dihadirkan begitu pas dengan adegan yang ditampilkan. Salah satunya, adegan paling memorable dalam film ini dilatari tembang I Want To Know What Love Is milik Foreigner—sungguh brilian! Tidak lupa tembang manis dari Robyn yang judulnya menginspirasi judul (versi halus) dari film ini—Show Me Love, sebagai penutup kisah ini.

Pujian lain saya berikan untuk adegan klimaks yang juga brilian. Detik-detik mencapai klimaks, saya dibuat harap-harap cemas terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan ketika saat itu akhirnya datang, saya mulai bernafas lega, tersenyum puas, dan merasa begitu gembira. Klimaks ini mendefinisikan coming out of the closet secara kiasan sekaligus harafiah. Sungguh klimaks yang luar biasa. Lalu film ini diakhiri dengan ending yang begitu manis, semanis susu coklat yang dibagi dengan pasangan tercinta (you'll get it after you see it). :D

9/10