Thursday, March 13, 2008

Vantage Point (2008)

Genre : Drama/Thriller

Pemain : Dennis Quaid, Matthew Fox, William Hurt, Forest Whitaker, Sigourney Weaver

Sutradara : Pete Travis

Penulis : Barry Levy

Produser : Neil H. Moritz

Distributor : Sony Pictures Releasing

Durasi : 90 menit
.
.
Premis film ini cukup menarik, ditambah faktor para pemainnya yang cukup menjanjikan. Cara penyampaian dan tema ceritanya mau tidak mau mengingatkan saya pada serial TV 24, meskipun cukup berbeda.

Bercerita tentang Presiden Amerika Serikat (William Hurt) yang berkunjung ke Salamanca, Spanyol untuk menghadiri konferensi anti teroris. Saat naik ke podium, tiba-tiba presiden tertembak dan diikuti dengan ledakan bom beberapa saat kemudian. Opening scene ini disampaikan melalui sudut pandang seorang produser televisi, Rex Brooks (Sigourney Weaver) bersama para krunya yang sedang meliput konferensi tersebut. Saat Rex dan krunya menyaksikan kejadian penembakan tersebut, tiba-tiba adegan di-rewind dan kembali ke kejadian sebelum presiden ditembak. Dan uniknya, diceritakan melalui sudut pandang yang berbeda.

Selama setengah jam, film ini asyik me-rewind adegan sampai ke saat sebelum penembakan presiden melalui perspektif beberapa tokohnya. Setelah Rex Brooks, berlanjut ke perspektif dari seorang agen secret service, Thomas Barnes (Dennis Quaid) yang bertugas untuk melindungi Presiden. Lalu ada juga seorang polisi lokal, Enrique (Eduardo Noriega), dan seorang turis Amerika, Howard Lewis (Forest Whitaker). Dan terakhir dari sudut pandang Presiden sendiri.
Opening scene-nya adalah adegan yang paling efektif dari film ini. Soal playback scene-nya yang berlangsung tiap kira-kira 15 menit sebenarnya cukup brilian tapi juga berpotensi membuat penonton bosan. Saat adegan presiden ditembak untuk yang ke tiga kalinya, ada penonton di depan saya yang nyeletuk : "pasti balik lagi deh!". Kedua-tiga kalinya sih mungkin masih oke. Tapi lama-lama cukup melelahkan juga menyaksikan kejadian yang kita sudah tahu juntrungannya. Jadinya film ini tampak berputar-putar terus di tempat.

Meski begitu, saya tetap excited untuk menyaksikan film ini sampai beres. Ada beberapa hal yang cukup mengejutkan dan tidak saya duga sebelumnya. Sosok penembak sang presiden sebenarnya sudah bisa ditebak di pertengahan film, tapi tetap menarik untuk diikuti. Adegan klimaksnya juga tampak keren (waktu ambulansnya mau tabrakan, terus wajah pemainnya di close-up satu per satu). Walaupun bermuatan politik, saya rasa film ini tidak terlalu berat dan tetap menghibur dengan kadar action yang seru serta penyajian yang cukup unik.

7/10

Friday, March 7, 2008

10.000 BC (2008)

Genre : Action/Adventure/Drama

Pemain : Steven Strait, Camilla Belle, Cliff Curtis, Omar Sharif

Sutradara : Roland Emmerich

Penulis : Harald Kloser, Roland Emmerich

Produser : Michael Wimer, Roland Emmerich


Distributor : Warner Bros.


Durasi : 109 menit



D'Leh : [in the pit, after deciding to not kill the Saber-tooth] "Do not eat me when I save your life!"


Film ini saya tonton tanpa ekspektasi yang berlebihan. Apalagi sih yang diharapkan dari seorang Emmerich selain efek CGI yang mendominasi? Dari trailer-nya hal itu sudah terlihat dan membuat saya cukup excited untuk menonton filmnya. Tapi lama-kelamaan, saya punya firasat kalau film ini bakal punya kualitas semenjana. Dan ternyata itu memang terbukti.

Sesuai judulnya, film ini mengambil setting ribuan abad sebelum masehi, dimana manusia masih hidup berdampingan dengan makhluk-makhluk pra-sejarah semacam mammoth dan kawan-kawannya. Di sebuah pegunungan terpencil hidup suatu suku bernama suku Yagahl. Suatu malam, salah seorang penduduknya membawa seorang gadis kecil dari suku lain yang desanya baru diserang oleh suatu suku yang disebut "setan berkaki empat". Sang "ibu tua" dari suku Yagahl meramalkan bahwa gadis tersebut, yang bernama Evolet, suatu saat akan memegang peranan penting terhadap kelangsungan suku tersebut. Evolet lalu berkenalan dengan seorang anak bernama D'Leh. Merasa cocok satu sama lain, hubungan mereka semakin dekat dan akhirnya saling jatuh cinta.
Saat beranjak dewasa, hubungan mereka diuji ketika daerah tempat tinggal mereka diserang suku yang dulu pernah menghancurkan desa Evolet. Suku tersebut menculik Evolet dan sebagian penduduk lain. Melihat hal ini, D'Leh tidak tinggal diam dan berniat membawa kembali Evolet dengan bantuan teman dekat ayahnya, Tic Tic, juga Ka'Ren dan Baku, bocah yang diam-diam mengikuti mereka.

Di tengah perjalanan, mereka sempat terpisah dan harus menghadapi keganasan alam dan hewan-hewan buas. Lalu D'Leh dan Tic Tic bertemu dengan suatu suku yang menganggap D'Leh adalah orang yang selama ini mereka tunggu berdasarkan suatu ramalan. Dan akhirnya suku tersebut mau membantu D'Leh untuk menyelamatkan Evolet dan penduduk lainnya. Dengan pasukan barunya, D'Leh mengejar para penculik Evolet yang membawa mereka pada sebuah peradaban yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Mereka mendapati sebuah piramid yang menjulang tinggi, tempat kekuasaan seorang "dewa" yang gemar memperbudak rakyatnya. Demi menyelamatkan sukunya, D'Leh berusaha untuk melawan sang "dewa" beserta pasukannya.

Sebagai sebuah epik kolosal, film ini cukup berhasil menampilkan adegan action menarik dengan setting yang megah. Efek CGI-nya juga terbilang cukup mulus, terutama untuk penggambaran makhluk-makhluk pra-sejarahnya. Tapi sayang, plotnya sangat dangkal, so predictable and flat. Ditambah penampilan para pemainnya yang jauh dari kesan bagus, terutama sang pemeran utamanya—Steven Strait yang tidak berkharisma sebagai seorang pemimpin suku. Sangat jauh jika dibandingkan dengan penampilan Gerard Butler di 300.

Ada juga beberapa hal yang janggal dan cukup mengganggu jalan cerita film ini. Misalnya saja setting piramid yang terlalu megah, it's so over the top, IMHO. Terus Camilla Belle yang terlalu cantik sebagai seorang wanita jaman purba, walaupun mukanya dibuat sekotor apapun. Ditambah dengan penamaan karakter-karakternya yang mungkin wajar saja bagi Emmerich, tapi di telinga saya terdengar begitu konyol. Selain itu, ada beberapa dialog yang misplace. Banyak penonton yang tertawa saat sebenarnya tidak ada yang perlu ditertawakan. And suddenly, I feel that this movie turns into a joke.

Terakhir yang ingin saya komentari adalah penampilan main villain-nya. Kalah jauh dengan penampilan Xerxes di 300 yang biarpun "banci dandan" tapi setidaknya masih punya aura jahat. Di film ini, sang villain alias "dewa" benar-benar membuat saya kesal. Bukan karena saking jahatnya atau karena pemerannya sangat brilian sehingga berhasil membuat penonton geregetan dengan aktingnya. Melainkan lebih karena dia tampak tidak punya kualitas apapun untuk disebut sebagai dewa. Tampilannya yang sok misterius bukannya memberi kesan keagungan seorang dewa, malah membuat ia tampak seperti seorang pesakitan. Momen terbaik selama menonton film ini adalah ketika lampu bioskop mulai menyala—tanda bahwa kekonyolan ini sudah berakhir. Thank God!

3/10

Tuesday, March 4, 2008

Perempuan Punya Cerita (2008)

Genre : Drama

Pemain : Shanty, Sarah Sechan, Susan Bachtiar, Rieke Dyah Pitaloka, Rachel Maryam, Kirana Larasati, Fauzi Baadila

Sutradara : Nia Dinata, Upi Avianto, Fatimah Rony, Lasja F. Susatyo

Penulis : Vivian Idris, Melissa Karim

Produser : Nia Dinata

Distributor : Kalyana Shira Film

Durasi : 105 menit



Akhirnya saya mendapat kesempatan untuk menonton film yang tampaknya cepat sekali menghilang dari peredaran ini. Gratis dan uncensored pula. Thanks buat teman saya Ajeng yang sukses membujuk saya untuk datang ke Q! Film Festival. Buat yang belum tahu, Q! Film Festival itu merupakan festival film yang selalu menayangkan film-film bertema hubungan sesama jenis, juga isu HIV/AIDS. Film Perempuan Punya Cerita ini diputar di hari terakhir, Sabtu kemarin di CCF Bandung. Dan seperti dugaan saya, kursi penonton penuh sesak.

Film ini merupakan sebuah anthology atau gabungan dari 4 film pendek yang dibuat oleh 4 sutradara wanita yang bercerita tentang wanita juga. Diproduseri oleh Nia Dinata yang pernah memproduksi film Arisan! dan Berbagi Suami, nampaknya film ini bakalan punya kualitas yang tidak perlu diragukan lagi.

Cerita Pulau
Segmen pertama ini bercerita tentang Sumantri (Rieke Dyah Pitaloka), bidan yang bekerja di sebuah pulau tak jauh dari Jakarta. Ia divonis kanker dan harus dirawat di Jakarta. Penderitaannya semakin bertambah ketika seorang gadis yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri, Wulan (Rachel Maryam) diperkosa oleh sekelompok pemuda setempat. Sumantri berusaha untuk memperjuangkan kasus perkosaan tersebut, walaupun cukup berat karena sang pemerkosa adalah putra dari seseorang yang cukup berpengaruh. Entah mengapa, segmen cerita ini terasa kurang mengena. Endingnya juga kurang memuaskan. Tapi satu hal yang pasti, uang masih lebih berbicara banyak dibanding suara seorang perempuan yang berusaha memperjuangkan hak sesamanya. What a shame!

Cerita Jogja

Segmen cerita yang menurut saya paling berani. Menampilkan realita pergaulan bebas para pelajar di Jogja. Jay (Fauzi Baadilla), seorang jurnalis dari Jakarta, berniat untuk menulis artikel tentang pergaulan remaja di Jogja. Hal ini membawanya kepada sosok Safina (Kirana Larasati) beserta kawan-kawannya yang sudah tidak aneh lagi dengan yang namanya pergaulan bebas. Safina yang sebenarnya naif, akhirnya terjebak rayuan Jay yang membuat masa depannya rusak. Cerita ini benar-benar membuka mata saya akan pergaulan remaja yang terjadi sekarang ini. Sungguh miris (sekaligus membuat saya terbahak) saat adegan dua orang teman Safina melakukan hubungan badan, sementara ibunya mau pergi ke pengajian. So ironic!


Cerita Cibinong

Esi (Shanty), seorang wanita yang bekerja di klab malam sebagai pembersih WC. Ia banting tulang untuk membiayai sekolah putri satu-satunya, Maesaroh. Suatu malam, Esi membawa kabur Maesaroh saat ia memergoki kekasihnya, Narto berbuat tidak senonoh terhadap anaknya tersebut. Esi akhirnya menumpang di rumah Cicih (Sarah Sechan), PSK di klab malam tempatnya bekerja yang bermimpi ingin menjadi penyanyi dangdut. Konflik berlanjut saat Cicih membawa Maesaroh ke Jakarta tanpa sepengetahuan Esi. Parahnya, orang yang dipercaya Cicih sebagai produser yang ingin mengorbitkan dirinya ternyata seorang sindikat perdagangan perempuan yang ingin menjual Maesaroh. Yang paling menghibur di cerita ini, bahkan filmnya secara keseluruhan tentunya adalah the one and only Sarah Sechan. Nyunda banget, keren lah pokoknya.

Cerita Jakarta
Cerita terakhir yang menurut saya paling mengharukan. Laksmi (Susan Bachtiar), seorang janda beranak satu yang baru ditinggal mati suaminya karena penyakit AIDS. Bahkan ia pun tertular penyakit tersebut. Keadaannya diperparah dengan hak asuh putrinya, Belinda, yang ingin direbut oleh ibu mertuanya. Sebagai seorang ibu ia berusaha mati-matian untuk mempertahankan putrinya, walaupun akhirnya dengan kondisi fisiknya yang semakin lemah ia rela membuat sebuah keputusan besar, yang walaupun menyakitkan harus tetap ia ambil demi kebaikan putrinya. Akting Susan Bachtiar patut diacungi jempol—bikin terharu, tapi tidak cengeng.

Kesimpulannya, film ini sangatlah menggugah. Biarpun masih ada beberapa kekurangan, but it's ok. Secara durasinya sendiri hanya kurang dari 2 jam, tapi harus memuat 4 cerita, tentunya cukup sulit kan. Tapi menurut saya cukup berhasil. Yang pasti, film ini menggambarkan bagaimana perjuangan para perempuan Indonesia dalam menghadapi cobaan yang begitu berat, malah cenderung ekstrim. Walaupun ceritanya mengangkat segala problematika tentang perempuan, tapi bukan berarti film ini tidak dapat dinikmati oleh kaum pria. Tanpa memandang gender, menurut saya film ini perlu ditonton agar kita bisa lebih menghormati kaum perempuan yang ternyata masih sering diremehkan walaupun isu emansipasi sudah berkumandang dimana-mana.

7/10

Ayat - Ayat Cinta (2008)

Genre : Drama/Romance/Religious

Pemain : Fedi Nuril, Rianti Cartwright, Carissa Putri, Melanie Putria, Zaskia Adya Mecca

Sutradara : Hanung Bramantyo

Penulis : Retna Ginatri S. Noor, Salman Aristo, Habiburrahman El Shirazy (novel)

Produser : Dhamoo Punjabi, Manoj Punjabi

Distributor : MD Pictures

Durasi : 120 menit



Inilah film yang sudah saya tunggu-tunggu sejak lama. Entah kenapa, saya begitu tertarik untuk menonton film ini. Padahal novelnya pun belum pernah saya baca. Saya hanya sempat mendengar sedikit alur ceritanya yang memang cukup menarik. Dan yang pasti penantian selama berbulan-bulan ternyata tidak sia-sia.

Bercerita tentang seorang pemuda Indonesia bernama Fahri (Fedi Nuril) yang menuntut ilmu di Al-Azhar, Mesir. Fahri terkenal sebagai pemuda yang religius. Dan ternyata, tanpa disadarinya banyak perempuan yang mengaguminya. Diantaranya Maria Girgis (Carissa Putri), tetangga satu flat Fahri. Sayangnya, Maria adalah seorang penganut Kristen Koptik, walaupun sebenarnya Fahri sangat mengagumi Maria karena ketertarikannya pada agama Islam. Lalu ada Nurul (Melanie Putria), putri seorang kyai terkenal yang sejak lama ingin melamar Fahri. Terakhir Noura (Zaskia Adya Mecca), gadis yang selalu didzalimi ayahnya, yang diam-diam menaruh hati pada Fahri sejak pertama bertemu.

Sebenarnya, Fahri juga memiliki target untuk segera menikah. Namun, ia belum juga menemukan wanita yang tepat. Fahri percaya bahwa setiap orang memiliki jodohnya masing-masing. Hingga suatu hari, di dalam kereta, Fahri menolong seorang wanita muslim yang hampir diamuk seorang pria hanya karena wanita tersebut memberikan kursinya untuk orang Amerika yang dianggap kafir. Wanita tersebut bernama Aisha (Rianti Cartwright), seorang warga negara Jerman. Pertemuan singkat tersebut cukup membuat Fahri tertarik pada Aisha.

Beberapa hari kemudian, salah seorang ustadznya menawarkan pada Fahri untuk melakukan ta'aruf (perkenalan) dengan seorang gadis yang merupakan keponakan salah seorang temannya. Fahri yang mulanya cukup ragu akhirnya, walaupun ia belum pernah bertemu dengan gadis tersebut. Setelah bertemu, Fahri terkejut karena gadis tersebut ternyata Aisha. Akhirnya Fahri benar-benar yakin bahwa Aisha adalah jodohnya. Nah, konflik yang sebenarnya baru muncul setelah pernikahan Fahri dan Aisha.

Oke lah, banyak yang bilang kalau film ini tidak sesuai dengan penggambaran di novelnya. But, who cares? Yang penting penggarapannya bagus dan feel-nya dapet. Mamang, film based on novel biasanya (atau selalu?) memiliki perbedaan dengan media sumbernya tersebut. Tapi sebenarnya novel dan film tidak perlu dibanding-bandingkan karena ada beberapa aspek yang memang tidak bisa disamakan antara novel dan film, yang membuat kedua media tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.

Film ini menurut saya sangat menyentuh. Adegan-adegannya mengalun dengan indah (halah). Dasar ceritanya memang sudah bagus. Settingnya cantik, walaupun terkadang monoton plus ada beberapa gambar yang tampak kotor. Mengenai performa para pemainnya, menurut saya lumayan bagus. Chemistry yang terbangun antara Fahri-Maria-Aisha cukup berkesan. Pemeran pendukungnya juga pas, terutama Zaskya Adya Mecca yang memerankan tokoh Noura. Penonton bisa dibuat sebel dengan kelakuannya, sekaligus merasa simpati pada akhirnya. Tapi yang paling berkesan tentunya adalah karakter teman satu sel Fahri (saya lupa namanya, atau memang tidak pernah disebut?). Sangat menghibur. Layak dapat penghargaan tuh.

Sangat jarang saat saya menonton sebuah film, saya merasa terhibur sekaligus mendapatkan pengalaman spiritual yang luar biasa. Adegan yang paling saya suka adalah saat teman satu sel Fahri bercerita tentang kisah Nabi Yusuf AS lalu menasehati Fahri agar ikhlas dan sabar menghadapi cobaan. Benar-benar menggedor hati dan berhasil membuat saya merinding selama beberapa menit. Adegan "pengorbanan" yang dilakukan Aisha demi keselamatan Maria juga cukup menyentuh. Khususnya untuk para wanita yang sudah menikah pasti kena banget emosinya. Semua karakternya sangat manusiawi, terutama Fahri. Walaupun digambarkan sebagai pemuda yang taat beragama, tapi ia tetap manusia biasa yang memiliki kekurangan.

Overall, film ini 100% wajib tonton, untuk yang sudah membaca novelnya ataupun belum. Buang jauh-jauh pikiran skeptis anda cuma gara-gara filmnya tidak sesuai dengan novelnya (katanya). Menurut saya, inilah film Indonesia terbaik tahun ini.

8/10

Love (2008)

Genre : Romance

Pemain : Luna Maya, Darius Sinathrya, Laudya Chintya Bella, Irwansyah, Acha Septriasa, Fauzi Baadilla, Wulan Guritno, Surya Saputra, Sophan Sophiaan, Widyawati

Sutradara : Kabir Bhatia

Penulis : Titien Wattimena

Distributor : 13 Entertainment

Durasi : 102 menit




Film Indonesia pertama yang saya tonton di tahun 2008. Kabarnya film ini ide ceritanya mencontek film Love Actually. Entah ya, karena saya juga belum sempat nonton film itu. Apapun kata orang, saya cukup tertarik untuk menonton film ini sejak pertama kali melihat trailernya. Film ini berfokus pada 5 kisah cinta yang bersetting di Jakarta. Semua kisah tidak berhubungan tapi intinya sama.

Kisah pertama tentang seorang gadis bernama Iin (Acha Septriasa) yang baru datang dari Sukabumi untuk mencari pacarnya di Jakarta. Setelah mengetahui bahwa pacarnya pindah alamat, ia kebingungan dan pingsan di depan sebuah toko percetakan. Rama (Fauzi Baadila) yang merasa kasihan berusaha membantu Iin mencari pacarnya dengan menempel selebaran orang hilang (merasa ada yang aneh?). Akhir kisah sudah dapat ditebak.

Kisah kedua tentang Tere (Luna Maya), seorang penulis sukses yang bertemu dengan seorang penjaga toko buku bernama Awin (Darius Sinathrya). Kecocokkan mereka membuat Tere jatuh cinta. Tapi Awin yang merasa bahwa semuanya berjalan begitu cepat berusaha untuk menjauh walau sebenarnya ia juga mencintai Tere. Bah! Yang ini juga gampang ditebak.

Kisah ketiga menceritakan hubungan pernikahan yang mulai retak antara Gilang (Surya Saputra) dan Miranda (Wulan Guritno) karena Miranda ketahuan selingkuh. Mereka memiliki anak yang menderita autis. Pada akhirnya salah satu dari mereka harus mengambil keputusan berat demi kebahagiaan anaknya. Nah, yang ini lumayan menarik.

Kisah keempat tentang seorang mahasiswa bernama Restu (Irwansyah) yang langsung jatuh cinta saat pertama kali melihat Dinda (Laudya C. Bella). Ternyata Dinda menyembunyikan sesuatu yang membuatnya ingin menjauh dari Restu. Ketebak akhirnya, tapi lumayan surprise juga waktu adegan di taman.

Kisah kelima menceritakan tentang Lestari (Widyawati), seorang pemilik sebuah restoran soto yang bertemu dengan seorang guru SD bernama Nugroho (Sophan Sophiaan). Setelah beberapa kali bertemu, akhirnya terungkap bahwa Nugroho menderita penyakit alzheimer. Keadaan tersebut membuat Lestari iba dan memutuskan untuk membantunya memulihkan ingatannya sedikit demi sedikit. Ketebak juga sih, tapi cukup menarik.

Ada satu adegan yang mempertemukan beberapa tokoh di atas, walaupun mereka tidak berinteraksi secara langsung. Adegan seperti ini mungkin pernah muncul di beberapa film luar, tapi ternyata masih menarik untuk disimak. Walaupun temanya standard dan ada beberapa dialog cheesy khas sinetron, ternyata film ini lumayan enak ditonton. Di menit-menit awal, porsi kisahnya cukup timpang, tapi semakin film berjalan semua kisah mendapat porsi yang cukup. Dengan durasi hampir 2 jam, memang sulit untuk memuat 5 cerita sekaligus. Tapi ternyata sutradaranya cukup berhasil.

Penampilan yang cukup mengejutkan datang dari Acha Septriasa. Jujur ya, dari dulu saya tidak pernah suka atau lebih tepatnya tidak peduli dengan eksistensi artis satu ini. Tapi di film ini, mata saya mulai terbuka. Yeah, definitely she has something. Penampilannya benar-benar menghibur dengan logat Sundanya yang entah kenapa terdengar lucu.
Penampilan lain yang patut dipuji datang dari Surya Saputra. Emosi yang ditampilkan cukup meyakinkan. Pasangan yang paling pas menurut saya adalah pasangan senior Sophan Sophiaan dan Widyawati. Chemistry antara mereka berdua sangat nyata dan enak dilihat. Musik dari Erwin Guttawa juga begitu pas dengan mood filmnya.

Secara keseluruhan, film ini cukup mengena dalam penyampaian ceritanya. Didukung penampilan yang baik dari para pemainnya. Wajib tonton untuk anda yang menyukai tipe film-film romantis, juga untuk anda yang mengaku sebagai pendukung film-film Indonesia. Jauh deh sama Heart yang sok puitis, apalagi sama si Sunny yang benar-benar berhasil meninabobokan saya.

7/10

Monday, March 3, 2008

Jumper (2008)

Genre : Action/Adventure/Sci-Fi/Thriller

Pemain : Hayden Christensen, Jamie Bell, Samuel L. Jackson, Rachel Bilson

Sutradara : Doug Liman

Penulis : David S. Goyer, Jim Uhls, Simon Kinberg

Produser : Simon Kinberg, Lucas Foster

Distributor : 20th Century Fox

Durasi : 88 menit


Davey : "Why are you walking?"
Griffin : "As a matter of fact, I like walking for a change! Makes me feel normal."



Wow! Pertama kali liat melihat trailernya, saya yakin film ini bakal menjadi sebuah tontonan yang seru
. Adegan action-nya tampak menjanjikan. Apalagi ada Samuel L. Jackson yang tampil lumayan sangar. Pokoknya, can't wait to see deh. Tapi, ternyata eh ternyata, setelah saya tonton, film ini ternyata sungguh mengesalkan. So out of my expectation.

David Rice (Hayden Christensen) adalah seorang anak biasa cenderung nerd yang selalu dijahili teman-temannya. Hingga suatu hari, karena kenekatannya ia terperosok masuk ke dalam danau. Dalam keadaan panik, tiba-tiba ia sudah berada di dalam sebuah perpustakaan. Dari insiden ini, ia mulai mengetahui kekuatan teleportasi yang ia miliki. Awalnya ia masih bingung, tapi lama kelamaan ia mulai memahami dan memanfaatkan kekuatan tersebut untuk kepentingan dirinya sendiri.

Kemudian ia memutuskan kabur dari rumah karena tidak tahan dengan perlakuan ayahnya. Untuk bertahan hidup akhirnya ia terpaksa "menyelinap" ke dalam brankas bank. Dengan uang yang ia dapat, semua kebutuhannya bisa terpenuhi. Hingga ia beranjak dewasa, hidupnya sangat berkecukupan.


Hidup David yang serba mudah mulai terancam dengan kehadiran para Paladin, sekelompok orang yang memiliki misi untu
k membasmi para Jumper (julukan bagi orang yang mampu berteleport ke manapun seperti David). Mereka beranggapan bahwa kekuatan untuk berada di berbagai tempat dalam satu waktu hanya pantas dimiliki oleh Tuhan. Konon, perseteruan Paladin dan Jumper sudah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu.

Sang pemimpin Paladin, Roland Cox (Samuel L. Jackson) yang telah mengetahui rahasia David berusaha mati-matian memburunya. Kejar-kejaran pun dimulai, dan melibatkan orang-orang yang dekat dengan David, seperti teman masa kecilnya, Millie (Rachel Bilson) dan juga ayahnya yang akhirnya tewas di tangan Paladin (oops! Is it a spoiler?). Dalam pelariannya, David bekerjama dengan Griffin (Jamie Bell), jumper lain yang mulanya enggan membantu David. Dan sebenarnya ia juga memiliki agenda tersembunyi yang tidak diketahui David. David juga akhirnya mengetahui identitas asli ibunya dan alasan mengapa ia meninggalkan David saat masih kecil.

Dari segi action, film ini cukup memuaskan dengan adegan laga yang banyak dan imajinatif. Setting yang melibatkan tempat-tempat eksotis semacam Roma juga cukup memanjakan mata. Tapi semua itu tidak didukung dengan perkembangan cerita yang baik dan menarik—semuanya terasa datar dan membosankan. Seperti memaksakan adanya kehadiran sebuah sekuel kelak. Ditambah akting pemainnya yang so robotic terutama Hayden Christensen yang seolah melanjutkan kegagalannya di 2 seri Star Wars kemarin. Sama sekali tidak membuat penonton, khususnya saya untuk bersimpati terhadap tokohnya. Chemistry antara Christensen dengan Rachel Bilson juga tidak mengena sama sekali. Malah penggambaran hubungan mereka cenderung bodoh dan bikin kesal. Untungnya ada Jamie Bell dan Samuel L. Jackson yang cukup berkarakter, walau kehadiran mereka pun tetap tidak bisa menyelamatkan kualitas film ini secara keseluruhan.
Ya, kesimpulannya jangan terlalu berharap banyak pada film ini kecuali jika anda hanya mencari sajian action-nya. It's kinda cool, but forgettable. And you know what? The ending is totally crap!
4/10

CJ7 (2008)

Genre : Comedy/Sci-Fi

Pemain : Stephen Chow, Jiao Xu, Kitty Zhang Yugi

Sutradara : Stephen Chow

Penulis : Stephen Chow, Chi Keung Fung

Produser : Stephen Chow

Distributor : Columbia Pictures Film Production Asia

"It's Out Of This World."



Setelah cukup sukses dengan karya terakhirnya, Kungfu Hustle, tahun ini Stephen Chow kembali dengan karya ter-gresnya, CJ7. Mengambil tema yang mirip film E.T. dengan sentuhan komedi ala Stephen
Chow, film ini memiliki premis yang cukup menjanjikan, dan ternyata hasilnya tidak seperti yang saya harapkan.

Di film ini Stephen Chow berperan sebagai Ti, seorang buruh miskin yang tinggal bersama putra semata wayangnya Dicky (Jiao Xu). Walaupun miskin, ia selalu menasehati anaknya untuk selalu menjunjung tinggi nilai kejujuran dan mengutamakan pendidikan.

Di sekolah, Dicky selalu ditindas oleh teman-temannya, bahkan oleh gurunya sendiri. Hanya Miss Yuen (Kitty Zhang), guru kesayangan Dicky yang selalu perhatian padanya. Suatu hari, salah seorang temannya membawa mainan robot canggih bernama CJ1. Ia sesumbar bahwa mainan tersebut hanya ada sedikit di seluruh dunia. Beberapa hari kemudian, saat mampir ke toko mainan, Dicky melihat robot CJ1 dipajang dan memaksa ayahnya untuk membelikannya. Dia bilang kalau mainan tersebut sedang nge-trend di sekolahnya dan banyak anak lain yang sudah punya. Tentu saja permintaannya tidak dipenuhi.


Suatu malam, sepulang kerja, Ti menemukan sesuatu dengan wujud bola berwarna hijau dalam tumpukan sampah. Ia lalu membawa pulang bend
a tersebut dan memberikannya pada Dicky sebagai pengganti CJ1 yang tidak mampu ia belikan. Walaupun awalnya menolak, akhirnya Dicky menerima juga 'mainan' tersebut. Apalagi setelah mengetahui bahwa ternyata benda tersebut merupakan sesosok alien yang menurut pemikirannya memiliki kemampuan yang lebih hebat dibanding CJ1 milik temannya. Ia lalu menamainya CJ7.

Kekuatan CJ7 ia manfaatkan untuk kepentingannya sendiri, seperti membantunya dalam ujian (keren banget lho kacamata pengintainya), termasuk membalas teman-teman yang sering menjahilinya. Semuanya buyar saat ia menyadari bahwa hal tersebut hanya khayalannya semata. Pada kenyataannya, CJ7 tidak memiliki kekuatan apapun yang malah membuat Dicky sial sepanjang hari. Akhirnya ia membuang CJ7 karena kesal.

Seperti yang telah diduga, Dicky menyesali perbuatannya dan akhirnya ia bersedia menerima CJ7 sebagai sahabatnya. Berkat CJ7 pula ia bisa bergaul dengan anak-anak lain di sekolahnya. Dan melalui sebuah insiden, akhirnya terungkap kekuatan CJ7 yang sesungguhnya.


Tidak seperti film-film Stephen Chow sebelumnya, saya tidak terlalu menikmati film ini secara keseluruhan. Entah kenapa, ada beberapa hal yang mengganjal. Sampai sekarang saya belum ngeh apa maksud sebenarnya kedatangan CJ7, walaupun memang cukup berpengaruh terhadap kehidupan Dicky. But, I don't know. I just don't get it. Emosinya kurang dapet. Adegan 'kecelakaan' yang menimpa Ti juga terkesan dibuat-buat, hanya sebagai alasan untuk menentukan nasib CJ7 selanjutnya. Humor-humornya cukup menghibur walaupun banyak adegan-adegan slapstick berlebihan, yang memang merupakan trademark-nya Stephen Chow. Tampilan makhluk CJ7-nya juga cute banget, dengan mata besarnya yang mengingatkan pada Puss In Boots di Shrek 2. Penampilan yang paling menarik berhasil ditampilkan oleh Jiao Xu, pemeran Dicky yang sangat adorable. Kekaguman saya semakin bertambah saat mengetahui bahwa si pemeran Dicky ini ternyata perempuan. Whoa, she's totally tricking me.


Sebelum menonton, sebaiknya buang jauh-jauh pikiran bahwa ini adalah E.T. versi Asia, karena hanya akan menimbulkan kekecewaan jika hasil akhirnya tidak sesuai ekspektasi awal. Tapi untuk fans-nya film-film Stephen Chow, film ini tentu patut ditonton. Walaupun menurut saya masih kalah dibanding karya Stephen Chow sebelumnya. Hope he will do better next time.

5/10