Wednesday, February 27, 2008

August Rush (2007)

Genre : Drama/Music

Pemain : Freddie Highmore, Keri Russell, Jonathan Rhys Meyers, Robin Williams, Terrence Howard

Sutradara : Kirsten Sheridan

Penulis : Nick Castle, James V. Hart, Paul Castro

Produser : Richard Barton Lewis

Distributor : Warner Bros.

Durasi : 102 menit

"The music is all around you, all you have to do is listen."
-August Rush-

Menyaksikan sebuah film yang berbasis musik memang selalu mengasyikkan. Apalagi jika komposisi musik yang tersaji di dalamnya digarap dengan serius dan memberi jiwa ke dalam film itu sendiri. Semua kekurangan yang ada di film tersebut pasti tidak begitu saya pedulikan. Itulah yang terjadi saat saya menonton film ini.

Bercerita tentang seorang bocah bernama Evan Taylor (Freddie Highmore) yang sejak kecil tinggal di panti asuhan. Ia memiliki bakat yang unik, yaitu bisa 'mendengar' musik dari bunyi-bunyian di sekitarnya, yang dia percayai bahwa musik tersebut merupakan 'suara' dari orangtuanya yang selama ini dia cari. Kesempatan terbuka saat ia bertemu dengan seorang konsultan anak, Richard Jeffries (Terrence Howard) yang memberinya kartu nama agar Evan bisa menemuinya saat dibutuhkan.


Melalui adegan flashback, kit
a diperkenalkan dengan seorang pemain cello terkenal bernama Lyla Novacek (Keri Russell), dan seorang vokalis dari sebuah rock band bernama Louis Connelly (Jonathan Rhys Meyers). Suatu malam mereka kebetulan bertemu, dan melalui dialog-dialog yang membuat mereka merasa cocok satu sama lain, terjadilah 'insiden' yang akhirnya membuat Lyla hamil, yang merupakan bakal dari si Evan Taylor ini. Ayah Lyla yang merasa karir anaknya akan terancam dengan kehamilannya tersebut berusaha memisahkan Lyla dan Louis. Saat sebuah kecelakaan menimpa Lyla, ayahnya mengatakan bahwa anak dalam kandungannya tidak berhasil diselamatkan. Lyla dan Louis yang mengalami stress berat akhirnya memutuskan untuk berhenti dari jalur musik dan tidak pernah berjumpa lagi.

Kembali ke Evan, melalui kartu nama yang ia dapat, ia kabur dari panti asuhan dan pergi ke New York untuk mencari Jeffries. Sesampainya di sana, kartu nama tersebut hilang. Karena kebingungan, ia mengikuti seorang pengamen yang mengajaknya ke sebuah gedung berisi anak-anak jalanan yang ternyata berbakat besar dalam bidang musik. Anak-anak tersebut diketuai oleh seorang 'preman' bernama Wizard (Robin Williams). Melihat bakat Evan, ia mengajaknya untuk ikut mengamen di jalanan. Penampilan Evan ternyata menarik perhatian banyak orang. Lalu Wizard mulai memberi nama panggung untuk Evan, yaitu August Rush yang lucunya diambil dari truk yang kebetulan lewat (what the...???).


Kepergian Evan membuat Jeffries merasa bertanggungjawab. Dengan bantuan polisi, jejak Evan mulai terlacak dan membawanya ke tempat Wizard. Panik dengan kedatangan polisi, Wizard menyuruh Evan kabur. Lalu ia menemukan tempat persembunyian di
sebuah geraja. Di sini, ia bertemu seorang gadis cilik bernama Hope (Jamia Simone Nash) dan Reverend James (Mykelti Williamson) yang mendaftarkannya ke Juilliard School setelah melihat bakat musiknya yang luar biasa.

Di lain tempat, Lyla akhirnya mengetahui bahwa anaknya masih hidup setelah ayahnya mengakui kebohongannya. Ia lalu mati-matian mencari Evan. Dengan dukungan temannya, ia juga akhirnya mau kembali ke dunia musik dengan tampil bersama The New York Philharmonic di Central Park yang kebetulan merupakan tempat dimana Evan akan tampil membawakan gubahannya, August's Rhapsody. Di saat itu pula, Louis berhasrat kembali untuk bergabung dengan band lamanya dan pergi ke New York untuk mencari Lyla.

Saat sedang melakukan gladi resik, Evan didatangi oleh Wizard yang memaksanya untuk pergi dan membatalkan konsernya di Central Park. Sebenarnya, konser ini sangat berarti untuk Evan karena ia berharap dengan musik gubahannya, orangtuanya akan mendengar dan menemukannya. Tetapi karena takut, ia akhirnya mengikuti Wizard untuk kembali ke jalanan.

Apakah Evan berhasil bertemu dengan kedua orangtuanya? Silakan tonton sendiri drama yang sebenarnya serba kebetulan ini. Ya, meskipun ceritanya klise dan banyak insiden-insiden yang sengaja dibuat untuk mendukung kelanjutan ceritanya, film ini tetap menarik. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, kekuatan utama film ini terletak pada komposisi musiknya. It's so amazing and moving. Selain itu, penampilan para pemainnya juga tidak mengecewakan, terutama Freddie Highmore yang berhasil membuat penonton bersimpati. Tapi, cast favorit saya adalah Jamia Simone Nash yang memerankan tokoh Hope. Sumpah, lucu banget. She's so natural, dengan bahasa ceplas-ceplosnya dan suaranya yang merdu. Pokoknya, highly recommended untuk yang suka film dengan sentuhan musik kelas satu.

8/10

Saturday, February 16, 2008

The Orphanage (2007)

Genre : Horror/Drama/Mystery/Thriller

Pemain : Belen Rueda, Fernando Cayo, Roger Princep, Mabel Rivera, Montserrat Carulla

Sutradara : Juan Antonio Bayona

Penulis
: Sergio G. Sanchez

Produser : Guillermo Del Toro

Distributor : Picturehouse

Durasi
: 100 menit

"Un cuento de amor. Una historia de terror."


The Orphanage ( El Orfanato ), sebuah film horor Spanyol yang diproduseri oleh sineas berimajinasi tinggi—Guillermo Del Toro (Hellboy, Pan's Labyrinth). Bercerita tentang Laura ( Belen Rueda ), yang baru pindah rumah bersama suaminya, Carlos ( Fernando Cayo ) beserta anaknya Simon ( Roger Princep ). Rumah tersebut ternyata merupakan bekas panti asuhan yang dulu pernah dihuni oleh Laura semasa kecilnya. Dan sekarang ia berniat untuk mendirikan kembali panti asuhan tersebut, khusus untuk anak-anak terbelakang.

Tidak lama setelah menghuni rumah tersebut, keanehan mulai terjadi. Dimulai ketika Simon terlihat seperti memiliki teman-teman khayalan yang malah tidak begitu dipedulikan Laura dan suaminya. Keanehan lain muncul melalui kedatangan seorang wanita tua yang mengaku sebagai babysitter bernama Benigna (Montserrat Carulla). Dan puncaknya adalah saat Simon tiba-tiba menghilang ketika pembukaan kembali panti asuhan. Sesaat sebelum Simon menghilang, Laura diteror oleh sesosok anak kecil yang memakai topeng karung—dengan bunyi napas yang sangat mengerikan (reminds me of Darth Vader).

Sembilan bulan berlalu sejak menghilangnya Simon, tapi Laura tetap pantang menyerah untuk berusaha menemukannya. Mulai dari polisi sampai paranormal ia datangi. Saat kedatangan paranormal itulah, misteri di dalam rumah tersebut mulai terkuak. Tapi suami Laura menganggap hal tersebut tidak masuk akal dan memutuskan untuk pindah serta menghentikan pencarian Simon. Tentu saja Laura menolak keputusan suaminya. Ia lalu meminta waktu dua hari untuk menenangkan diri di rumah tersebut seorang diri. Dengan waktu yang terbatas, Laura bekerja keras untuk benar-benar menguak misteri di dalam rumahnya yang berkaitan dengan menghilangnya Simon.

Apakah yang sebenarnya terjadi pada Simon? Apakah Laura berhasil menemukannya? Apakah sebenarnya misteri yang menyelimuti rumah tersebut? Yup, there's a lot to figure out. Silakan temukan jawabannya dengan menonton film ini. Yang pasti, film ini sangatlah mencekam. Tanpa perlu menampilkan sosok hantu perempuan berambut panjang dan berbaju putih dengan gerakan patah-patahnya (the ring syndrome), film ini bisa membuat penonton tidak nyaman berada di tempat duduknya. Hanya dengan suasana, setting, dan penataan kamera yang apik, sutradara film ini mampu memberi aura ketegangan yang intens dalam setiap scene-nya.
Mengenai penampilan para pemainnya, saya rasa cukup bagus dan meyakinkan—terutama Belen Rueda yang berperan sebagai Laura. Ekspresi dan insting keibuannya tampak sangat real. Saya bisa ikut bersimpati serta merasakan kehilangan mendalam yang dirasakan oleh Laura sejak kehilangan anaknya. Kemampuan untuk melibatkan emosi penontonnya—itulah yang saya rasa merupakan salah satu kelebihan film ini. Boleh dibilang ini adalah sebuah kisah tentang cinta—rasa cinta seorang ibu terhadap anaknya, yang dibungkus dengan nuansa horor. Pengungkapan misteri di akhir cerita cukup membuat hati miris. Disertakan pula sebuah metafora kehidupan setelah kematian yang digambarkan melalui dongeng Peter Pan—bocah lelaki yang tidak pernah beranjak tua. Endingnya—walaupun bernuansa sedih tapi juga menyiratkan sebuah kebahagiaan dalam konteks lain.
Overall, film ini wajib tonton bagi siapa saja khususnya penggemar film horor yang meniginginkan sajian berkualitas. Mungkin inilah film horor terbaik di tahun 2007 lalu.
8/10